YOGYAKARTA KOTA IMPIAN

Aprinus Salam *

Kami pernah mendapat kesempatan untuk melakukan riset kecil-kecilan tentang Kota Yogyakarta. Sebagai kota seni budaya, kota seni budaya apa yang dapat diimpikan ke depan. Tentu ini menyangkut banyak hal, kenyataan sejarah, kondisi infrastruktur, situasi masyarakat, faktor kuliner dan ritual-ritual, keberadaan bahasa, seni dan sastra, kearifan lokal, berbagai praktik permainan dan olahraga tradisional, hingga berbagai kondisi lain seperti realitas politik, ekonomi, juga berbagai peraturan.

Tidak mudah membayangkan Kota Yogya 15 atau hingga 25 tahun ke depan. Saat ini, kota Yogya telah dipenuhi penduduk dan rumah-rumah yang berjejalan, jalan-jalan yang semakin padat, hotel dan mall berdiri dengan megah. Di berbagai sisi-sisinya, artefak-artefak, kraton, berbagai bangunan dan gedung tua, museum, dan peristiwa bersejarah terlihat menjadi jejak-jejak yang semakin nostalgis.

Masyarakat terfragmentasi ke dalam berbagai kecenderungan yang berbeda. Sejumlah masyarakat semakin bersemangat untuk kembali menjadi Jawa. Kembali ke masa keemasan Mataram Islam, baik pada masa Mataram Sultan Agung, dan terutama, khsususnya pada masa Hamengkubuwono I. Namun, tidak jarang ada juga yang coba mengusung Jawa sebelum masa pra Islam, yakni Mataram Hindu. Kontestasi tersebut masih terus berlangsung.

Yang membuat dinamis adalah ketika sejumlah komunitas Jawa merasa lebih Jawa dibanding komunitas lain. Artinya, referensi untuk kembali menjadi Jawa bukan masalah mudah untuk disepakati. Kecenderungan inilah yang kami sebut sebagai pos-Jawa, yakni ketika terjadi kontestasi sesama Jawa, dan tidak ada kesepahaman Jawa yang mana yang dapat dijadikan pedoman. Walaupun sebenarnya, jika melihat berbagai kebijakan atau pun peraturan Walikota, maka dapat dipastikan arahnya adalah Mataram Islam.

Namun, kondisi itu bukan berarti dengan mudah dapat menjadi pegangan dalam membangun kota impian seperti apa ke depan. Memang, kecenderungan untuk kembali ke “budaya asli” tersebut juga terjadi di berbagai kota lain di Indonesia. Persoalannya adalah bahwa saat ini, di mana pun, seperti halnya Yogyakarta, terdapat beberapa klasifikasi warga. Warga yang dari dulunya memang sudah tinggal di Yogya, warga Indonesia lain yang kebetulan menetap di Yogya, atau warga yang menempati Yogya dalam waktu berbatas.

Pendekatan lain yang juga kami gunakan dalam menganalisis masalah adalah pendekatan yang berbabau poskolonial. Dalam hal ini terutama konsep kota utopia dan distopia. Hal ini dengan mempertimbangkan bahwa yang menjadi warga Yogya tidak semuanya berasal dari Yogya. Banyak warga yang berasal dari luar Yogya membayangkan Yogya sebagai kota utopia tersendiri. Yogya yang nyeni, nyaman, ramah, penuh sejarah, dan nJawani.

Namun, kenyataannya, Yogya yang mereka temui adalah kota destopia. Memang ada situasi, kondisi, dan perasaan untuk ikut menjadi Yogya. Namun, tetap saja terdapat berbagai deskrimisasi dan perbedaan perlakuan karena perbedaan gaya bahasa, selera makan, atau berbagai kebiasaan lainnya yang berbeda. Yogya memang menyediakan ruang-ruang kecil untuk sekali-sekali merasakan suasana, seperti kuliner misalnya, seperti di kampung dari mana mereka datang. Namun, tetap saja tidak sama.

Dengan demikian, pertimbangan warga Indonesia yang di Yogya, perlu diperhitungkan sebagai kuatan besar bagi kota ke depan. Kita tahu bahwa banyak warga seperti ini telah memberikan kontribusi, misalnya dalam konteks seni dan budaya, bagi kota Yogya. Jika kekuatan dan kontribusi warga ini tidak dipertimbangkan, maka proses-proses osmosis ke depan akan berjalan canggung. Padahal, kenyataannya, proses osmosis sangat sulit dihindari.

Pendekatan lain yang coba kami terjemahkan adalah pendekatan karnaval. Yakni dengan membayangkan kota Yogya sebagai kota karnaval (carnival). Yogya diatur dan diorganisasikan sedemikian rupa secara luwes dengan hitungan per hari, per bulan, hingga per tahun dalam frame karnaval dalam arti sesungguhnya. Pendekatan ini membayangkan akan terjadi proses demokratisasi dan dialog, dan Yogya akan menjadi taman persemaian Indonesia plural dan multikultural.

Persoalannya kembali ke berbagai negosiasi lembut yang dapat kita coba tawarkan ke depan. Kalau melihat berbagai kebijakan dan peraturan di tingkat Propinsi yang diturunkan di tingkat Kota, maka arahnya jelas pertimbangan pertama di depan. Namun, politik, strategi, dan kebijakan itu harus berpegang teguh bahwa siapapun yang memiliki kartu tanda penduduk Yogya, maka dia orang Yogya.
***

__________________
*) Aprinus Salam, mengajar di Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya UGM. Waktu kuliah mengambil skripsi (tahun 1992), dan tesis (tahun 2002), tentang puisi. Sedang disertasi dokternya (tahun 2010) tentang novel. Tahun 2012-2016 menjadi anggota Senat Akademik UGM. Menjadi kepala pusat Studi Kebudayaan UGM sejak 2013. Kumpulan puisinya yang pertama Mantra Bumi, disusul Suluk Bagimu Negeri (tahun 2017). Kumpulan esainya Biarkan Dia Mati (2003) dan, Politik dan Budaya Kejahatan (2015).

Leave a Reply

Bahasa »