(Himpunan Esai Kritik Sunlie Thomas Alexander, Penerbit Gambang, Cetakan Kedua: Juni 2020)
“Mungkin bagi banyak orang membaca buku yang menjuarai beberapa lomba kritik sastra ini adalah untuk belajar menulis kritik sastra. Tapi itu tak berlaku untuk saya, bagi saya buku ini malah mengajari saya untuk menulis sastra itu sendiri. Dengan membaca buku ini, membantu saya untuk mendefinisikan teknik-teknik dalam menulis sebuah cerita. Bagi yang sering membaca sastra, tentu teknik-teknik tersebut tidak asing lagi. Tapi Sunlie berhasil memaparkan dengan gamblang, sehingga kita bisa menggunakan perangkat tersebut untuk mendefinisikan teknik-teknik yang dilakukan penulis lain saat kita membaca karya sastra lainnya. Saya pikir bagi yang ingin belajar menulis, itu sangat berguna.” (Ida Fitri)
“Sementara itu, buku kumpulan esei/kritik pertama Sunlie, terang-terangan mencantumkan Belinyu sebagai titik tolak, ‘Dari Belinyu ke Jalan Lain ke Rumbuk Randu, dari Parodi sampai Black Comedy’. Meski kritiknya dibuat dengan rasa yang lebih “akademik-intelektual” (setidaknya dengan rujukan-rujukan referensial), di samping tetap enak dibaca, juga memuat hal-hal berbau kampung halaman. Dan itu bukanlah romantisisme belaka, apalagi kampungan. Kadang sebagian kita kadung menganggap kampung halaman itu mutlak klangenan, seperti tak ada ruang untuk ngilmiah atau berisi kajian (padahal orang kampung rutin ngaji lho!), dan dunia di seberang sana pastilah fajar terang, futuristik, sedikit hibuk dan berisik tapi semua hal bisa dijelaskan secara ilmiah dan sains. Padahal tidak persis demikian. Budi Darma yang jelas piawai menggubah karya berlatar dunia seberang, dan menguasai keilmuan secara teoritis, tapi tak terasa “ngilmiah”. Menurut saya ini puncak kecanggihan, kita dibuat mengerti, bukan ruwet penuh kutipan!” (Raudal Tanjung Banua)
“Ini semua isyarat betapa buku ini berisi kritik sastra yang punya kelas dan enak dinikmati–seperti kita menikmati kopi luwak. Memang, tak bisa dipungkiri, kritik sastra besutan Sunlie pahit serupa kopi luwak, tapi akan selalu dicari dan diburu karena menjadikan ekologi dan atmosfer sastra Indonesia menjadi sehat. Setidaknya membaca buku Sunlie ini serasa menghabiskan enam cangkir kopi luwak, bukan kopi jagung. Jelaslah terasa pahit, tapi menyehatkan metabolisme pikiran–begitu jugalah buku Sunlie ini. Kepahitan kritik sastra diperlukan demi kesehatan-kebugaran dunia sastra.” (Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd)