Sebelum Kunang-kunang: 25 Catatan Lepas Ahmad Yulden Erwin


(Ahmad Yulden Erwin, Foto jepretan M. Bob Thantowi)

1/
Apa yang akan terjadi jika segala sesuatu terjadi secara serempak? Jika Anda menyadari hal ini secara langsung, maka Anda akan memahami surealisme, dan dengan itu pula Anda akan memahami hakikat dari Realisme.

2/
Wu Guanzhong (1919-2010) adalah salah satu pelukis kontemporer Republik Rakyat China (RRC) dengan media cat air dan tinta di atas kertas. Wu telah melukis berbagai aspek kehidupan dan kebudayaan China, mulai dari arsitektur, tanaman, hewan, manusia, hingga lanskap pegunungan dan perairan dalam gaya yang mengingatkan pada lukisan impresionisme pada awal ke-20. Dia telah menerbitkan kumpulan esai dan puluhan album lukisan. Lukisannya dipamerkan di British Museum pada tahun 1992, yang merupakan pameran tunggal pertama untuk pelukis modern dari RRC.

Wu Guanzhong lahir tahun 1919 di Yixing, Provinsi Jiangsu. Pada tahun 1935 Wu lulus ujian masuk dan belajar di Sekolah Teknik Industri Zhejiang dan kemudian melanjutkan ke jurusan teknik Universitas Zhejiang di Hangzhou. Pada tahun 1936 ia pindah ke Akademi Seni Nasional Hangzhou untuk mempelajari seni lukis Cina dan Barat di bawah bimbingan Pan Tianshou (1897-1971) dan Lin Fengmian (1900-1991). Pada tahun 1947 Wu pergi ke Paris untuk belajar di École Nationale Supérieure des Beaux Arts dengan beasiswa pemerintah. Sepulang dari Paris ia menyatakan kekagumannya secara terbuka terhadap karya lukis dari Utrillo, Braque, Matisse, Gauguin, Cézanne, Picasso, dan terutama Vincent van Gogh.

Wu Guanzhong memperkenalkan aspek seni Barat kepada mahasiswa di Akademi Pusat Seni di Beijing. Sementara akademi itu diketahui telah didominasi oleh gaya seni lukis realisme sosial dan Wu diejek sebagai “benteng formalisme borjuis” serta “agen seni dekaden”. Menolak untuk menyesuaikan diri dengan dogma politik Mao, ia pun dipindahkan dari satu akademi seni ke akademi seni lainnya. Pada awal Revolusi Kebudayaan tahun 1966 di RRC, Wu dilarang oleh pemerintahan Mao untuk melukis, menulis, dan mengajar. Puncaknya pada tahun 1970 ia pun dikirim ke Provinsi Hebei untuk kerja paksa.

Lukisan Wu secara teknik berdekatan dengan prinsip-prinsip formal lukisan Barat, namun secara spirit tetap mempertahankan seni lukis tinta seperti terdapat dalam lukisan klasik China. Pemandangan alam direduksi di dalam lukisan-lukisan Wu menjadi tinggal esensinya–dengan bentuk abstrak sederhana yang, meski demikian, tetap terasa bergelora. Wu sendiri telah menyelenggarakan berbagai pameran tunggal di galeri seni besar dan museum di seluruh dunia, termasuk di RRC, Hong Kong, Singapura, Tokyo, Taipei, Korea, Inggris, dan Amerika Serikat. Kini pemerintah RRC mengakui Wu Guanzhong sebagai “bapak” seni lukis kontemporer China.

3/
Membaca sebuah karya satir atau parodi, persis seperti menangkap sebuah gema. Makna inti yang dimaksudkan penulis, justru tersimpan dalam pantulan lirihnya, bukan pada lengking yang terdengar, begini misalnya:

(a)
Awal musim semi 1835, William Stanton, anggota kongres paling konservatif dari California, saat menatap sehamparan bunga kapas di ladang miliknya, secara tak terduga, menemukan satu argumen cemerlang. Perbudakan itu baik, pikirnya, sebab orang kulit hitam melakukan eksodus-suci dari Afrika yang kafir ke Amerika yang Kristen. Tepat saat seekor elang hitam terbang menodai langit senja, masih secara tak terduga, seolah Gabriel turun membisikkan ilham paling suci ke telinganya, Stanton dengan keyakinan yang tak tergoyahkan mengubah kata perbudakan menjadi “Institusi Khas Selatan”.

(b)
Nasarudin Hoja, seorang sufi yang tak bisa diduga. Suatu hari seorang ulama fiqih yang culas hendak mengujinya. “Apakah Anda pengikut Al-Halaj?” tanya sang ulama. “Ya,” jawab Nasarudin Hoja. “Jika Tuhan Maha Pengasih, maukah Anda berikan seluruh uang Anda kepada saya?” pancing sang ulama. Sambil tersenyum Nasarudin Hoja menjawab: “Tuhan selalu melayani seluruh mahluk-Nya. Tapi, sayang sekali, Dia bukanlah pelayan seorang ulama.”

4/
Pengetahuan hanya sebatas kata-kata, sebatas pikiran. Ia, pikiran itu, tak mampu mengubah apa pun. Hakikat kreativitas melampaui pikiran, mengatasi kata-kata. Sebuah resep gastronomi terhebat, hanyalah sekumpulan kata-kata tentang cara mencipta makanan terlezat. Begitu jelas tak ada gunanya bila kau tak mampu menurunkan resep itu ke dalam hatimu, pula ke dalam pancimu. Seperti sepotong kebijaksanaan lama: “Zen melampaui setiap kata.” Kau harus terlebih dahulu menemukan Zen di dalam hatimu, sebelum mampu menuliskan sebuah haiku seperti Basho:

Betapa lega dengking
keledai, tatkala bebannya
dijatuhkan ke tanah

Kau tak akan bisa menuliskan haiku hanya dengan membaca resep membuat haiku seperti Basho. Tak ada gunanya mencuri dan membaca resep orang lain, kau harus menemukan resep di dalam hatimu sendiri.

5/
Orang mungkin bisa menilai, dengan kedua ekor matanya yang berkilat tajam, bahwa kedua kakimu lemah, cenderung gemetar, bahkan hanya untuk mencoba berdiri di atas kakimu sendiri. Namun, hanya engkau sendirilah yang benar-benar tahu seberapa jauh engkau mampu berjalan dan meninggalkan ribuan jejak kaki. Percayalah, kedua ekor mata sang penilai itu sama sekali tak mampu berjalan.

6/
Mereka yang benar-benar memahami sains itu berbeda dengan orang yang sekadar mengetahui informasi tentang sains. Pemahaman tentang sains itu mesti dimulai dengan pemahaman komprehensif tentang logika dan epistemologi ilmu pengetahuan. Baru kemudian masuk ke dalam bidang sains tertentu. Begitu pun halnya dengan sastra atau seni pada umumnya. Pemahaman akan sastra mesti dimulai dengan ars poetica atau teori sastra, lalu dilanjutkan sejarah pemikiran sastra dunia dengan berbagai aliran dan genre-nya, dan, bila Anda ingin menjadi penulis sastra, maka Anda mesti juga memahami linguistik, stilistika, dan semiotika. Tak ada jalan pintas.

7/
Tak ada kreativitas tanpa inovasi. Melakukan kerja kreatif yang menuntut inovasi itu amatlah berat. Kau harus memiliki urat saraf baja, kekuatan kehendak untuk bertahan dalam soliter, dan pantang menyerah. Kecuali bila kita sudah cukup puas menjadi medioker. Menulis karya sastra sepenuhnya adalah kerja kreatif, tak ada tempat bagi yang setengah-setengah. Di dalam kerja kreatif, kau akan sepenuhnya sendirian.

8/
Sebagian besar kita mungkin menjadi pengagum Imanuel Kant, Hegel, Adam Smith, Karl Marx, Einstein, Stephen Hawking, John Nash, Bertrand Russel, Ludwig Wittgenstein, Sigmund Freud, Gustav Jung, Ezra Pound, Wallace Stevens, T. S. Eliot, Octavio Paz, Gabriela Garcia Marquez, Deridda, Foucault, Karl R. Popper, Picasso, Paul Cezanne, Julia Kristeva, Ken Wilber, Bill Gates, George Soros, Steve Jobs, Mark Zuckerberg, dst.–merekalah para pemikir, ilmuwan, seniman, budayawan, dan pebisnis yang membentuk kebudayaan modern dan pascamodern dunia. Tapi, cukupkah kita hanya jadi bangsa pengagum belaka? Rasa saya, cukuplah kita cuma jadi pengunyah pemikiran dunia. Kuasai epistemologi mereka, wacana kuasa mereka, lalu ciptakan wacana kuasa kita hingga setara dengan wacana kuasa mereka. Bila perlu, dan saya yakin kita mampu, lampaui wacana kuasa mereka.

9/
Apa yang disebut sebagai penulisan otomatis atau pendekatan bawah sadar dalam penulisan puisi surealisme atau dadaisme, sesungguhnya, adalah tafsir yang keliru terhadap konsep “pikiran yang bergerak bebas” atau “satori” atau “no-mind” dalam tradisi spiritual Zen. Beberapa penyair dadaisme dan surealisme di AS dan Eropa sering secara gegabah menghubungkan “teknik” penulisan mereka setara dengan konsep “satori”. Sayang sekali, mereka keliru. “Satori” adalah buah dari Kesadaran, bukan ketidaksadaran–apalagi gangguan mental.

10/
“Pengetahuan adalah kekuasaan,” begitu kata Francis Bacon, sang filsuf pengusung logika empirisme pada abad pertengahan di Eropa. Tak heran bila pengetahuan pada negara yang korup selalu disembunyikan dari mayoritas rakyatnya. Karena bila rakyat cerdas, maka pembodohan oleh para penguasa terhadap rakyatnya akan terbongkar. Rakyat harus tetap bodoh, agar para penguasa tetap aman berkuasa. Pengetahuan adalah milik segelintir elit. Tak ada demokrasi untuk pengetahuan. Begitu pun dalam sastra.

11/
Fase pertama bentuk puisi dunia adalah puisi-puisi epik seperti pada puisi Gilgamesh di Babilonia dan puisi Homer di Yunani kuno. Fase kedua adalah bentuk puisi lirik seperti pada lagu-lagu rakyat Yunani, juga pada puisi-puisi China dan Arab klasik, yang kemudian berkembang di Eropa pada abad pertengahan serta memuncak pada puisi era romantik. Fase ketiga adalah bentuk puisi naratif modern atau kontemporer, yang berada di antara bentuk puisi epik atau lirik. Puisi-puisi imajis atau surealis pada awal abad ke-20 di AS atau Eropa adalah bentuk awal dari puisi naratif ini. Namun, puisi-puisi naratif sekarang sudah sangat jauh meninggalkan bentuk awalnya tersebut. Sayangnya, bentuk puisi kontemporer kita sebagian besar masih berkutat pada bentuk “puisi lirik”, masih sangat romantik dan atau ekspresionis, meski dibaluri teknik imajisme dan surealisme. Semangat lirik adalah semangat individualistis, melankoli, dan pencarian identitas diri.

12/
Kreativitas dalam sastra tidaklah lahir dari ketidakpahaman–apalagi kengawuran. Kreativitas atau inovasi lahir dari pemahaman yang mendalam akan teori dan sejarah sastra yang ada. Pemahaman itu kemudian dikembangkan lebih jauh lagi atau ditentang untuk menemukan “jalan baru”. Namun, jalan baru tersebut dalam sejarah sastra modern dunia–begitu pun dalam sains–selalu lahir dari landasan teoritik yang kukuh; tidak pernah lahir dari kengawuran dan, apalagi, kegilaan. Bahkan seorang penganut “Dionysian” yang lunatik seperti Nietzsche, juga bertolak dari pemahaman yang mendalam akan teori-teori filsafat dan seni yang ada sebelumnya, barulah mampu melahirkan filsafat uniknya sendiri. Ilmu hanya ditakuti oleh para “dewa-dewi palsu” yang bodoh–oleh sebab takut kebodohan dan prabawa palsu mereka, topeng-topeng kharismatik yang dibuat-buat untuk menipu itu, terbongkar. Kebodohan adalah salah satu syarat terpenting untuk menjual “kebohongan” dengan mudah kepada massa.

13/
Di sini, mungkin tidak semua pembaca sastra modern atau kontemporer adalah pembaca yang terlatih atau terampil. Malangnya, sekarang, tak banyak pula kritikus sastra yang mampu menjembatani antara teks sastra modern atau kontemporer dengan pembacanya. Pelajaran sastra kita di sekolah menengah atau universitas sekalipun kurang mampu membangun apresiasi terhadap teks sastra modern dan kontempoer. Lantas, apa solusinya? Pembaca sastra harus mulai dididik.

Teks sastra modern atau kontemporer tak bisa terus dibiarkan kesepian tanpa pembaca. Kita harus meninggalkan jargon lama bahwa tabu bagi para penulis sastra untuk mendidik pembacanya. Pembaca sastra tidak lahir begitu saja, seolah bakat alam, tetapi mesti diberi pemahanan yang tepat dan benar “bagaimana” membaca karya sastra–bukan menjelas-jelaskan isi teksnya atau menjelaskan “apa”-nya, melainkan memberi pemahaman tentang “bagaimana”-nya. Ketika buku sastra selesai dicetak, khusus untuk kasus Indonesia, maka persoalannya adalah bagaimana agar karya sastra itu dibaca.

Di AS dan Kanada misalnya, murid-murid SMP sudah diajari prinsip-prinsip retorika Aristoteles (di sini yang mengklaim dirinya sastrawan “lama” mungkin belum pernah membaca buku ini–padahal ini buku yang paling dasar tentang bagaimana membuat teks menjadi “tulisan”). Mereka juga telah mempelajari bagaimana dasar-dasar sastra, mulai dari linguistik hingga stilistika. Jadi, pembaca sastra kita tidak bisa disamakan dengan pembaca sastra di AS dan Kanada atau Eropa. Para pembaca sastra kita perlu diberikan apresiasi yang cukup agar dapat “menikmati” karya sastra. Karena itu sastrawan mesti turun gelanggang mendidik pembacanya.

14/
Setelah 27 tahun menulis puisi, saya mulai merenungkan bahwa puisi sebagai karya sastra memang “berbahaya”. Puisi dapat menjadi “inang” dari virus pikiran. Sebagai inang, maka puisi bisa menembus langsung ke bawah sadar Anda. Apa pun pesan dari virus pikiran itu, baik atau buruk, yang dibawa oleh inang tersebut, akan masuk ke dalam batin Anda dan berbiak di sana. Tak peduli seberapa tinggi intelegensia Anda, seberapa jenius pun Anda, puisi tetap mampu menembus bawah sadar Anda.

Bentuk puisi sebagai karya sastra, sebagai karya seni kelas dunia, bukanlah hal yang mudah disusun atau sembarang saja. Puisi yang bernilai sastra sangat terstruktur, matematis, dan canggih–meski sepintas terlihat kompleks atau sederhana–sehingga dapat dengan mudah menembus bawah sadar manusia. Bila tak percaya, coba jawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini: Mengapa puisi menjadi “bentuk ekspresi” yang dipilih dalam sekian kitab suci? Mengapa kitab suci mampu membuat pengaruh yang begitu kuat dan dalam pada diri sekian milyar manusia dari jaman ke jaman? Mengapa karya-karya spiritual dan mistik tertinggi selalu nyaris mengambil bentuk puisi? Mengapa pidato-pidato para pemimpin politik seperti Hitler atau Soekarno terdengar begitu memukau dan mensugesti? Itu jelas bukan tanpa alasan. Jika Anda benar-benar studi bentuk atau struktur puisi dunia dari berbagai masa dan belahan dunia, maka “rahasianya” akan tersingkap. Bentuk puisi adalah teknologi “brainwash” pertama yang digunakan oleh manusia dan masih tetap efektif sampai saat ini.

15/
Tidak peduli “kiri” atau “kanan”, ketika ada ketidakadilan, sastrawan harus berada di sisi yang terzalimi, bukan sebaliknya. Itulah artinya tanggung jawab berkesenian.

16/
Sastra itu punya kaidah, punya aturan-aturan dasar, sehingga sebuah teks bisa disebut sebagai teks sastra. Inovasi teknik dalam sastra, tidak pernah bertolak dari ruang hampa, tetapi bertolak dari kaidah-kaidah dasar itu: apatah mengembangkannya atau menolaknya dengan cara membuat aturan dasar yang baru. Para penulis, apalagi yang mengklaim dirinya sastrawan atau kritikus sastra, tentulah paham aturan-aturan dasar membuat teks sastra. Jika aturan-aturan dasar saja tidak tahu, lalu bagaimana bisa mereka mengklaim dirinya sastrawan, kritikus, atau pembaca sastra yang kritis?

Dunia sastra kita selama ini lebih banyak dibentuk oleh jaringan perkoncoan, legitimasi dewa-dewi sastra yang tolol, lomba-lombaan sastra yang membodohi, ketimbang kekuatan teks sastra itu sendiri. Tak aneh, yang timbul dalam ribut-ribut sastra di sini adalah masalah personal penulis atau sastrawan–ketimbang mengkritisi kekuatan dan kelemahan teks itu sendiri berdasarkan metodologi, konsepsi sastra, dan atau teori sastra yang jelas. Semua dibuat “kabur”, dialihkan dari persoalan teks sastra (seolah teks sastra itu identik dengan sastrawannya), agar para penulis bisa terus membodoh-bodohi para pembaca yang tak paham soal sastra. Tak heran, teks sastra Indonesia masih begitu terkebelakang dibandingkan dengan teks sastra kelas dunia.

17/
Sains dan filsafat tidak punya klaim kemutlakan. Estetika juga tidak. Kenapa? Karena estetika adalah bagian dari filsafat aksiologi. Sebuah puisi juga tidak bisa mutlak. Karena kemutlakan dalam puisi akan meniadakan interpretasi. Interpretasi masuk ke dalam wilayah duga-duga, bukan kepastian rigorus seperti yang menjadi obsesi Rene Descartes itu. Hal yang “ditunjuk” dalam firman pada sebuah kitab suci mungkin saja Esa, tapi sintaksis dalam firman itu selalu memungkinkan tafsir yang berbeda. Begitu juga puisi, hal yang “ditunjuk” oleh suatu sintaksis puitik itu bisa jadi Esa, tapi tidak sintaksisnya, tidak untuk teks puitiknya. Berhentilah menipu para pemula dengan berkata puisi seolah wujud dari yang mutlak. Jika kau sendiri tidak bisa menjadi mutlak, maka begitu pula teks puitik yang kautuliskan–juga tafsir atas sebuah teks puitik yang kaulakukan. Misteri, keajaiban itu, juga ada dalam yang sehari-hari, sesuatu yang mati-matian kautolak, ialah fakta apa adanya dirimu.

18/
Kau selalu berusaha mengelak untuk melihat apa adanya dirimu. Kau beralih pada teks-teks yang dianggap suci, pada puisi, kepada sosok yang agung ciptaan pikiranmu sendiri, semata agar kau tak mesti melihat apa adanya dirimu–fakta yang menyaktikan itu, masa lalumu yang cacat dan tak sempurna, yang menjijikkan juga. Tetapi, seperti maut, kau tak bisa menolak fakta itu. Ia–fakta apa adanya dirimu–akan terus menguntit di belakangmu, sebagai bayang-bayang dirimu, hingga kau menyadarinya.

19/
Seorang master tidak menyelubungi, tidak memanipulasi pikiran orang dengan kabut misteri. Ia tidak hendak menjadi penguasa pikiran orang lain dengan menciptakan misteri yang ilusif itu. Sebaliknya, ia membuka misteri itu, ia menyingkap hijab itu, agar kau mampu langsung menatap misteri itu–sesuatu yang selama ribuan tahun tak berani kau “tatap” dengan “kedua matamu”.

20/
Di dalam seni menulis puisi, soal teknik, pada akhirnya memang harus dilampaui. Tapi, jangan coba melampaui teknik sebelum menekuninya. Itu gila. Semua penyair kelas dunia itu belajar soal teknik menulis puisi dengan tepat, benar, dan indah selama bertahun-tahun. Bohong besar kalau ada penyair kelas dunia yang bisa menulis dengan indah tanpa mati-matian mempelajari teknik penulisan puisi dengan benar selama bertahun-tahun. Jika ada orang sedemikian, tunjukkan kepada saya di mana orangnya, saya akan membongkar kebohongannya atau saya akan berguru kepadanya.

21/
Bisakah Anda menulis sebuah teks puisi tanpa tema dan masih berkukuh menganggapnya sebagai teks sastra? Jawab: tidak bisa. Kenapa? Karena tema adalah unsur utama dalam struktur sebuah teks sastra, termasuk puisi. Tanpa tema, maka sebuah teks tak dapat menjadi teks, tapi racauan. Di dalam puisi modern, tema bisa berstruktur “memusat” seperti puisi imajisme atau gerakan puisi objektivis di AS pada tahun 30-an. Di sisi lain, tema bisa juga berstruktur “mengurai” seperti dalam banyak puisi surealisme pada abad ke-20 atau “puisi linguistik” pada abad ke-21. Dari pengalaman saya membaca teks puisi “kelas dunia”, saya selalu menemukan kedua jenis struktur tematik itu, betapa pun kompleks ekspresi estetiknya. Dengan kata lain, jangan menulis puisi jika Anda tidak tahu apa yang hendak dikatakan.

22/
Sekarang, kajian sastra kita lebih cenderung ke arah kajian “cultural studies”. Kajian ini sebenarnya kajian pascastruktural. Namun, yang menjadi soal, teks sastra kita kebanyakan belum selesai sebagai teks, belum selesai secara struktur, tapi sudah mau lompat ke pascastruktural. Teks yang seperti itu, sebenarnya, belum bisa dikaji sebagai sebuah teks sastra–bahkan oleh pendekatan pascastruktural sendiri–karena syarat-syarat sebagai sebuah teks sastra pun tidak terpenuhi. Cerpen-cerpen dalam buku “The Library of Babel” karya Jorge Luis Borges, sastrawan kelas dunia dari Argentina itu, dapat dikaji secara struktural maupun pascastruktural. Kenapa? Karena, sebagai sebuah teks, cerpen-cerpen Borges telah selesai dituliskan.

23/
Di negeri para budak, orang tak terbiasa menunjukkan kualitas baik. Menampilkan kualitas baik akan langsung dianggap sombong. Tidak heran, di sebuah lingkungkan yang buruk, keindahan berarti setara dengan keburukan, kebenaran mesti identik dengan kesalahan, kebaikan sama dengan kejahatan. Maka, kemunafikan, korupsi, dan kebodohan pun tampil ke muka. Jadilah cerdas, baik, benar, dan indah. Sastra adalah VIRTUE.

24/
Puisi lebih dulu ada ketimbang aksara. Misalnya puisi lisan pada berbagai suku yang belum mengenal aksara, puisi telah ada jauh sebelum aksara dan tanda baca diperkenalkan ke dalam kebudayaan suku itu. Jadi, bukanlah aksara yang memunculkan kebudayaan, tetapi puisi–tepatnya puisi lisan. Maka, mulai saat ini, jangan meremehkan puisi. Karena tanpa puisi tak bakal ada kebudayaan di muka bumi.

25/
Di dalam sains, sebuah teori akan bisa diujikan oleh siapa pun yang berkompeten untuk mengujinya. Bila-bila saja ditemukan kekeliruan dalam sebuah teori sains, berdasarkan metode dan teori tertentu, maka kekeliruan itu akan dibeberkan secara terbuka. Tak ada soal personal dalam pengujian itu. Seorang ilmuwan dinilai dari teks karyanya. Jika teks karyanya terbukti keliru, maka kekeliruan itu akan dibeberkan, tidak peduli apakah sang ilmuwan telah bergulat sekian puluh tahun dalam sains, sudah mendapat penghargaan sekian banyak, sudah dipuja-puji di dalam banyak majalah atau televisi. Itu disebut prinsip falsifikasi dalam epistemologi ilmu pengetahuan, satu prinsip yang membuat ilmu pengetahun menjadi dinamis, menjadi terus berkembang. Di dalam sains, teks saja sudah cukup untuk menilai kualitas karya intelektualnya. Sebuah trik pemasaran atau pencitraan personal tertentu tak akan menguatkan atau menggugurkan kualitas dari sebuah teks sains. Bagaimana dengan sastra? Sama saja.
***

[2012 – 2015]

______________________________
Ahmad Yulden Erwin lahir di Bandarlampung, 15 Juli 1972. Ia telah menerbitkan kumpulan puisi “Perawi Tanpa Rumah” (2013), “Sabda Ruang” (2015), “Hara Semua Kata” (2018) “Perawi Tanpa Rumah (Edisi revisi, 2018), “Perawi Rempah” (5 besar Kusala Sastra Khatulistiwa 2018).

Leave a Reply

Bahasa »