Andrenaline Katarsis
Tahun 2003 saya menulis skripsi tentang perjalanan spiritual Danghyang Niratha dan tempat wisata favorit saya di Bali, Tanah Lot. Kenapa jauh-jauh di Bali? Apa di Bandung kekurangan objek wisata menarik? Nggak. Bukan itu. Saya ke Bali selain nulis skripsi ya sekalian pelesir dong. Sambil menyelam minum airlah. Begitu.
Dan ini tentang buku. ‘Menggugat Bali’ karya Putu Setia terbitan Grafiti cetakan pertama tahun 1986 inilah yang menjadi kitab utama saya ‘mengintip’ Bali, selain kitab-kitab lainnya yang saya lampirkan di daftar pustaka skripsi saya. Tak perlulah saya tulis satu persatu daftar itu di sini juga ‘kan?
Oke, demi menemukan kembali buku ‘Menggugat Bali’ diantara timbunan buku-buku lain di rumah, tiba-tiba saya jadi kangen pulau Bali, jadi teringat masa-masa penulisan skripsi. Proses menulis skripsi itu kok ya seperti dikuliti hidup-hidup dan dibunuh berkali-kali. Tidak gampang dan perih. Intinya, menemukan lagi buku Putu Setia ini saya seperti terdampar pada sebuah ingatan.
Tahun 2014 penerbit KPG mencetak ulang buku karya Putu Setia. Judulnya diubah dan dibalik menjadi ‘Bali Menggugat’ dari yang semula ‘Menggugat Bali’. Isinya sama dengan terbitan sebelumnya, hanya saja di setiap akhir esai-esainya Putu Setia menambahkan catatan-catatan refleksi atas perubahan-perubahan adat dan budaya Bali, 28 tahun setelah buku pertamanya itu terbit.
Ah, kalau saya lagi kangen alam dan budaya Bali, kangen sebungkus nasi jinggo yang saya beli di pasar Kreneng, juga pada teman-teman di Bali yang selalu menyuguhi saya arak Bali setiap malam sampai saya dibuat mabuk dan nyaris tersungkur ke dalam semak-semak, saya cukup membaca buku buah karya Putu Setia ini saja. Sambil diiringi musik ‘Bali Rindik Bamboo Music for Relaxation’ yang saya sedot dari internet, rasa rindu itu pun pecah berhamburan dan terbayar lunas.
Dan kenang-kenangan itu saya tuliskan juga di novel saya, Museum Kenangan. Sudah, cuma itu saja sih…
22 Juli 2020