Di suatu pagi di bulan Maret 2015 di sebuah hotel di Leipzig, seorang perempuan warga Jerman bertanya kepada saya dalam bahasa Inggris sambil menunjuk Pak Sapardi Djoko Damono (SDD), “Itu penyair yang kemarin di Book Fair ya? Saya kebetulan lewat stand Indonesia dan mendengar puisinya dibacakan dalam bahasa Jerman. Saya senang sekali puisi-puisinya,” ujar perempuan itu dengan mata berbinar-binar.
Saya mengiyakan, dengan hati senang. Baru tahu dia, pikir saya. Selama book fair berlangsung, sambutan publik kepada stand Indonesia dan sesi SDD memang hangat, juga sesi-sesi lainnya seperti Pak Ahmad Tohari, Mbak Laksmi Pamuntjak. Mas Beng Rahadian, dll. Di Leipzig Book Fair 2015, tim Indonesia tampil sungguh-sungguh, karena Leipzig merupakan salah satu langkah penting menuju Frankfurt Book Fair, dimana Indonesia menjadi Guest of Honor tahun itu. Kala itu saya bertugas di tim Komite Media dan Hubungan Luar, dan puisi-puisi Pak Sapardi adalah salah satu yang membuat saya bersemangat memperkenalkan sastra Indonesia kepada publik luar negeri. Saya selalu percaya, Indonesia punya begitu banyak untuk disumbangkan kepada dunia, dan puisi-puisi Pak Sapardi berikut musikalisasinya oleh Mbak Reda Gaudiamo dan Mas Ari Malibu (alm) adalah salah satu kekayaan itu.
Sejak Minggu 19 Juli pagi, lini masa dipenuhi dengan ucapan duka cita dan kutipan puisi-puisi Pak Sapardi Djoko Damono yang berpulang setelah sakit selama beberapa waktu. Beberapa teman men-tag foto bersama Pak Sapardi dimana ada saya juga, dan saya masih terlalu melankolis untuk memposting apapun, sehingga memilih berduka sendiri.
Di hadapan puisi-puisi SDD, saya kerap jadi gadis kecil itu, yang diseberangkan gerimis sambil mengibaskan tangis. Misalnya ketika mengingat kutipan puisi ini,
SEPASANG SEPATU TUA
sepasang sepatu tua tergeletak di sudut sebuah gudang, berdebu.
yang kiri terkenang akan aspal meleleh, yang kanan teringat jalan berlumpur sehabis hujan—keduanya telah jatuh cinta kepada sepasang telapak kaki itu
….
Dan banyak lagi puisi-puisinya yang menyihir, menghadirkan keharuan dan ketakjuban pada hal-hal yang sederhana, Musikalisasi puisi Ari-Reda juga secara menakjubkan dengan tepat vibrasi puisi-puisi SDD, dan membuat puisi-puisi ini makin luas dikenal, dan makin cepat dihafal. SDD sejauh yang pernah saya saksikan adalah sosok yang jernih baik dalam menulis maupun bertutur, selalu mengingatkan saya pada ungkapan ‘jenius adalah seorang yang mengambil hal yang kompleks dan menjadikannya sederhana.’ Bagi saya, sihir Sapardi terletak pada kejernihannya.
Produktivitas beliau, bikin iri saya, juga banyak orang lain yang jauh lebih muda. Ketika meluncurkan salah satu novelnya, Trilogi Soekram tahun 2015, saya merasa beruntung diminta oleh Gramedia Pustaka Utama untuk membawakan acaranya. Pak Sapardi bangkit dari duduk ketika mulai menjawab pertanyaan saya. “Saya ini guru, jadi kalau ngomong harus berdiri, supaya nggak ngantuk, “ ujarnya. Salah satu ucapannya yang saya ingat dari sesi hari itu adalah, menulislah karena itu membuatmu bahagia.
Karya-karya SDD, puisi, novel, cerpen, esai, buku akademik akan abadi (sebagaimana kita, karena saya setuju –yang fana adalah waktu), dan mungkin sebuah harapan klise, tapi akan saya ucapkan juga, saya berharap bangsa ini terus belajar untuk belajar memasyarakatkan dan merayakan puisi (bukan sekadar kata-kata mutiara motivasional kosong yang cukup marak beredar di sekitar kita).
Saya menantikan hari dimana kita menggunakan transportasi publik dan fasilitas publik lainnya di Indonesia, dan menemukan kutipan-kutipan puisi di sana, membuat kita bertahan melalui satu hari lagi. Hari di mana korupsi turun drastis karena hati-hati koruptor akhirnya tersentuh puisi—setelah ancaman neraka tampak tak pernah mempan. Hari di mana puisi-puisi penyair Indonesia dibaca, dinyanyikan dan dirayakan siswa-siswa sekolah dasar di Seoul atau Vilnius.
Dan sebelum saat itu tiba, biarlah setiap kehilangan kembali mengingatkan kita bahwa hidup ini indah, lalu menangis sepuas-puasnya.
22 Juli 2020