Nasrullah Nara
Kompas, 18 Juli 2020
Lewat majalah “Majas”, Ana Mustamin memberikan “vitamin” pada panggung sastra di media yang kian mengecil.
Ana Mustamin (52), ibarat menantang masa depan. Di tengah gemuruh media-media beralih ke platform digital, ia berbalik menerbitkan majalah berbasis cetak (print). Majalah Majas yang diterbitkannya adalah majalah sastra yang memiliki ceruk pembaca amat kecil. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? “Sastra pada dasarnya kultur penciptaan dan pembacaan berbasis huruf dan huruf, yang telah menjalani perjalanan kebudayaan yang berabad-abad. Sastra lekat dengan tulisan, bila perlu tulisan tangan,” katanya.
Pemahaman itulah yang membuat Ana mencintai sastra sejak kecil. Ketika kariernya di dunia industri jasa keuangan moncer hingga jenjang direksi, batinnya gundah. Dalam “keterasingan”, diam-diam ia tetap mengintip dinamika sastra di Tanah Air. Begitu pensiun dari korporasi, ia menghidupkan sastra secara sukarela. Di sela kesibukannya sebagai konsultan komunikasi dan produser TV program, ia “berjibaku” menyediakan ruang ekspresi bagi para sastrawan dan perupa.
Terbitnya majalah dua tahun terakhir, seperti menggenapi jejak rekamnya di dunia kepenulisan. Selaku pemimpin redaksi, Ana Mustamin memosisikan Majas sebagai majalah sastra dan gaya hidup, bermoto “sastra untuk semua”. Ia mendirikan majalah ini dengan menggandeng empat rekannya sesama sastrawan, Kurnia Effendi, Agnes Majestika, Kurniawan Junaedhie, dan Valent Mustamin. Mereka bekerja tanpa digaji.
Majalah itu ibarat oase di tengah langkanya media sastra di Tanah Air. Kerja sukarela itu juga ibarat merawat “nyala lilin” kesusastraan, agar tidak kian redup diterpa revolusi digital. Hebatnya, Majas dihadirkan dalam wujud cetak, saat media cetak di ambang senja kala. “Media sastra digital itu banyak. Namun, di kalangan sastrawan ada kebanggaan dan kepuasan tersendiri, jika karya mereka dimuat dalam media cetak,” ujar Ana dalam perbincangan di pelataran Bentara Budaya Jakarta, Rabu 8 Juli 2020.
Tekadnya bulat untuk mewujudkan media sastra yang secara konten bernas, tetapi tampilan visualnya bisa bersanding dengan majalah-majalah gaya hidup. “Agar sastra menjadi bagian dari gaya hidup kita juga,” ujar Ana. Tekad itu seolah menjawab minimnya apresiasi masyarakat terhadap susastra. Dia menilai pemahaman masyarakat terhadap karya sastra kurang memadai. Hal ini diperparah dengan tampilan media sastra yang secara visual kurang menarik.
Modal penyertaan kondisi yang tidak menguntungkan bagi dunia sastra itu membuat Ana harus putar otak. Ia mencoba sistem modal penyertaan atau crowdfunding yang dihimpun dari para calon pembaca Majas. Setiap calon pembaca yang berlangganan selama setahun atau lebih, dicantumkan sebagai penyertaan investasi. Sayangnya, metode ini tak berjalan mulus. Modal yang masuk, tidak sebanding dengan kebutuhan dana untuk produksi dan honorarium penulis.
Ana Mustamin berusaha menyediakan panggung bagi penulis sastra melalui majalah Majas yang dibiayai dari dana pribadi dan donasi. Kondisi ini tak membuat Ana angkat tangan. “Kami kemudian mendapatkan suntikan dana dari sebuah lembaga kebudayaan. Semoga ini terus berlanjut,” kata Ana.
Sebagai majalah yang mengusung sastra dan gaya hidup, edisi pertama majalah triwulanan itu terbit November 2018, dengan tampilan mewah setebal 100 halaman. Setiap lembar halaman dipermak kinclong. Tata letaknya santai, juga serius dan segar. Sampul depan berhias paras Sha Ine Febriyanti, sosok artis yang dikupas sebagai pemeran Nyai Ontosoroh dalam film Bumi Manusia. Hingga edisi teranyar (Mei-Juli 2020) ini, mutu konten, tampilan fisik, dan jumlah halaman konsisten. Edisi ini digarap dalam suasana pandemi Covid-19.
Para awak redaksi yang jumlahnya tak lebih dari lima orang bekerja dari rumah. Narasumber pun diwawancarai di rumah masing-masing, termasuk Djenar Maesa Ayu, novelis dan aktris yang wajahnya menghiasi sampul depan. Komunikasi virtual menjadi keniscayaan. Mengulas suasana kerja yang tak lazim ini, Majas menepis kesan sekadar hadir reguler di tangan pembaca. Ia juga ibarat ”vitamin” bagi jiwa dan pikiran.” Karena tidak semua vitamin bisa diperoleh dari makanan dan produk farmasi,” ungkap Ana.
Ana ingin, majalah sastra tak hanya dikonsumsi oleh para sastrawan atau orang tertentu saja. Ia mengimpikan majalah sastra juga disukai para eksekutif perusahaan, akademisi, dan profesional yang tertarik pada dunia literasi. Majalah ini diupayakan pantas tergeletak di atas meja para eksekutif, di loungue bandara, bahkan hotel bintang lima. Pekerjaan “gila” Ana, bukan tanpa cibiran. Ada yang menyebutnya sebagai “orang gila” melawan arus. Terhadap anggapan itu, Ana malah mengiyakan, dan empat pendiri lainnya pun mengamini.
Demi kecintaan terhadap sastra, mereka bekerja tidak digaji. “Siapa yang bersedia menggaji kami? Kami malah sering menyubsidi dari kantong sendiri,” sergah Ana. Namun, jangan dikira majalah itu dikelola secara abal-abal. Buktinya, majalah ini sampai di tahun kedua konsiten terbit teratur dengan kualitas terjaga. Honor penulis pun dibayar dengan sangat layak.
Majalah ini menggunakan kurator independen untuk menilai karya mana yang layak muat. Sudah bukan rahasia para sastrawan itu terkotak-kotak. Masing-masing punya komunitas sendiri. Setiap media arus utama pun punya “selera” sendiri-sendiri, sesuai kebijakan redaksional. Bagi Ana dan tim, tidak ada itu “selera” Majas. Yang ada selera kurator. Karena kurator berganti di setiap edisi, sulit ditebak seperti apa “selera” Majas. Dan penunjukan kurator tak sembarangan, hanya yang punya rekam jejak memadai di dunia sastra yang dipilih. Sebutlah itu Adek Alwi, Yanusa Nugroho, Agus Noor, Warih Wisatsana, Nirwan Dewanto, dan Damhuri Muhammad.
Sejak di bangku SD, Ana sudah menekuni sastra hingga kemudian karya-karyanya berupa esai, novelet, cerita pendek, dan puisi, terpublikasi di berbagai media nasional. Semasa kuliah di Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin, Makassar, ia menjadi redaktur tabloid Identitas, media penerbitan kampus. Setelah meraih sarjana tahun 1990, ia hijrah ke Ibu Kota. Tahun 1994, ia meniti karier di Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera. Sejak tahun 2018, ia menyudahi karier eksekutifnya di perusahaan itu dengan posisi terakhir direktur SDM dan umum.
Di luar sastra, ibu dari satu anak ini juga giat menulis artikel bersubyek keuangan dan komunikasi. Pada tahun 2013, ia merintis berdirinya Komunitas Penulis Asuransi Indonesia (Kupasi) sekaligus menjadi ketua umumnya. Keluarga besar Ana memang lekat dengan literasi. Ia anak ketiga dari tujuh bersaudara. Dua kakaknya berkecimpung dalam dunia penulisan, yakni Karman Mustamin (mentan pemred majalah Autocar), dan Yani Mustamin (penulis buku). Dua adiknya terjun ke dunia yang sama, Mudya Mustamin (mantan Pemred Gitar Plus, pengamat musik), dan Valent Mustamin (pendiri idWrites.com, situs direktori penulis Indonesia).
Di dunia korporasi, Ana mencermati umumnya orang lebih tertarik membaca buku bergenre chicken soup, buku-buku motivasi, ketimbang karya sastra. Buku-buku motivasi hadir dalam berbagai bentuk dan dalam pelatihan yang dibawakan motivator bertarif puluhan juta rupiah di hotel bintang lima. Ana sempat protes ketika seorang rekannya memandang sebelah mata karya-karya sastra.
“Enggak ada Nobel untuk buku-buku motivasi, yang ada Nobel Sastra.” Bagi Ana, sastra harus dirawat untuk kejujuran, untuk kemanusiaan. Dia menyitir ungkapan Pramoedya Ananta Toer, “Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Ana Mustamin, kelahiran Bone, Sulawesi Selatan, 4 Juli 1968.
https://headtopics.com/id/ana-mustamin-sastra-bergaya-hidup-bebas-akses-14410510