F. RAHARDI, “MANUSIA SINGKONG” SASTRA MENGGEBRAK DUNIA

Ray Rizal
Suara Pembaruan, 26 Juni 1993

Manusia singkong, julukan yang diberikan orang kepada sastrawan Floribertus (F) Rahardi. Tak ada maksud untuk merendahkan posisi sastrawan ini dalam pelataran sastra di tanah air. Ini hanya suatu cara untuk melihat sosoknya lebih jelas. Sama halnya dengan begitu mudah memahami sajak-sajaknya secara jelas pula. Terbuhul, benang merah yang kuat antara pribadi dan sajak-sajak yang dihasilkannya. Tak salah kiranya pernyataan, karya sastra cermin pribadi pengarangnya.

Sajak-sajak yang dihasilkan F. Rahardi sangat komunikatif. Hampir sama ketika orang sedang membaca berita yang dipublikasikan di koran. Tak ada pertensi membuat jidat pembaca berkerut. Tapi, bukan berarti setelah membaca karya-karyanya, lantas dilupakan sebagaimana usai membaca berita kriminal atau masalah lapangan golf yang santer dibicarakan.

Pandangan

Sebagai penyair, jelas ia memiliki pandangan yang jauh ke depan. Dari sajian realitas yang ada di pelupuk matanya, imajinasinya berkembang. Kreativitasnya sebagai penyair bagai sayap yang membawa realitas terbang ke tempat yang lebih tinggi, sehingga diperoleh pemahaman lebih akurat tentang suatu permasalahan yang sempat direkamnya.

F. Rahardi bukan Goenawan Mohamad atau Sapardi Djoko Damono, yang untuk memahami sajak-sajaknya diperlukan persiapan literer yang baik. Ada imaji-imaji, simbolisasi, ritme, aspek bumi dan asosiasi-asosiasi yang menyebabkan karyanya lebih sublim. Pada karya F. Rahardi, yang dihidangkan adalah realitas yang telanjang, dalam arti bukan realitas yang sudah dikamuflase untuk suatu kepentingan.

Dalam karya-karya F. Rahardi terkuak suatu hasrat untuk menyajikan kenyataan. Ia memiliki komitmen yang bernama kebenaran. Inilah beda karya-karyanya dengan berita-berita yang terpampang di surat kabar. Ia mencoba mendedahkan atribut-atribut yang berusaha menyembunyikan kebenaran. Ia tidak mau bermain dengan bayang-bayang, dengan fenomena yang menjebak orang yang sedang mencari kebenaran.

Usaha mencari kebenaran ini menyebabkan karya-karya F. Rahardi tampil sederhana. Nyaris bermain-main dengan kata-kata, dengan logika. Tanpa berusaha menggunakan topeng. Sehingga, kalau sajaknya membicarakan pelacuran dan korupsi, terasa sangat gamblang. Ia tak berusaha menutup-nutupi. Tak berusaha memolesnya. Jika di surat kabar ada hal-hal yang masih dikawal dengan ‘rambu-rambu’, tak demikian halnya dengan karya F. Rahardi.

Si Manusia Singkong F. Rahardi, berkesan ‘lugu’ dan naif. Tak ada kesan kontemplatif yang dalam sebagaimana sajak-sajak Sapardi Djoko Damono dan Goenawan Mohamad. Seolah sajak F. Rahardi merupakan hasil kerja polaroid. Sekali jadi. Barangkali sajak-sajaknya lebih pas dikonsumsi oleh kalangan lebih luas tidak hanya para pencinta sastra yang berbaring di ‘menara gading’.

Sajak-sajak F. Rahardi berbeda dengan karya Rendra yang pamfletis. Dalam seni lukis, ia bisa disamakan dengan Dede Eri Supria, yang tidak ‘mengepalkan tinju’ melihat kenyataan yang ada di sekitarnya, melainkan hanya memotret suatu kenyataan. Biarlah pembaca yang menyaksikan realitas dalam masyarakat, lewat sublimasi yang telah dilakukannya menjadi suatu karya sastra.

Si Manusia Singkong

Suatu hari di tahun 1980-an, F. Rahardi melakukan pembacaan sajak tunggal di Taman Ismail Marzuki Jakarta. Ia membacakan sajaknya Soempah WTS, yang kemudian dibukukan. Pembacaan sajak itu rencananya akan menghadirkan wanita tuna susila (WTS) sungguhan ke panggung Teater Arena, TIM, Jakarta. Hasilnya?

Pembacaan sajak itu ramai dikunjungi penonton. Ini mengingatkan orang jika Rendra dan Sutardji Calzoum Bachri membacakan sajak. Penonton membludak. Hanya saja, ada pihak-pihak tertentu yang keberatan dengan tampilnya WTS, yang dinilai merendahkan martabat wanita.

Gagal dengan misi menghadirkan WTS, kemudian F. Rahardi mencoba lagi membacakan sajak-sajaknya yang terhimpun dalam kumpulan sajak Catatan Harian Sang Koruptor. Apakah mungkin ada koruptor yang bersedia tampil memerankan dirinya di Teater Arena? Sekali lagi ia berhadapan dengan tembok kekuasaan yang menyensor karya-karyanya. Tapi F. Rahardi bagai sungai yang tak mempan dibendung, karya-karyanya yang lain bermunculan, misalnya Silsilah Garong dan Tuyul.

Ketika karya-karya F. Rahardi ditolak diterbitkan oleh Yayasan Puisi Indonesia, ia mencari jalan keluar. Menerbitkan sendiri karya-karyanya. “Tak ada pilihan lain. Aku akan terbitkan sendiri karya-karyaku”, katanya tegas dan yakin dengan dunia yang telah dipilihnya.

Karya-karya F. Rahardi tidak berusaha meratapi suatu keadaan, atau mengepalkan tinju menyaksikan ketimpangan dalam berbagai bentuk kehidupan yang disaksikannya. F. Rahardi memotret kepincangan yang terjadi di sekitarnya sambil tersenyum dan tertawa geli. Sajak-sajak sarkastik yang nakal merupakan milik F. Rahardi yang setidaknya ditekuninya sampai saat sekarang ini. Menarik barangkali untuk menyimak konsepsi kepenyairan F. Rahardi yang terdapat dalam bukunya Catatan Harian Sang Koruptor.

PROKLAMASI PUISI

Saya penyair Indonesia
Dengan ini menyatakan kemerdekaan puisi saya
Mulai sekarang puisi bukan lagi seni agung
yang terkurung di puncak gunung
Bagi saya puisi hanyalah alat permainan

Dalam tradisi Jawa, sudah lama ada parikan,
plesetan, lirik gending-gending
dolanan dan lain-lain
Di sana kata-kata dipermainkan,
logika dijungkirbalikkan
basa-basi dikebiri dan sopan-santun
dikubur di alun-alun
Tinggallah kemudian suasana santai,
akrab dan sangat bersahabat

Jiwa tradisi Jawa itu saya angkat
dalam puisi-puisi saya
Menulis bagi saya adalah bermain

dengan kata-kata
bermain dengan logika,
bermain dengan norma-norma
dan bermain dengan konsep-konsep
yang sudah mapan termasuk konsep estetika

Puncaknya, saya pun bisa
bermain-main dengan Tuhan
dalam puisi saya
Dan Tuhan yang semula nampak sakral,
besar, berkuasa dan sangat jauh :
sekarang jadi santai, akrab, sangat bersahabat
dan dekat sekali di hati.

Tentang Korupsi

Penyair F. Rahardi, ‘si pembela kaum kecil’ ini dilahirkan di Ambarawa, Jawa Tengah tanggal 10 Juni 1950. Tahun 1967 ia drop out dari SMA (sampai kelas dua), kemudian ia menjadi kepala sekolah di SD sekitar hutan lindung di lereng Gunung Ungaran. Kini ia sehari-hari bekerja sebagai Wakil Pemimpin Redaksi majalah Pertanian Trubus di Jakarta.

Kehebatan F. Rahardi, bagaimana ia mampu menembus Jakarta dengan berbekal ijazah SLTA. Bagaimana ia dengan meyakinkan duduk di posisi puncak majalah Trubus, yang nota bene dipenuhi oleh para sarjana pertanian. Bagaimana pula ia pada akhirnya tak hanya akrab dengan misi majalahnya, tapi juga menulis buku Bercocok Tanam Dalam Pot dan Beternak Kodok.

Tapi hal lain yang membuat F. Rahardi terasa istimewa, di saat sastrawan lain kesulitan mencari penerbit bagi karya-karyanya, ia justru terus berkarya. Buku-bukunya terus meluncur. Untuk tahun 1993 ini ia menerbitkan dua karya sastra yaitu kumpulan cerpen Kentrung Itelile dan Migrasi Para Kampret berupa kumpulan sajak. Dalam buku Migrasi Para Kampret ia mengingatkan, “Menghadapi buku ini, Anda tak usah kelewat serius atau curiga, sebab saya hanya ingin bercerita, tentang kampret yang tergusur, dengan bahasa Indonesia yang mudah dipahami oleh orang banyak, hanya itu.”

Keistimewaan F. Rahardi itu hanya bisa disejajarkan dengan Ahmad Tohari dan Putu Wijaya. Ahmad Tohari yang menjadi redaktur di majalah Amanah, ternyata lebih suka memilih tinggal di desanya, mengakrabi suasana pedesaan daripada hidup di Jakarta yang sumpek dan hiruk-pikuk. Putu Wijaya, dengan multibakat yang dimilikinya terus berkarya, menjelajahi berbagai bidang, ya menulis novel, cerpen, mementaskan teater, menggarap film dan aktif sebagai wartawan. Seolah Putu Wijaya itu memiliki kemampuan berpikir sambil berlari, bukan seperti mitos Sang Pemikiran yang digarap oleh pematung Rodin.

Pada sajak-sajak F. Rahardi, meski selintas hanya berupa rekaman realitas, tapi juga ada imajinasi dan simbolisasi, yang begitu mudah dikenal dan diakrabi orang awam. Misalnya ia menggunakan binatang Tikus, Kampret, Hiu, Babi, Kadal, Harimau dan lain-lain, yang ulahnya mirip dengan manusia yang serakah. Jika Satyagraha Hoerip paling getol menyuarakan anti korupsi dalam cerpen dan ceramahnya, maka dalam puisi F. Rahardi merupakan biangnya.

“Kalau petani mencuri singkong di kebun tetangga karena anaknya lapar, saya bisa mentolerir, meskipun tidak dibenarkan secara agama dan hukum. Begitu pula tukang ngetik, yang tak punya uang untuk naik bis, kemudian mencuri kertas untuk dijual, untuk ongkos naik bus, saya bisa mentolerir.

Tapi, kalau korupsi atau pencurian didasarkan pada nafsu dan keserakahan ini tak bisa ditolerir karena tak ada batasnya. Si petani yang mencuri singkong itu, karena lapar, kalau anaknya tak lapar dia tak akan mencuri. Tapi, kalau dasarnya keserakahan, meski anaknya tidak lapar, dia tetap saja mencuri”, demikian F. Rahardi.

Ketika ditanyakan kepada F. Rahardi, apakah sajak bisa mempengaruhi pengambil keputusan terhadap pelaku korupsi, maka ia menjawab, “Sajak tak akan mempengaruhi pengambil keputusan secara operasional, tapi mungkin saja secara moral. Menumbuhkan aspek moral inilah yang ingin saya tumbuhkan secaa terus-menerus”, katanya.

Dan ia yakin bahwa penyair memiliki keterlibatan dengan masyarakat di sekelilingnya, hanya seberapa jauh kadar keterlibatannya, tergantung pada kejujuran penyair itu sendiri. “Saya tidak pernah merendahkan penyair yang menulis tentang daun-daun dan embun, meskipun kondisi sosial masyarakat di sekitarnya tidak beres. Walaupun saya menulis sajak-sajak sosial, tapi penyair yang menulis tentang embun dan daun-daun juga punya estetika dan posisi tersendiri”, ungkapnya suatu hari di kantornya.

***

Leave a Reply

Bahasa »