AGAMA PERADABAN DI BALIK DALIL KIAI SUTARA


Mohammad Afifi

Kiai Sutara bukan kiai abal-abal. Tak juga kiai-kiai yang senang atau gila panggung. Bagi kiai Sutara, hidup ini memang sedang manggung. Jadi tak penting panggung-panggungan lagi. Hampir seluruh hidupnya tak pernah jumpa dengan yang namanumya microfone. Kiai Sutara–sosok yang hobi dengan keterasingan. Jiwanya ajek, haluannya luas, terkaannya tajam. Hampir semua pengetahuan, beliau kuasai. Mulai Filsafat, sastra, kitab-kitab klasik, hingga ilmu alat.

Keunikan Kiai Sutara tak mandek disitu. Beliau juga sosok yang banyak paham tata bahasa. Mulai dari bahasa daerah–Jawa, Madura, hingga bahasa Arab. Senangnya gitaran, mendengarkan dangdut, dan yang menarik, beliau senang mengumpulkan naskah-naskah kuno. Utamanya kitab-kitab klasik.

“Tuhan itu bukan di Arab Saudi. Maka jangan kamu kira orang yang berangkat haji itu dipanggil Tuhan. Belum tentu. Paham?” ujar Kiai Sutara dalam suatu kesempatan. Saat itu saya sedang ke dhalem beliau untuk sekedar melepas rindu. Sebab memang lama saya tak sowan ke beliau. Halaman rumah beliau tetap, masih dikelilingi bonsai-bonsai.

“Bukannya yang berangkat haji itu memang sedang memenuhi panggilan Tuhan, Kiai?” Tanya saya agak cengengesan. Saya cukup akrab dengan Kiai Sutara. Namun ya begitu, jika salah bicara, alamat kacau! Tetap harus ekstra hati-hati. Kata-demi kata, diksi demi diksi, yang beliau dengar terpantau kritis. Pun yang dikeluarkan pasti terpilih dan mendalam–berkarakter, bernash.

“Apa? Panggilan Tuhan? Gundulmu itu yang dipanggil Tuhan? Butuh apa Tuhan terhadapmu? Kok main panggil-panggilan. Mau ngasih hadiah? Seenaknya saja, bacotmu! Apa dirimu justru yang merasa terpanggil Tuhan? Dasar otak ambles!” Mata kiai Sutara melotot. Saya tak berani bergerak sedikitpun.

“Ampun, Saya sekedar dengar dari ceramah-ceramah di youtube, kiai” Timpal saya.

“Bagus! Yang rajin ngaji di youtube. Nanti tak antemi sandal, ndasmu!. Santri kok gendeng amat! Kamu kira menyelami kedalaman ilmu seefisien di youtube, itu. Dasar santri kacau! Makanya ya bener, otakmu dangkal, jiwamu rapuh. ya begitu itu. Dasar edan! Begini, dengarkan baik-baik, santri diablek! Tuhan itu ada di orang-orang lemah, orang miskin, anak yatim, orang-orang terdiskriminasi, dan siapapun yang takdir hidupnya tak mapan sebagaimana umumnya. Paham?” Lanjut Kiai Sutara. Kopi pahit dan rokok kretek, istiqomah dihadapan Kiai Sutara. Sebab keduanya adalah perangkat inti beliau. Jika tak ada keduanya, otak Kiai Sutara biasanya tak encer. Bisa-bisa asbak rokok terbang kemana-mana.

“Enggeh, Kiai. Sendiko dawuh.” Saya tetap di posisi yang sama. Tak bergerak sedikitpun.

“Tak guna perangkat keagamaan dan praktek-prakteknya jika belaka berlaku formal-formalan. Agama bukan sirkus. Paham, santri budek? Apa guna agama jika dipakai menghakimi yang kamu anggap tak mapan beragamanya. Pun sebagai yang terbai’at beragama, apa guna kekuasaan jika otak kekuasaan dipakai menindas–tak berbuah kemaslahatan. Tak penting kemapanan jika terus-terusan membantai orang-orang kecil. Apa manfaat kemapanan jika sekedar memapankan dirimu sendiri! Semua belaka ketamakan alias beragama dengan amburadul. Lebih tepatnya beragama pada berhala. Jelas? Beragama itu menghadirkam Tuhan dihatimu, bukan didengkulmu yang ambles itu. Masih kurang jelas?! Otak kalau persis batu, ya begitu itu. Atos!” Kiai Sutara menyeruput kopi pahit–pekat. Beliau mendalam.

Kiai Sutara menyalakan rokok kreteknya, beliau melanjutkan dawuh:

“Dalam firmanNya, Tuhan mengingatkan begini, ‘Aroaital ladzi yukaddzibu biddin’–tahukah kamu, siapa para pembohong, yang membohongi, dan yang membohongkan agamanya? ‘Fadzaalika yadu’ul yatim’–ialah pribadi yang kerjaannya mengeksploitasi anak-anak yatim, yang ditindas kenyataan itu. ‘Wa laa yakhuddu ‘alaa tho’aamil miskin’–pribadi yang berpaling dan ingkar pada tiap yang miskin. Alias budeg dan buta terhadap penderitaan sesamanya. Sebab budeg dan buta itulah, mereka lalai terhadap Tuhan. Yang disembah dan dipuja tak lain sekedar satatus sosial, kekuasaan, materi, dan semacamnya. Akibatnya kacau alias amblas. Ya beragama dengan perangkat beehala-berhala itu” Kiai Sutara fokus–ajek. Saya tetap takdzim, tak bergerak sedikitpun.

“Biar makin nyantol, ndasmu, Perlu saya tegaskan kembali, Agama tidak di tivi, tidak di tempat-tempat ibadah. Pun tidak dalam lembaran-lembaran yang dicetak pabrik itu. Apalagi yang sekedar keluar di tiap bacotan-bacotan para da’i, ustad, dan sponsor-sponsor itu. Tidak. Agama tidak disitu. Agama itu di hati dan perbuatan yang luhur. Hati dan perbuatan luhur, tak lain perilaku dan sikap kokoh (mulia) yang mengerti (mendalam). Meringankan derita sesamanya, mengolah hidup dan meletakkan kemanusiaan sebagai tanggung jawab inti–dasar (fundamental). Ini semua berlaku pada siapapun yang beriman. Apapun agamanya. Jelas? Harus paham! Jika tidak, apa perlu saya layangkan asbak ini dikepalamu?!” Kiai Sutara masih asik bermain dengan kepulan asap rokoknya. Asapnya harum-menyengat.

“Berhala-berhala yang bernama status, materi, kekuasaan, dan semacamnya itu berbahaya. Bisa-bisa membikin dirimu mabuk. Implikasinya overdosis dan bisa mengancam diluarmu. Dan ini vatal.” Kiai Sutara makin tenggelam dalam bait-bait keilmuannya. Kerutan dahinya bergelombang. Kiai ini memeng teguh dan berprinsip kuat.

“Wahai santri dengkul yang tak ketulungan! Sebelum perbincangan ini saya tutup, saya ingin menyatakan sekalgus bertanya, selain istilah agama dan bagaimana kamu memberlakukannya, ingat! Tiap agama tak lepas dari yang namanya peradaban. Kamu pernah dengar istilah ‘peradaban’?” Timpal Kiai Sutara.

“Enggeh, pernah dengar, Kiai.” Saya takdzim.

“Apa yang kamu ketahui soal itu? Saya tak mau jawaban yang tekstual dan bertele-tele. Saya muak dengan gendengmu! Harus terjabarkan secara rinci.” Pinta Kiai Sutara. Saya bingung. Saya tak cukup mampu meramu teks-teks dan pengertian secara gambalang. Sangat terbatas, dihadapan beliau. Jauh, sangat jauh.

“Ampun, Kiai. Saya tidak tahu.” Saya menggaruk-garuk kepala.

“Santri gendeng ya begitu. Buntu alias otak batu–atos! Jiancuk!. Pasang lagi kupingnya ke tempatnya! Dengarkan baik-baik! Begini, santri gendeng, peradaban itu, bahasa bakunya ‘Adab’ (tatakrama, prilaku, sopan santun). Dalam bahasa Indonesia, kata peradaban sering diidentikkan dengan kata kebudayaan. Tapi dalam bahasa Inggris, terdapat perbedaan pengertian antara civilization untuk peradaban dan culture untuk kebudayaan. Demikian pula dalam bahasa Arab, dibedakan antara tsaqafah (kebudayaan), hadharah (kemajuan) dan tamaddun (peradaban).” Asap rokok mengepul, Kiai Sutara melanjutkan.

“Maka Ketika ‘Ad-din’ (agama) yang bernama Islam telah disempurnakan dan dilaksanakan di suatu tempat, maka tempat itu diberi nama Madinah. Dari akar kata ‘Ad-din’ dan Madinah ini kemudianbdibentuk akar kata baru–‘Madana’, yang berarti membangun, mendirikan kota, memajukan, memurnikan dan memartabatkan. Dari akar kata madana lahir kata benda tamaddun. Yang dalam bahasa Melayu istilah tamaddun dimaksudkan untuk menyebutkan keduanya yaitu kebudayaan dan peradaban.” Lanjut Kiai Sutara. Saya fokus–mendengarkan baik-baik.

“Peradaban (civilization) dapat diartikan sebagai hubungannya dengan kewarganegaraan karena diambil dari kata civies (Latin) atau civil (Inggris) yang berarti seorang warga Negara yang berkemajuan. Dalam hal ini dapat diartikan dengan dua cara: proses menjadi berkeadaban dan suatu masyarakat manusia yang sudah berkembang atau maju. Berdasarkan pengertian-pengertian inilah, maka indikasi suatu peradaban menghendaki adanya gejala-gejala lahir seperti masyarakat yang telah memiliki berbagai perangkat kehidupan yang bermartabat dengan elemen-elemen kebudayaan itu (arif-mendalam-bijaksana). Wes, sudah lengkap, jelas, dan gamblang kan?” Kiai Sutara mulai santai.

“Cukup, Intinya, agama (beragama) mestinya terus mampu menjalankan nilai (prilaku) sebagaimana berkembangnya suatu peradaban. Titik! Dalami, hayati, lalu arifi! Jangan dibentur-benturkan! Jika terus-terusan dibenturkan, alamat keduanya (agama dan peradaban) itu ambruk! Paham kan? Jika tak paham, otakmu memang benar-benar otak kambing! Hwakakakakakak” Kiai Sutara tertawa terpingkal-pingkal. Nyeruput kopi pahit, asap rokok masih mengaroma. Bau cengkehnya wangi.

“Yasudah, sana pulang! Salam buat Nyai Surti! Saya lama tak bersua dengannya.” Kiai Sutara menutup perbincangan. Naskah kitab-kitab kuno mulai dirapikan. Duduk nyender, alunan lembut lagu-lagu dangdut mulai berirama dari radio klasiknya.

Padepokan Nyai Surti, 2 Agustus 2020

DALIL KIAI SUTARA
Penulis: Taufiq Wr. Hidayat
Penerbit: Pusat Studi Budaya Banyuwangi
14×20 cm
Tebal buku: V+319 halaman
ISBN : 9-786025-352133
Cetakan pertama: Juli 2020
Harga buku: Rp. 70.000,-
(sudah termasuk ongkos kirim ke wilayah Jawa/luar Jawa menyesuaikan)
Pemesanan buku dapat menghubungi akun Facebook Idrus Efendi dan Yanuar Widodo

Link-link tulisan yang membahas Dalil Kiai Sutara:
https://sastra-indonesia.com/2020/07/kiai-sutara-saja/
https://sastra-indonesia.com/2020/07/kiai-zaman-now/
https://sastra-indonesia.com/2020/07/aku-dan-kiai-sutara/
http://sastra-indonesia.com/2020/07/islam-isi-yang-sehari-hari/
http://sastra-indonesia.com/2020/07/menyanyi-kan-ayat-suci/

One Reply to “AGAMA PERADABAN DI BALIK DALIL KIAI SUTARA”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *