Kedai Kopi Dan Kartu Domino
karang-karang mencoklat, ombak laut abu-abu berkejaran
impian yang hanyut diterpa angin tenggara
mengeja langit mendung
udara yang pengap jatuh di kerut kening
bercampur debu siang,
aku tenggelam di rima ombak dan deru keinginan
matahari yang ngengat mengolah laut surut
detak jantung letih menunggu para petarung domino
canda tawanya menebas buih-buih pantai,
aku terpaku di timangan waktu
direguk desiran gelombang jenuh
aku tulis apa saja
yang lintas dipandang, jemari jelajah ke mana saja
meniada langit yang lusa kutepis dengan pisau gundah
keasyikanmu meniada kedatangan dari jauh
laut yang tak berhitung untung rugi, meniada sesuatu
selalu gagal kau baca setangkup perlambang yang pendar
pesiar ke negeri atas angin, bangsa atas ingin
aku menunggu perbincangan bersamamu
kau asyik masyuk membelai kartu-kartu
pun kata-kata tak berarah, cukup membias di cangkir kopi
mulai kerontang menunggu tegur sapa
awan-awan menggurat langit, birunya berguguran pagi tadi
lintasan mata nyalang, melahap perahu-perahu yang sandar
mengibarkan getir nelayan, tak beroleh tangkapan
tak beroleh subsidi solar
di lincak kedai pesisir aku terlempar dalam cangkir kopi panas
dilipat-lipat gulungan ombak mungil gerai tawa
Panceng-Bungah, Desember 2016-Februari 2017
Hikayat Rumah Bantaran
Hujan semalam turun awal bulan. Katak bernyanyi riang samping rumah. Rumah tua sejarah tujuh bersaudara, menyulam yatim menata piatu. Beranjak dari ranjang kering menemui halaman basah genangan air campur debu genting, atap pun basah, dedaunan ikut riang menyala disepuh lampu jalan. Jalanan berpaving, yang menutup tanah bercampur pasir dan kerikil.
Rumah tua bertaman penuh bunga juga pohon durian. Dulu hujan tangis campur lapar, pagi dan sore sering pecah, atap bocor di selimuti gerimis yang mengukir lantai pun lukisan tembok berupa relif kemiskinan. Tujuh kini ikut berpesta bersama hujan, yang belum sempat memanggil banjir. Meski dulu sempat melumat seisi rumah, juga ayah ibu, tawa sudah mekar di bibir tanggul, direkam alang-alang dan rembulan.
Dukun, 2020
Kentongan, Kopyah dan Sorban Terbelah
Bahana bunyi kentongan nyengir. Keringat selembar kabar kikir, tapak tangan ditebas fakir, kabur ke sumur dua malakut. Gugur selepas berburu khuldi. Demi sahwat takabur. Kacak pinggang gulung layar abdi. Berabadabad catatan shahibul hikayat. Leleh, diserbu rakyat semut. Israiliyat gonjangganjing dikepung anjing ahli kahfi. Belulang berkabar, debu menjelma kuda tanpa pelana, ringkiknya menyerbu dadadada lebam.
Riwayat itu tamat semalam. Lamat amat lamat, takbir lupa digelar. Tabir lebur ditelan kilat. Di halaman langgar barisan mayat pamit ke liang lahat. Barisan karnaval bintang tenggelam di muara subuh. Kentongan nan belah, adzan pun mundur ke belakang mihrab, menyanyi sepi bersama cicak dan labalaba.
Dukun 2020
Penggorengan Subuh
subuh di penggorengan
sunyi pecah berlompatan ke pojok dapur
tahu dan tempe berebut sambal
di luar gerimis memecah embun
abjad dan hijaiyah bercampur dalam adonan
membangun sketsa rumah yang anggun
pohon sono samping rumah dicumbu burung-burung
embun memantul di sela rumput tanggul
percakapan hangat di penggorengan
ketela semedi dalam panci
kacang merah menari dalam wajan,
canda berhambur di langit-langit dapur
gerimis pagi reda, kami bergegas melipat hasrat
membasuh tubuh menitip pesan, doa-doa
bernaung dari mata picik, lidah-lidah licik
di penggorengan ada dongeng purba
cerita masa tua,
kubaca nanti di helai ubanmu
keriput kening adalah bait puisi
yang ditulis jemari usia
yang dieja putri manis
senyum tipis subuh
berayun di bandulan waktu
Kalimati, November 2016
Rakai Lukman ialah nama pena Lukmanul Hakim, kelahiran Gresik 1983. Ikut berkecimpung di dunia kesenian semenjak SMA, berlanjut di Yogyakarta, lantas pulang ke kampung halaman. Di tanah kelahiran, masih ikut nimbrung di perhelatan alam estetika. Sempat nongkrong di Sanggar Jepit, Teater Eska, Roemah Poetika, Teater Havara, KOTASEGER (Komunitas Teater Sekolah Gresik), Gresik Teater, DKG (Dewan Kesenian Gresik), Lesbumi PCNU Gresik, dan Sanggar Pasir. Menjadi Guru SB di SMK Ihyaul Ulum, dan Guru BI di SMK al-Ihlas. Antalogi tunggal “Banjir Bantaran Bengawan.” Antalogi bersama, Kitab Puisi I Sanggar Jepit (2007), Burung Gagak dan Kupu-kupu (2012), dan Seratus Penyair Nusantara, Festival Puisi Bangkalan II, 2017. Juga terlibat riset dalam program pendampingan teater DKJT 2018, dan pengkajian sejarah lokal Desa Canga’an, Ujung Pangkah, Gresik 2019. Kini sedang mempersiapkan antalogi kedua, “Curhatan Bengawan” 2020.