Belinyu, kota kecil di utara pulau Bangka, kini tampak tak berarti. Sebutan ini saya kira jauh lebih halus daripada sebutan Sitor Situmorang atas kota kenangannya, “Kota S”, sebagai “kota tak berguna”.
Dulu, sebagimana (S)ibolga, kota pelabuhan penting di pantai barat Sumatera, Belinyu kota penting yang menghasilkan jutaan ton timah. Perusahaan timah, dengan kantor, gudang dan rumah-rumah gempal tebal khas bangunan kolonial, beserta fasilitas pendukung dibangun, termasuk pelabuhan dan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Mantung yang konon nomor satu terbesar di Asia Tenggara.
Jauh sebelum fasilitas itu, para buruh tambang, terutama dari kalangan Tionghoa yang didatangkan dari Tumasik dan Malaya, atau langsung dari Cina Daratan, telah mengadu untung dengan pergulatan yang luar biasa. Era Indonesia merdeka adalah era PT Timah mengeksplorasi bumi Bangka, dan Belinyu termasuk lokasi paling banyak meninggalkan kolong (bekas galian timah) menganga, menyingkirkan ladang lada atau sahang, lengkap dengan cerita pahit tentang mereka yang dituduh sebagai camoy alias pelaku tambang TI (Tambang Ilegal). Yang legal adalah milik negara, dan belakangan setelah timah di darat habis, perusahaan negara kini merangsek ke lautan dengan tambang timah Lepas Pantai-nya, dengan kapal keruk dari baja. Dan di tepi laut dangkal, orang-orang TI juga menambang berbekal pelang kayu dan mesin kompresor untuk membantu pernafasan saat menyelam.
Begitulah Belinyu tumbuh, dan runtuh juga. Dan di sebuah rumah berlantai dua, di seruas jalan utama kota kecil Belinyu (yang ditinggalkan sebelum mekar), seseorang telah melihat dan mencatat segala yang melintas. Begitu setidaknya saya membayangkan seseorang itu, ia bernama Sunlie, dan dilengkapi dengan nama kakeknya, Thomas Alexander.
Dari kamar atas rumahnya, Sunlie akan melihat kesibukan pasar (dulu pasar persis dekat rumahnya sebelum akhirnya pindah ke arah bukit), deretan bus-bus kayu Gobu dari kampung-kampung sekitar, sambil mendengarkan bunyi mesin jahit ayahnya yang khas mendesing (sekhas bunyi mesin ketik yang digeber). Sesekali pamannya, Man-Man, melintas di antara patung lilin Bunda Maria dan Yesus bersanding dengan lilin merah dan hio di dinding, dan belakangan stiker dan poster bertulisan Ayat Kursi. Sang paman akan bercakap atau bernyanyi dalam bahasa Hakka campur Melayu.
Di belakang rumah Sunlie, lewat jendela, kita akan melihat bukit kecil, Moh Thian Liang, dengan jalan salib dan penggambaran nasib Yesus di sejumlah stasi; terus berujung ke tempat ziarah Goa Maria, dan nun di bawah ada gereja dan kapel tua. Bukit itu rimbun pohon karet, dan itu tempat bermain yang disukai Sunlie dan kawan-kawannya. Mereka mencari buah karet lalu “bepangkak”, mengadunya, dalam keriangan anak-anak. Hal lain yang disukai adalah mengumpulkan gambar umbul, memainkan dan mempertaruhkannya juga. Malam hari, si kakek Thomas akan bercerita, dan kadang ia bercakap dan berdebat dengan anaknya, si tukang jahit ayah Sunlie. Itu momen di mana Lie kecil mencuri dengar apa-apa yang dibincang dan diperdebatkan, meski belum ia mengerti, tapi terekam dalam memorinya. Di kemudian hari, ia perlahan mengerti, dan rekaman itu keluar perlahan, bersama penemuan benda-benda bersejarah keluarga, mulai foto hitam putih, surat jalan dari negeri jauh, sepasang sepatu, surat-surat, sampai peti besi berkarat tak terkunci. Dari sanalah menguar memoar, nama-nama, Daratan Besar, Republik, perang dan damai hingga identitas dan jatidiri. Jejak dan kepingan itulah yang disusun Sunlie menjadi kisah-kisah pendek dan esei-esei reflektif, sambil kita menunggu kisah panjang dalam proyek “akhir abad” yang sedang dikerjakannya: memoar keluarga di negeri asing.
***
Saya beruntung pernah dua kali ke Belinyu. Tak beruntungnya, kalau boleh disebut begitu, saya datang saat tambang timah tutup pintu. Jika saja datang saat jaya, “kau akan bertemu amoy dan ayuk dalam dandanan lebih purna,” kata Sunlie. Saya percaya saja, setidaknya saya akan melihat susana kota yang lebih hidup dengan keramaian, dan sekurangnya lampu-lampu. Ya, patut diketahui, begitu timah habis, listrik di Belinyu pun pudar. Sebelumnya, listrik di Belinyu ada dalam koneksi PT Timah, maka begitu mereka selesai, usai pula perkara lampu. “Kau harus siap dengan lilin dan senter di tangan, menuruni tangga-tangga rumah tua, sebab listrik tiap sebentar akan padam,” tulis saya dalam “Kota-Kota Kecil…”
Apapun, saya cukup puas menikmati rumah bekas timah yang kini terbengkalai, dan rumah-rumah walet berebut tumbuh. PLTU Mantung yang terkatung, sementara perusahaan listrik negara ngos-ngosan tumbuh. Pelabuhan penuh bangkai kapal, begitu masif. Di pantai lain, seperti Bubus, para penambang lepas pantai bertaruh nyawa dan bola mata dalam proses menyelam manual.
Tapi di antara itu semua, Phak Kak Liang, bekas lobang tambang yang diubah jadi tempat wisata tirta masih menarik dikunjungi. Airnya hijau biru, gerbang, dermaga, dan gazebo bernuansa Cina. Ikan-ikan mujair lincah berenangan. Ini model ideal yang bisa dikembangkan dari kolong bekas tambang timah, sayang mungkin hanya ada satu ini saja di seluruh Bangka. Kita juga bisa menyusuri Benteng Kutopanji atau Benteng Bongkap, di selatan kota. Benteng ini didirikan Kapitan Bong sekitar tahun 1700, dan konon jatuh ke tangan perompak Moro. Dekat benteng, ada sebuah klenteng tua, Klenteng Liang San Phak. Di sini saya menepi, mencoba ciam si, dan berkisah dengan penjaga klenteng, seorang kakek yang ramah dan seorang paman, bekas sopir bus Belinyu-Sungailiat. Tiap tanggal 15 bulan Ketujuh, akan diadakan upacara Arwah di sini, di lapangan rumput, dan ritual sosialnya adalah Sembahyang Rebut. Saya beruntung menyaksikan upacara ini, dan Sembahyang Rebut yang biasanya berupa rebutan Sembako di kalangan warga, saat itu sudah diganti dengan cara pembagian kupon sehingga sembako terbagi rata. Transisi tradisi yang baik ini sempat saya tulis di Majalah GONG pimpinan Hairus Salim, kalau tak salah berjudul “Sembahyang Rebut Sonder Rebutan”.
Malam hari, saya menjelajah pasar, jalanan dan lorong, masuk ke masjid tua, tapekong, gereja dan vihara. Dan di antara itu semua tentu saja menikmati oleh-oleh dan kuliner yang enak mulai kemplang, terang bulan, empek-empek, aneka mie, es kukur, dan jangan lupa kedai kopi yang khas menyajikan kopi susu, terutama di warung kopi Kutub Utara.
Sunlie juga mengajak saya membalaskan dendam masa kecilnya di warung es kukur dan martabak terang bulan. Katanya, dulu jakunnya akan naik jika lewat warung “keparat” ini, dan liurnya tertahan di ujung lidah, sebab “ia terus menggoda tak peduli sakuku tak berisi,” kata Sunlie menerawang lalu tersenyum puas. Satu dendam sudah dituntaskan. Yang lain nunggu giliran.
***
Belinyu kota kecil tempat berbaur banyak suku bangsa, mulai Jawa, Minang, Batak, Sunda, Flores, Bugis dan terutama tentu Melayu Bangka dengan Cina, suatu pergaulan yang tak kenal batas sehingga kemenyatuan seperti itu mungkin hanya ada di Belinyu atau Bangka umumnya.
Dengan latar seperti itu, saya tak merasa heran Sunlie dalam berbuat sesuatu, terutama proses kreatif, akan bertolak dari Belinyu. Buku cerpennya, Malam Buta Yin, banyak merespon cerita-cerita masa kecil di Belinyu, campuran antara mitos-mitos Tionghoa dengan cerita rakyat Bangka, misalnya tentang burung kuwok yang terbang terbalik pertanda ada kematian.
Begitu pula Istri Muda Dewa Dapur dan Makam Seekor Kuda, atau kumpulan puisinya, Sisik Ular Tangga, banyak sekali merefleksikan Cina dan Melayu. Waktu launching buku cerpen pertamanya, Malam Buta Yin, saya antara lain menyebut, “ketionghoaan” dalam karya Sunlie, berbeda dengan yang kita temukan dalam karya berlatar ketionghoaan lainnya, sebutlah dalam karya Tan Lioe Ie atau Lan Fang. Salah satunya karena faktor “ke-Belinyu-an”-nya yang kental.
Pendapat ini mungkin bisa berkembang jika saya menilik ulang karya Sunlie. Tapi satu hal, saya masih menimbang-nimbang judul memoar yang ia susun, terutama frasa “negeri asing”; apakah yang ia maksud negeri asing? Masih adakah keasingan itu di tengah adukan ruang dan waktu bernama Belinyu?
Tapi entahlah, persisnya kita pun belum tahu. Kita masih harus menunggu.
***
Sementara itu, buku kumpulan esai/kritik pertama Sunlie, terang-terangan mencantumkan Belinyu sebagai titik tolak, Dari Belinyu ke Jalan Lain ke Rumbuk Randu, dari Parodi sampai Black Comedy. Meski kritiknya dibuat dengan rasa yang lebih “akademik-intelektual” (setidaknya dengan rujukan-rujukan referensial), di samping tetap enak dibaca, juga memuat hal-hal berbau kampung halaman.
Dan itu bukanlah romantisisme belaka, apalagi kampungan. Kadang sebagian kita kadung menganggap kampung halaman itu mutlak klangenan, seperti tak ada ruang untuk ngilmiah atau berisi kajian (padahal orang kampung rutin ngaji lho!), dan dunia di seberang sana pastilah fajar terang, futuristik, sedikit hibuk dan berisik tapi semua hal bisa dijelaskan secara ilmiah dan sains.
Padahal tidak persis demikian. Budi Darma yang jelas piawai menggubah karya berlatar dunia seberang, dan menguasai keilmuan secara teoritis, tapi tak terasa “ngilmiah”. Menurut saya ini puncak kecanggihan, kita dibuat mengerti, bukan ruwet penuh kutipan!
Nah, Pak Budi misalnya pernah menulis esai impresif tentang saudara sepupunya, Nugroho Notosusanto, dalam Harmonium kalau tak salah, yang mengungkap banyak hal menarik seputar hubungan dua saudara sepupu ini. Juga kaitannya dengan Rembang dan Yogya. Lebih dari itu mengungkap pikiran dan gagasan tentang kebudayaan dan pendidikan Nasional.
Ini sama enaknya dengan membaca Nh Dini yang menceritakan hubungannya dengan kota kelahiran, Semarang, dan hubungan kekerabatan dengan sepupunya, Edy Sedyawati, dalam novel seri biografinya, dan Edy juga bercerita tentang Dini dalam sebuah wawancara tak lama setelah wafatnya sastrawati Semarangan itu, yang mencuatkan kisah dan pemikiran.
Sunlie bertolak dari Belinyu, lalu bergerak ke mana-mana, mengolah, lalu melongok lagi ke Bangka, atau pulang ke Belinyu bertemu ibunya dan bercakap dalam bahasa Hakka, memanggil pamannya yang masih gesit seperti dulu, dan bercakap dengan Men Yu, tetangga sebelah yang pernah buka penyewaan cd film biru. Atau kalau bosan di utara, ia bisa ke kota “besar” orang Bangka, Sungailiat; menclok ke rumah Ira Esmiralda, putri seorang tokoh Bangka, yang suaminya seorang haji dari Bukittinggi dan guru pertama yang memperkenalkan Dea Anugrah pada dunia. Lalu makan tekwan dan kwetiaw ke Pak Toyib, budayawan Bangka yang hobi berpantun Melayu atau ketemu Bang Ikhsan, wartawan plus peladang sahang itu. Bisa juga leyeh-leyeh di Bang Ian Sancin.
Ia bisa lanjut ke Mas Willy, wong Yogya yang sudah puluhan tahun di Bangka, bicara cerpen dan puisi, sambil tentu saja perempuan yang akan selalu membuatnya patah hati.
Selalu begitu. Ulang-alik. Belinyu, Yogya, dan atau lewat teks ke Rumbuk Randu, Isidora, Batavia, Aceh, Amerika, Jepang atau Cina, sebagaimana tercermin dalam buku esai pertamanya ini.
Saya mengikuti lebih separoh proses kreatif pengarang kita ini, sejak ia datang pertama kali ke Rumahlebah, merebahkan sepeda, merapikan topi yang seperti topi kain Afrizal Malna, lalu bagai dikejar hantu mengenalkan dirinya sebagai orang Bangka yang cabut dari universitas Lampung. Ia pilih Yogya, masuk seni rupa ISI (kelak saya tahu ini bukan pilihan mudah; sebab sebagai anak tunggal ia harus meninggalkan ibunya yang sudah sangat tua, hanya ditemani seorang paman yang “punya dunia sendiri”; hal yang akan membuat saya membela jika ada yang mengatakan bahwa memilih jalan sastra tak perlu pengorbanan!).
Tak lama kemudian, ia loncat ke UIN Suka seiring mualafnya ia. Hal yang sempat diguyoni Kamandobat, “Sejak jadi mualaf, puisi Sunlie jelek!”
Sunlie hanya gosok-gosok hidung diguyoni begitu. Jika sudah begitu, biasanya ia akan buka gigi palsunya, sebagaimana kami pertama bertemu dan ngopi.
Sejak itu, saya banyak bersama Sunlie plus kawan-kawan lain, tentu, dan jika kami diibaratkan tim bola, ia berbakat jadi penyerang, dan itu sudah ia tunjukkan dalam waktu-waktu terakhir ini, meski bolanya kadang melenceng atau menclok di warung tetangga!
Kemarin ia berulang tahun entah yg ke berapa, yang jelas sebelum cetak ulang buku kritiknya yang lumayan menjanjikan ini. Salah satu tulisannya, seturut Faruk, dkk., memiliki “analisis naratologi(nya) tak hanya mengungkapkan kepiawaian dan kebaruan estetik dari karya yang dikritik, melainkan juga membuatnya berhasil mengungkapkan posisi pasca kolonial dan pasca modern karya tsb (….)”.
Kalau Anda sempat main ke Bangka, niscaya apa yg dikatakan Faruk itu dapat kita rasakan di Belinyu, kota kecil di utara pulau yang nyaris menjadi lampau, tapi Sunlie dan orang-orangnya selalu membuatnya menjadi kini.
***
______________
*) Raudal Tanjung Banua, sastrawan kelahiran Lansano, Kenagarian Taratak, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatra Barat, 19 Januari 1975. Pernah menjadi koresponden Harian Semangat juga Harian Haluan, Padang. Kemudian merantau ke Denpasar, Bali, bergabung Sanggar Minum Kopi, serta intens belajar kepada penyair Umbu Landu Paranggi. Lalu ke Yogyakarta; menyelesaikan studi di Jurusan Teater Institut Seni Indonesia. Mendirikan Komunitas Rumah Lebah, dan bergiat di Lembaga Kajian Kebudayaan AKAR Indonesia (Sebuah Lembaga Budaya yang Menerbitkan Jurnal Cerpen Indonesia). Karya-karyanya berupa puisi, cerpen, esei, dipublikasikan di pelbagai media massa pun antologi. Buku-bukunya: Pulau Cinta di Peta Buta (2003), Ziarah bagi yang Hidup (2004), Parang Tak Berulu (2005), Gugusan Mata Ibu (2005), Kota-Kota Kecil yang Diangan dan Kujumpai (2018), dll. Penghargaan yang diterimanya: Sih Award dari Jurnal Puisi, dan Anugerah Sastra Horison untuk cerpen terbaik dari Majalah Sastra Horison.