Rinto Andriono
Aku membayangkan derita nenek. Derita yang disandang sepanjang hidupnya. Derita karena deraan rasa ingin tahu! Ingin tahu pada sesuatu yang justru sangat dekat dengannya. Dia tidak ingin tahu isi alam semesta. Dia tidak ingin tahu tentang misteri lubang hitam. Apalagi bintang katai yang jauh di luar Galaksi Bimasakti. Dia hanya ingin tahu tentang siapa dirinya. Sepanjang hidupnya yang panjang, dia dibebani sepenggal kenangan masa kecil di tanah Jawa hingga umur tujuh. Kenangan itu bukan hanya membebaninya dengan kerinduan kampung halaman. Tapi kenangan itu juga memanggil roh pertanyaan yang menghantui sepanjang hidupnya. Pertanyaan yang selalu diulangnya dalam igauan kata-kata hingga akhir hayatnya, “Siapakah saya?”
“Passengers of Etihad Airways EY 472 are requested on board!”
Panggilan “boarding” awak darat dari pesawat Airbus menyeretku keluar dari lamunan yang berbelantara tak terhingga deritanya, lamunan tentang nenek. Aku pun ikut merasakan kekosongan yang sama. Seolah menyelami perasaan nenek, aku memulai perjalanan kenangannya ini. Burung besi besar ini membawaku pergi ke pusat kenangannya. Jawa!
“Your boarding pass and passport, please.”
“Here, please.”
“To Jakarta, please this way.”
“I won’t miss my connecting flight to Yogyakarta, right?”
“No, you won’t, here it is written that you will have three hours to transfer to domestic flight,” kata awak darat ramah, “Otherwise, your domestic one is in the same airport, just a different gate.”
Ya, aku berangkat dari Schipol ke Maguwo untuk segumpal kenangan nenek.
Aku seakan mengemban tugas suci dari nenek untuk mengurai gumpalan kenangan dengan pisau pertanyaan. Kenangan itu harus kuiris menjadi gumpalan-gumpalan yang lebih kecil. Setiap gumpalan kecil itu akan kubelah menjadi partikel yang mungkin sifatnya jauh berbeda dari gumpalan aslinya. Bila perlu, partikel kenangan terkecil itu masih akan kuurai lagi. Meski aku tahu, kalau sudah sampai tahap itu, panca indraku sudah tidak lagi dapat kuandalkan. Aku hanya perlu berbekal keyakinan dan harapan akan memperoleh jawaban pertanyaan di belantara atomik itu.
“Aku berangkat, see you, ya,” kataku, memberitahu Little Kanjeng.
“Have a nice flight, see you, Ma’am,” sebuah pesan pendek datang dari seberang di kota tujuan.
Little Kanjeng adalah harapanku untuk menunjukkan titik di mana aku harus menghunuskan pisau bedahku pertama kali. Setelah itu, dengan atau tanpa bantuannya, aku akan menelusuri jejak luka nenek. Demi menjawab segala dendam pertanyaannya, yang telah remuk redam dipendam dalam benak, selama berbelas tahun oleh nenek.
Little Kanjeng gadis kecil yang baik, seorang yang terpelajar, paling tidak dibandingkan mayoritas populasi perempuan seusia di negaranya. Little Kanjeng adalah muridku di Leiden. Setahuku, dia memiliki akses ke Perpustakaan Kraton di Yogyakarta, jantung Jawa. Dari keluarganya, dia mengenal baik Penghageng Angka Kalih Banjar Wilapa perpustakaan Kraton Yogyakarta. Penghageng Angka Kalih adalah pustakawan senior di Perpustakaan Kraton. Gelarnya adalah KRT Pakukusuma. Pria sepuh berkacamata ini pernah kuliah di Fisipol UGM tahun lima puluhan. Dia bernama asli Nurdiatiru. Little Kanjeng biasa memanggilnya “Rama Nurdi” berbeda dengan khalayak yang menjulukinya sebagai “Kanjeng Paku”.
“Pencarianmu kita mulai dari Banjar Wilapa, ya … ,” saran Little Kanjeng lewat emailnya suatu ketika.
***
“Terus terang aku iri pada Little Kanjeng … ,” gumamku sambil duduk di kursi pesawat nomor 16D.
Dia mudah saja bercerita tentang pendahulunya dari garis silsilah keluarganya. Sementara garis silsilahku mengabur pada nenekku. Garis itu luntur di samudera ketika nenek dan ibunya berangkat ke “tanah sabrang” di Guyana yang bernama “Srinama”. Perjalanan dengan kapal laut itu memakan waktu berbulan-bulan. Terlalu lama dan terlalu jauh bagi anak usia tujuh waktu itu. Di dalam perjalanan, ibu nenek wafat karena wabah kolera yang melanda para penghuni kapal. Di situlah tepatnya, garis itu pudar tak berbekas. Dan bagaimana nenek? Dia mengikuti perempuan Sunda surplus kasih sayang sebatang kara yang disatukan oleh perjalanan itu. Mereka kemudian saling memanggil ibu dan anak.
“Nomor?” tanya opsir yang mendaftar barisan kuli kontrak di Guyana.
Nenek menunjukkan kalungnya yang bertali blacu hitam dan berliontin seng tipis bernomor seratus empat puluh tiga.
“Nama?”
“Ngatirah,” sahut nenek pendek.
“Nama baru?” desak opsir.
Ngatirah memandang perempuan Sunda itu, dengan tatapan penuh pertanyaan. Nenek heran.
“Ehm, panggil saja Padmi,” kata perempuan Sunda itu bergegas menggandeng Ngatirah melalui antrian para kuli kontrak.
“Padmi?” nenek berontak.
“Semua kuli kontrak harus mengganti nama setiba di sini, agar tidak ingat asalnya.” jawab perempuan Sunda sambil memasuki barisan penempatan.
Nenek saat itu masih belum mengerti. Jawaban perempuan Sunda tidak memuaskannya. Itu mencetuskan pertanyaan kecil di kepalanya. Kelak, pertanyaan itu kian membesar seiring dia tumbuh dewasa. Begitulah sepenggal adegan dari masa kecil nenek yang kerap direkanya dalam kata-kata. Dan aku kerap mendengarnya.
Kolonialisme, membagi wilayah Guyana menjadi 5 kapling, yaitu Guyana Espanola, Inglesa, Holandesa, Francesa, dan Portuguesa. Kolonialisme benar-benar membagi tanah milik suku asli Guyana seperti kue besar yang layak dibagi dan diperebutkan. Wilayah Suriname yang dulu bernama Holandesa adalah kapling milik Belanda, di bagian tengah dari wilayah Guyana. Namun bagai gadis cantik, dia diperebutkan berganti-ganti oleh para pria tidak pernah dewasa bernama Inggris dan Belanda.
“Anda mau pulang?” tanya ibu-ibu rupawan di sebelahku.
“Eh, ya … eh tidak, saya cuma ke Jogja,” damn, kataku dalam hati.
Mengapa pertanyaan sungguh sederhana ini menjadi begitu sulit aku jawab? Wajahku nyaris tak beda dengan perempuan rupawan di sebelahku. Bulat. Agak hitam, rambut lurus, hidung mungil, tidak tinggi.
“Ya, aku memang perempuan Jawa,” batinku, “tapi tidak, apakah mereka yang di Jawa pernah resmi menerimaku sebagai bagian dari mereka?”
Tiba-tiba aku menjadi seperasaan dengan nenek. Mungkin beginilah perasaannya seumur hidupnya. Dia merasa dia Jawa, tapi dia tidak bisa membuktikan silsilahnya. Dia juga tidak yakin, seandainya dia bisa pulang kembali ke Jawa, siapakah yang akan menerimanya? Adakah yang akan mendaku dirinya bak saudara? Atau kalaulah ada, akankah mereka menerima dengan baik, sebagai bagian darah yang lama tercecer di seberang samudera. Tidakkah dia akan dianggap parasit yang hanya akan menambah bilangan pembagi waris dari para ahli waris yang tidak mengetahui asal usul? Aku yakin masih ada lagi jutaan pertanyaan di benak nenek kala masih hidup, sehingga meskipun sangat diidamkannya, nenek tidak berani pulang ke Jawa.
“Kalau saya ke Solo.”
“Apa?” lagi-lagi saya terseret keluar dari lamunan.
“Saya mau ke Solo, Dik!”
“Oh, maaf, saya tidak memperhatikan,” kataku basa-basi, “Ibu tahu siapa nenek buyut Ibu di Solo?”
Rupanya ruang lamunanku belum tertutup rapat pintunya. Pertanyaan itu tiba-tiba saja terlontar dari mulutku. Aku merasa bersalah! Dan di tengah perasaan kikuk, aku menuai tatapan penuh tanya dari ibu yang rupawan itu.
“Maksud anda?”
“Maaf, saya dari Suriname, lama tinggal di Belanda, saya ingin tahu nenek moyang saya di Jawa.”
Ibu itu segera memalingkan tatapannya, dia tidak tertarik. Dia membenamkan wajahnya pada telepon pintarnya. Aku merasakan ketegasan dari bahasa tubuhnya. Dia hendak menegaskan perbedaan kelas antara keturunan ningrat dan keturunan kuli kontrak. Kuli kontrak memang tak ubahnya budak, hanya statusnya saja yang berbeda, dia berupah 30 sen. Separuh dari 60 sen yang pernah dijanjikan saat membubuhkan cap jempol di sebuah kertas yang tak pernah bisa mereka baca.
Mereka adalah para papa korban penculikan, penipuan, tunawisma, para pencoleng, para sampah masyarakat yang dicerabut dari tempat tinggal lamanya. Dipenjara sebagai kriminal di Jawa, menggelandang di pinggir jalan dan dipindahkan ke Suriname untuk bekerja di kebun. Mereka menjadi asing di negeri orang, mereka masih berdialek Jawa namun kehilangan makna. Mereka masih menjalani ritual seingatnya namun hampa tak tahu mengapa. Mereka menyanyi tembang yang sama tapi tak sanggup menghibur hati lara. Mereka ingin pulang tapi tidak tahu hendak menyapa siapa? Entah kakak, saudara tua, adik atau sepupu. Benang-benang halus ikatan keluarga telah dihapus dengan kewajiban mengganti nama saat nenek moyang mereka baru tiba di Suriname.
Tiba-tiba aku merisaukan janji Little Kanjeng, akankah dia seperti ningrat di sebelahku?
***
Tahun 1651 Suriname dipeluk Inggris sebagai istri muda, sampai janji damai di Breda 1667. Dalam akad itu, Inggris menyerahkan Suriname ke pelukan Belanda dalam pertukaran gula-gula. Pada tahun 1783, cinta lama Inggris bersemi kembali, dia merebut kembali Suriname hingga 1802. Melalui janji akur di Amiens, Suriname yang molek diserahkan kepada Belanda. Manisan yang sudah ada di mulut, dimuntahkan dan dikulum lagi oleh mulut temannya. Begitulah kelakuan sesama kolonial.
Tetapi setahun kemudian, Inggris kembali berhasrat pada Suriname. Dia merebutnya dari peluk birahi Belanda. Sejak 1804 Suriname menjadi istri muda kebanggaan Inggris dengan sebutan “the British Interregnum”. Inggris seperti pria romantis yang miskin, situasi ekonomi Suriname mundur, karena larangan perdagangan budak. Padahal perkebunan perawan Suriname masih sangat memerlukan tenaga buruh. Inggris seperti pria yang bangkrut, akhirnya mengembalikan Suriname kepada Belanda. Pria keji, namun kaya raya. Sepertinya kemanisan gula-gula Suriname masih tebal sehingga tak habis-habis meski telah dikulum bergantian.
“Dulu kami naik truk dari Paramaribo ke sini,” cerita nenek padaku saat mau tidur.
“Nenek sama siapa?” tanyaku waktu itu.
“Aku sama nenek buyut Oneng,” jawab nenek, imbuhnya lagi, “dia bukan siapa-siapaku, dia hanya kasihan padaku karena ditinggal mati ibuku.”
“Lama?”
“Dua hari, sopirnya orang Belanda, mungkin kami bertiga puluh orang dari Paramaribo, ada yang dari Kebumen, Solo, Sumedang, Ciamis, Sumpyuh,” kenang nenek, “dari Jawa semua, kami dipisah dengan orang-orang Hindustan yang besar-besar.”
Belanda sangat ketat menjaga haremnya. Suriname dipimpin langsung Gubernur Jenderal, didampingi oleh Dewan Kepolisian sebagai Penasihat Gubernur. Tetapi gelombang kemanusiaan menghapus perbudakan pada 1863. Kala itu Belanda nyaris bangkrut. Suriname tidak menentu bagai istri muda gelandangan. Karena itu, kemudian Belanda mendatangkan kuli kontrak ke Suriname. Belanda mendatangkan kuli kontrak pertama, para pria kekar dari Hindustan, India dengan tugas khusus memerawani hutan Suriname menjadi kebun. Gelombang berikutnya adalah para imigran dari Jawa yang tekun bertani untuk merawat kebun. Seiring dengan itu, Suriname kembali bergelimang harta untuk membelanjai jalan raya dan jalur laut langsung dari Suriname kepada papa di Belanda.
Padmi adalah nama nenek. Aku pun mewarisi sepenggal namanya menjadi Ashna Padmi, yang artinya putri yang pintar. Seolah merekam pertanyaan-pertanyaannya, aku pun menghabiskan tujuh tahun pertama hidupku bersama nenek, karena ibuku buru-buru melahirkan adikku.
“Kalau besok kamu sudah besar, sekolahlah di Belanda, setelah kau ada kesempatan, tolong kunjungilah Jawa, carikan kampung halaman nenek,” demikian kata nenek di tengah timangannya saat aku kecil.
“Memang di mana kampung nenek?” tanyaku sambil memainkan keriput di leher nenek.
“Tidak tahu, kau yang harus mencari.”
Rasa pertama yang mungkin aku pelajari adalah rasa rindu. Aku belajar merindu dari keterpisahanku dengan ibu sejak tahun pertama hidupku. Saat adikku lahir, aku diasuh nenek. Kemudian aku mempelajari ragam kerinduan secara mendalam dari nenek. Timang-timangnya tidak lain adalah rindu. Rindu kampung halaman yang begitu kuat mengakar dalam batin nenek, sampai membuncah tumpah tak terhingga. Melimpah meluber ke tabula rasaku, hingga hanya rindu satu-satunya rasa yang bisa intim denganku. Kadang rasa senang hinggap, tapi itu hanya bila rindu berbalas. Sering marah memperparah, tapi lagi-lagi karena rindu merana. Rindu adalah rasa ibu dari rasa-rasa yang lain dalam hidupku.
“Aku mewarisi merindunya nenekku,” kataku suatu ketika saat ditanyai Little Kanjeng, tentang mengapa aku mau ke Jawa.
***
Di Jogja, aku mendarat penat, memang penat delapan belas jam perjalanan dari Amsterdam. Dan mungkin harus penat karena aku bukan hendak berlibur, aku akan mencari keluarga nenek. Keluargaku juga. Mungkin budhe, paklik, om, tante, sepupu atau keponakan. Entahlah. Aku tidak tahu siapa yang akan aku temui. Kalau pun aku akan menemui seseorang, akankah dia mendakuku bagai saudara? Atau aku juga bisa menerimanya seperti saudara?
Aku mengemasi bagasi dan langsung ke hotel. Awal yang baik, semuanya riuh ramah. Seperti pagi yang tergopoh-gopoh menyambut mentari. Aku merasa mendapat tempat hangat di hati mereka. Tidak seperti yang nenek risaukan tentang Jawa. Lima-enam kali aku boleh terpesona “sapa-aruh” ramah. Tapi setelah berbelasan, ramah yang apa dulu?
“Silakan Bu, taksi argo …. “
“Mari Bu, pijat …. “
“Jamunya Bu …. “
“Becak, keliling oleh-oleh, murah saja …. “
“Daster kaos, dingin sejuk, Bu …. ”
Lama-lama aku merasakan keramahan ini ada dalam balutan gula-gula penjual-pembeli. Dan, aku dipasangkan pada peran sebagai pembelinya. Pembeli yang akan sering-sering membuka dompet. Dan itu tentu bukan aku. Aku yang tidak tahu akan seberapa lama mengembara mencari. Aku yang tidak mengerti apakah pencarian ini akan berakhir. Aku yang tidak yakin apakah pertanyaan nenek akan terjawab terang benderang bagai siang. Atau justru akan berakhir dengan keputusasaan.
Cukup sudah semua basa-basi. Aku harus bekerja. Aku perlu menghubungi Little Kanjeng. Aku membuka layarku, mencari Little Kanjeng. Aku duduk meneduh di bawah pohon sawo kecik, begitu yang terbaca pada lembaran kecil seng kusam yang tertancap di batangnya. Hotel ini mungkin sudah hampir tutup. Pelataran parkirnya sepi saja. Tamunya juga sepi, meski makanannya enak. Saat sarapan tadi sayur lodeh “aubergine”-nya enak. Tidak jauh berbeda sayur buatan nenek, yang berbumbu hampir serupa namun berisi “pumpkins” dan berhias “jalapeno”. Beda bumbunya hanya pada “curry leaf” yang diganti “bay leaf”. Daun salam tidak tumbuh di Suriname, adanya hanya salam koja yang dibawa orang Hindustan.
Ada beberapa becak tampak parkir dan pengemudinya diijinkan tidur di situ. Satu orang pengemudi becak yang tertua acuh tak acuh. Hanya memicingkan mata sejenak, lalu terlelap lagi. Plok!
“Gosh!” aku memekik.
Sebutir buah oranye jatuh, kecil, keras, seukuran buah zaitun yang aku kenal. Menggelinding melalui pangkuanku dan jatuh ke tanah. Pak tukang becak terbangun karena teriakan kagetku.
“Itu sawo kecik, enak, cobalah,” katanya malas.
Aku yang biasanya teguh menolak tawaran membeli barang, kini terpengaruh. Tanganku tergerak meraih butiran jingga yang wangi.
“Manis!” kataku tentang buah yang teksturnya seperti pasta wasabi tapi rasanya seperti kurma, bau wanginya asing tapi ramah menyapa syaraf sensoris hidungku.
“Hem …. ” kata tukang becak itu jumawa malas.
Aku terkesima, dia tidak melihatku dalam hubungan pembeli-penjual seperti biasanya orang-orang di Jogja memperlakukanku. Tapi dia justru menarik perhatianku. Aku tidak jadi menghubungi Little Kanjeng. Perhatianku teralihkan pada pria tua itu.
Pria ini enam puluh tahun lebih, aku kira. Tubuhnya masih berotot karena terbiasa mengayuh becak. Rambutnya perak, bersandar di handuk keringat kusam sebagai bantal seadanya. Dia tidur meringkuk di bangku becaknya. Bangku yang licin, merah terang. Sebuah papan disilangkan dari sisi ke sisi, sekedar untuk menumpangkan kaki dan mencegahnya jatuh karena tidur di bangku yang kekecilan. Pelataran yang miring ke selatan, sebagaimana umumnya kontur di Jogja yang miring karena ada Merapi di utara dan laut selatan di seberangnya, hanya disiasati dengan separuh batu bata merah yang mengganjal roda belakang tunggal becaknya.
“Istirahat, Pak?” seringaiku mencoba ramah.
“Sepi, Mbak.”
“Tidak jalan?”
“Bikin lelah nggak mesti dapat uang.”
“Tinggal di sini, Pak? tanyaku mengamati sekeliling.
Pelataran parkir ini cocok untuk istirahat. Luas dan teduh. Tiga empat tukang becak nampak beristirahat.
“Iya, seminggu sekali pulang, kalau sudah dapat uang.”
“Dimana?”
“Nang kene,” dia menunjuk becaknya.
Aku paham kata-kata itu, sebagian frase masih sering diucapkan orang-orang Pertjatjah Luhur, Pandawa Lima dan Karukunan Tulodho Pranatan Ingit di negaraku. Aku celingukan. Dia paham.
“Mandinya di situ,” dia menunjuk toilet umum parkiran, “tidur di sini, makannya di angkringan.”
Aku mengangguk, “Asalnya dari mana, Pak?”
“Selopamioro.”
Dia menyebut tempat yang tidak pernah aku kenal. Namun serasa pernah didengar oleh telingaku. Kata-kata mirip itu pernah sekali terucap dari bibir nenekku. Selo Oro nenek pernah lamat-lamat menyebutnya, sesaat menjelang ajalnya datang.
***
Senin pagi, hari di mana aku sudah janjian dengan Little Kanjeng. Hari ini kami akan mulai pencarian di Banjar Wilapa. Informasi yang kucari sudah jelas. Aku ingin mencari dokumen berisi daftar nama asli buruh kontrak yang berangkat ke Suriname. Pengiriman buruh kontrak ke Suriname dimulai tahun 1890 dari India. Pengiriman itu kemudian ditentang oleh Mahatma Gandhi. Lalu Belanda teringat kuli-kuli Jawa yang rajin bekerja di Sumatera. Rombongan pertama kuli kontrak Jawa itu diberangkatkan akan pada tahun 1890. Selanjutnya, hingga tahun 1939 tercatat 34 kali pengapalan kuli kontrak.
“Segawon landi,” tegasku pada Little Kanjeng.
“Oh ya …?” Little Kanjeng terperangah, dia tahu belaka maknanya adalah anjing Belanda.
“Orang tuaku lahir di Suriname, pada 1951 mereka otomatis dinyatakan berkewarganegaraan Belanda, namun mereka boleh menolaknya.”
“Dan orang tuamu boleh pindah ke Belanda?”
“Ya, mereka menerima kewarganegaraan Belanda dan mereka dengan adikku pindah duluan ke Amsterdam,” kataku, “aku pindah tujuh tahun kemudian setelah nenek wafat.”
“Nenekmu tidak ikut pindah ke Belanda?”
“Tidak, sudah terlalu tua untuk memulai yang baru.”
“Pasti ada pelabelan antara yang pindah dan yang tidak, ya?”
“Ya, saudara-saudara memanggil bapak dan ibuku sebagai ‘segawon landi’.”
“Lantas kemana kau bisa merasa pulang?”
“Tidak ada, Belanda adalah tanah perantauan, pulang ke Suriname sebagai ‘segawon landi’ bukanlah pilihan,” lanjutku, “pulang ke Jawa, siapa yang akan mendaku saudara?”
“Kita akan mencari keluargamu, Ma’am …” kata Little Kanjeng memelukku.
Aku menyukainya semenjak dia belajar feminisme post-kolonial di mata kuliah yang aku ampu. Dia feminis yang cerdas melakukan analisis sosial tentang patriarki di negaranya. Dia seolah begitu terikat dengan para perempuan di negaranya. Negara yang tiba-tiba mabuk budaya rongsokan dari Arab. Bagiku yang lama hidup sendiri, memiliki teman seperti Little Kanjeng adalah anugerah. Aku sangat menghargai persahabatan ini.
“Nederlandshe Handel Maatschappij.”
“Kita cari di lema itu saja?” tanya Little Kanjeng sambil menelusuri katalog di Banjar Wilapa.
“Boleh juga, aku mempertimbangkan beberapa lema untuk pencarian, tapi itu lebih baik, misalnya ‘werek’, calo para kuli.”
Usaha pertama mencari kuli di Jawa tidaklah mudah. Sebagai percobaan, mereka berencana memberangkatkan 100 kuli kontrak dulu, namun itu sulit. Nederlandsche Handel Maatschappij hanya mampu mengumpulkan 61 pria, 31 wanita dan 2 anak-anak. Setelah empat tahun uji coba dan berhasil. Mereka mendatangkan lagi rombongan kedua kuli kontrak, jumlahnya enam kali lipatnya. “Werek”-lah yang merekrut ke desa-desa dengan segala cara.
“Ya, ‘werek’ melakukannya dengan segala cara … penculikan, penipuan bahkan ilmu hitam yang dikenal sebagai ‘sirep’,” itu catatan antropolog De Waal Malefijt paparku.
“Ini ada laporan, dari 389 kuli kontrak Jawa, 193 diantaranya mengaku ditipu, 6 perempuan karena di-”sirep” atau dihipnotis sebelum diculik, 70 orang karena tidak kerasan di Jawa, 90 orang ikut saudara dan cuma 27 yang mengaku karena keinginan sendiri.” celoteh Little Kanjeng membaca laporan.
Aku membuka catatanku, ada “poenale sanctie”, ancaman hukuman badan buat kuli yang mangkir. Pikiranku melayang jauh. Jauh melintasi tahun, untuk menemui nenek buyutku, perempuan Sunda itu, yang wafat karena hukuman itu. Dia hanya ingin pulang sebelum lima tahun masa kontraknya habis.
“Mereka menyiksanya?”
“Hukuman badan, deraan dan kurungan.”
Little Kanjeng menggigit bibir. Dia merasakan kengerian itu. Dia membayangkan, pada masa kini pun sudah banyak hal fisik yang menjadi alasan penderaan pada perempuan. Perempuan yang cerdas dan berani sering tidak mendapat penghargaan melainkan label ancaman bagi kelanggengan patriarki yang kadang alasannya surga. Berani-beraninya mereka menjanjikan surga bagi penjinakan perempuan ketika Tuhan justru feminin sekaligus maskulin.
Aku membangunkan Little Kanjeng dari lamunannya.
“Ini ada laporan 300 keluarga atau 1.011 jiwa, rombongan repatrian ditempatkan di Tongar, Kabupaten Pasaman.”
“Kenapa mereka tidak dipulangkan ke Jawa?” gugat Little Kanjeng, “bukankah mereka dari Jawa?”
“Itu yang aku takutkan, kembalinya repatrian ke Jawa sudah tidak memungkinkan karena perubahan-perubahan lingkungan atau perasaan tercerabut seperti nenekku.”
“Mereka kehilangan identitas, mereka sudah tidak lagi Jawa, bukan Suriname dan bukan pula Belanda?”
Aku semakin dekat pada perasaan nenek. Perasaan seseorang yang identitasnya telah tercuri oleh keadaan. Hatinya bagaikan zahir yang kehilangan isi. Ya hatinya, bukan yang lain, seperti rahim yang bertahun-tahun dingin dan kosong. Seperti poci yang tidak pernah merasakan kasih karena telah menuangkan teh hangat. Seperti vas yang tak pernah diisi bunga. Seperti tanah humus yang tak pernah menumbuhkan apapun. Itulah penderitaan yang deraannya lebih berat dari sekedar “poenale sanctie”.
***
Aku meneruskan pencarian sendiri. Sudah dua puluh tujuh hari aku berkelana. Kadang membaca naskah, kadang mengunjungi desa-desa yang tertera di naskah. Desa yang patut kusangka sebagai desa nenek. Hasilnya masih nihil. Determinasiku selama pencarian di Belanda ataupun di Indonesia masih belum membuahkan cahaya. Aku juga pergi ke Surabaya dan Jakarta, dimana ada jejak perusahaan Belanda pengirim kuli kontrak. Aku pernah berjumpa dengan keluarga “werek”, yang aku telusuri dari selembar kuitansi bukti pembayaran jasa pengerahan kuli. Keluarga itu bahkan tidak tahu apa itu “werek”.
Little Kanjeng kadang bergabung dalam pencarianku di sela-sela dia mengajar dan demo. Tapi kali ini dia berjanji bergabung. Kami akan ketemu Rama Nurdi atau Kanjeng Paku.
“Sudah siap, Ma’am?” tanya Little Kanjeng ceria seperti biasa.
“Sudah, kita berangkat sekarang?”
“Nanti dulu, tolong ini disimpan dulu, Ma’am.”
“Apa ini?”
“Bukalah Ma’am.”
“Kaos?”
“Bukalah lipatannya … ,“ tatap Little Kanjeng penuh arti.
“Oh!“ aku memekik haru.
Sebuah kaos bertulisan “Sur I Name”. Aku sering melihatnya di Malioboro dan aku tidak tertarik. Tapi kaos ini istimewa, aku meraba tanda tangan spidol emas Didi Kempot. Lagu-lagu baladanya begitu “relate” dengan nelangsaku selama ini. Lirik dan alunannya begitu mewakili kerinduanku dan nenek akan kampung halaman. Meskipun maestro ini tidak pernah membuat lagu tentang kuli kontrak, tapi dia begitu indah menangisi rindu karena rentangan jarak.
“Ayo kita berangkat?”
Kesan Little Kanjeng, Rama Nurdi adalah pria sederhana. Bahkan terlalu sederhana sebagai pengageng kraton. Pria ini juga terlalu kurus, mungkin karena hidupnya yang terlalu lurus. Dia berkacamata kaca, yang kacanya terlalu datar sehingga pupil matanya sering tersamar bidang datar yang terbentuk dari pantulan cahaya dari depannya pada kacamatanya. Rama Nurdi membuka pembicaraan Jawa yang santun dan terpelajar. Dia mengutip petuah RMP. Sosrokartono, kakak RA. Kartini.
“Sudah benar orang Jawa belajar sampai jauh,“ katanya, “orang Jawa itu seperti pohon asam jawa, dia perlu air dan cahaya dari mana saja agar besar, tapi dia tetaplah asam jawa.”
“Betul, Rama,” kataku basa-basi.
“Air dan cahaya bisa dari mana saja tapi jangan sampai mengubah pohonnya,” lanjutnya, “dia tetaplah pohon asam jawa hanya lebih kokoh dan lebih besar, lebih rindang dan lebih banyak orang bisa bernaung.”
“Njih, Rama,” Little Kanjeng menimpali.
“Saya senang Nak Padmi mencari keterangan tentang keluarganya,” lanjutnya, “berarti Nak Padmi tidak lupa dengan sejatinya sebagai pohon asam jawa.”
Aku merasa agak aneh namun senang. Aku Ashna Padmi dan nenekku Padmi, aku merasa Rama Nurdi sedang menyapa kami berdua.
Di lubuk hatiku aku bilang, “Nek, kita sedang disapa, mereka tidak sinis padamu.”
Mataku berkaca-kaca. Aku berharap semoga nenek senang di sana. Andai nenek dulu diperabukan. Aku mungkin akan membawa abu nenek kemari. Andai aku masih tahu dimana makam nenek, maka aku akan membawa belulangnya kemari.
“Nak Padmi, jumlah keseluruhan kuli kontrak itu 31.449 orang dalam 34 kali pemberangkatan dari tahun 1890 sampai tahun 1939. Sementara yang kembali ke Indonesia setelah kontrak habis hanya 8.130 orang dengan 23 kali pengapalan, itu pun tidak semuanya ke Jawa.”
“Ya, Rama.”
“Itu jumlah yang sangat banyak, tidak usah menghabiskan energi untuk mencari keluargamu,” nasihatnya, “mereka sudah mengganti nama para kuli dengan nomor belaka seperti ternak yang hanya dihitung tenaganya.”
“Tapi Rama …. “
Belum sempat aku berargumen, dia sudah melanjutkan.
“Asal engkau masih mengingat bahwa dirimu adalah pohon asam jawa maka engkau orang Jawa,” tegasnya, “jadilah besar dan berguna, lihatlah ke depan karena kami menerimamu, tidak perlu menelusuri fisiknya, memang ada orang yang sinis pada keturunan kuli, abaikan. Ada Rama dan Little Kanjeng yang akan menerimamu sebagai saudara.”
Rama Nurdi tidak melihatku yang mulai deras berkaca-kaca. Dia sedang menoleh ke arah Little Kanjeng yang sedang mengangguk dan tersenyum.
“Pesanku pada kalian berdua, kalian masih muda, jadilah ‘jawa bares’, ‘jawa deles’ dan ‘jawa sejati’, orang Jawa yang selalu jujur, benar dan sejati, di manapun kalian berada, itu lebih baik,” pungkasnya, “daripada kalian ada di Jawa tapi kehilangan makna.”
***
Semalam aku tidak ke mana-mana. Meski aku juga sudah banyak hari tidak kemana. Aku biasanya sibuk dengan salinan dokumen pencarian yang bisa aku bawa pulang. Aku sudah sampai menemukan tahun-tahun keberangkatan 34 kapal kuli kontrak dari Jawa. Tidak ada yang melaporkan wabah kolera. Beberapa pemberangkatan memang melaporkan perbedaan jumlah kuli yang berangkat dari Jawa dan yang turun di Suriname. Aku tadinya terobsesi dengan selisih itu. Jangan-jangan nenek buyut ada dibalik angka itu. Memang hanya angka namun dibaliknya ada kenangan dan kehilangan besar bagi nenek. Yang itu diwariskan padaku melalui pengasuhannya pada tujuh tahun pertama hiduku.
Tapi tadi malam aku tidak bekerja dengan dokumen. Aku merenungi nasihat Rama Nurdi. Selama ini mungkin aku hanya menggunakan akal nalarku untuk mencari keluarga nenek. Selama ini nalar telah terdayai oleh ego. Ego untuk menyamai yang lain dalam hal garis silsilah. Termasuk sebersit iri pada Little Kanjeng yang garis silsilahnya terang benderang. Sementara garis silsilahku kabur, bersama perjalanan panjang melintas samudera untuk sebuah harapan palsu kuli kontrak dari nenek buyut dan nenekku. Mereka mungkin korban penipuan, penculikan atau yang manipulasi yang lain. Nenek buyut tidak berangkat dengan kakek buyut. Dimanakah dia gerangan?
Pagi ini aku ingin membiarkan akal budi mengambil tempat memimpin pencarian. Rama Nurdi sudah mendasari akal budiku untuk memimpin. Aku tidak lagi terlalu risau dengan garis silsilah. Aku sekarang lebih berempati pada nenek dan nenek buyut. Mereka perempuan yang tubuh dan jiwanya dibawah penguasaan orang lain. Hingga sekarang, usaha-usaha penguasan tubuh perempuan pun masih sering terjadi. Kita belum banyak beranjak rupanya. Perempuan lahir dan mati hanya untuk menyerahkan dirinya pada penguasaan laki-laki di dunia yang patriarkis ini. Kuli kontrak, salah satu wujud penguasaan yang kuat pada yang lemah, yang kaya pada yang miskin, yang tahu pada yang buta. Relasi ini sekarang pun masih sama, hanya wujudnya berbeda.
Pagi ini aku ingin jalan-jalan. Aku ingin beranjak dari akal nalar ke akal budi. Aku perlu mempertajam akal budiku. Entitas yang lebih luas daripada akal nalar. Entitas yang selama ini mangkir padahal seharusnya memimpin akal nalar. Entitas yang didayai oleh empati. Pria pengemudi becak yang mengenalkanku pada buah sawo kecik tampak sudah siap menjalankan becaknya.
“Pak!”
Dia menoleh dan berhenti. Turun dan berdiri. Memandangku lugu, menunggu aku mendekat dan berbicara lagi.
“Kita jalan-jalan, Pak?”
“Haaa … mari.”
“Ke mana Bu?”
“Ke mana saja, aku ingin merasai Jogja, kampung halamanku,” aku merasakan ada kemantapan pada kata-kataku karena kata-kata Rama Nurdi dan sikap Little Kanjeng.
“Aku orang Jawa,” aku membatin menyakinkan diri.
“Namamu siapa, Pak?”
“Hadi,” jawabnya pendek, sambil terus mengayuh beban tubuhku.
Ada rasa bersalah. Aku sudah berbincang dengannya sejak hari pertama aku, tapi aku tidak mengenal namanya.
“Tinggal di Selo Oro?”
“Selopamioro,” dia membenarkan.
“Jauh dari sini?”
“Satu jam ke selatan.”
Orang Jogja gemar menggunakan mata angin sebagai penunjuk arah, termasuk pada orang yang baru datang sekalipun. Mereka punya Merapi di Utara dan laut di Selatan sebagai peta mentalnya. Kadang itu membingungkan bagi pendatang yang tidak punya peta mental yang sama.
“Pernah dengar kuli kontrak, Pak?” aku iseng saja bertanya hendak mengukur ingatan komunal tentang perampasan identitas itu.
“Woo … iya Bu,” di sela nafasnya yang memburu dia berteriak, “Adik nenek saya dan anaknya hilang waktu itu, katanya disirep dan dibawa ke tanah sabrang.”
“Masih ingat kejadiannya?”
“Ya cuma itu Bu,” katanya, “wong saya belum lahir.”
“Sirep itu bagaimana sih Pak?” aku mulai penasaran karena ada laporan antropolog yang memaparkan “sirep” sebagai cara perekrutan kuli kontrak.
“Ya, saya cuma katanya lho, Bu,” jelas Pak Hadi lugu, “orang yang mau disirep diinjak jempol kakinya atau dipegang bahunya, lalu dibacakan mantra sehingga menurut pada perintah orang yang menyirep.”
Aku memahaminya sebagai hipnotis. Sekarang hipnotis juga dipakai dalam banyak hal baik, seperti “hypnotherapy”.
Aku iseng lagi, “Kenal kuli kontrak yang waktu berangkat masih kanak-kanak, dia pergi ke tanah sabrang dengan ibunya, namanya Ngatirah.”
“Mbah Lik saya namanya Panem dan anaknya namanya Ngatirah, Bu,” kata Pak Hadi datar, seperti bukan kejutan, “tapi ya … sudah dianggap hilang begitu saja, wong jauh di tanah sabrang.”
***
Glosarium:
- Sur I Name: Bunyi tulisan kaos yang pernah dipakai penyanyi balada Didi Kempot saat pentas di Suriname. Penulis hanya menduga maksudnya adalah pesan simpatik kepada warga Suriname yang kebanyakan beretnis Jawa.
- “Passengers of Etihad Airways EY 472 are requested on board!”: “Penumpang Etihad Airways disilakan naik pesawat!”
- “boarding”: naik pesawat atau kapal atau kendaraan lain.
- “Your boarding pass and passport, please.”: “Silakan menunjukkan tanda naik pesawat dan paspor.”
- “Here, please.”: “Silakan, ini.”
- “To Jakarta, please this way.”: “Ke Jakarta, silakan lewat sini.”
- “I won’t miss my connecting flight to Yogyakarta, right?”: “Saya tidak akan ketinggalan penerbangan lanjutan, kan?”
- “No, you won’t, here it is written that you will have three hours to transfer to domestic flight,” kata awak darat ramah, “Otherwise, your domestic one is in the same airport, just a different gate.”: “Tidak, tidak akan, Anda punya 3 jam untuk transfer penerbangang” kata awak darat ramah, “lagi pula penerbangan domestic Anda dari bandara yang sama, hanya beda pintu gerbang.”
- see you: sampai bertemu.
- “Have a nice flight, see you, Ma’am,”: “Semoga penerbangannya menyenangkan, sampai bertemu, Bu.”
- Penghageng Angka Kalih Banjar Wilapa: Pejabat nomor dua Banjar Wilapa.
- Banjar Wilapa: nama perpustakaan Kraton Yogyakarta.
- “tanah sabrang”: Tanah Seberang Lautan.
- Damn: Sialan.
- “the British Interregnum”: wilayah otonom.
- Budhe: Kakak Ibu.
- Paklik: Paman.
- “Sapa-aruh”: tegur sapa.
- “Aubergine”: terong.
- “Pumpkins”: labu.
- “jalapeno”: cabai rawit.
- “curry leaf”: daun salam koja.
- “bay leaf”: daun salam.
- “Gosh!”: umpatan karena terkejut.
- “Nang kene,”: di sini.
- “Segawon landi,”: anjing Belanda.
- “Nederlandshe Handel Maatschappij.”: perusahaan pengerah jasa kuli kontrak milik Belanda.
- “Werek”: calo kuli kontrak, biasanya orang pribumi atau peranakan Belanda-Pribumi.
- “poenale sanctie”: hukuman badan karena kuli kontrak yang mangkir.
- “relate”: terhubung dan relevan.
- “Njih, Rama,”: “Ya, Bapak.”
- ‘jawa bares’: orang Jawa yang jujur.
- ‘jawa deles’: orang Jawa yang benar.
- ‘jawa sejati’: orang Jawa yang sejati.
- Sirep:
- Mbah Lik: adik nenek atau kakek.
- Wong: cara bertukas orang Jawa, untuk menyangatkan keadaan.