Frequently Defensive Responses (semacam FAQ) pembela TILIK :

‘Film TILIK kok dikritik, dia kan hanya mencerminkan realitas kita?’


Feby Indirani

Ya, mencerminkan ‘realitas’ yang melanggengkan patriarki.
Realitas selalu memiliki banyak sisi. Tapi seorang kreator punya pilihan sadar ketika dia ‘membingkai’ dan menyoroti sisi realitas yang mana. Yang dilakukan TILIK adalah mengukuhkan stereotipe.
Sosok dan perilaku ibu-ibu itu, yang kampungan, jibaban, dan tidak mau kalah, mungkin pernah kita temui apakah itu di lingkungan rumah kita, jalan raya, ataupun representasi di media. Penggambaran ibu-ibu yang cenderung memicu frase dan komentar sterotipe seperti,
‘Makanya perempuan itu cerewet, karena ‘mulut’nya dua’
‘Dasar emang ibu-ibu tukang gosip’ dan semacamnnya.
‘ Emak-emak naik motor matik yang menyalakan sein kiri tapi beloknya ke kanan.’

Padahal ingat, gak semua ibu-ibu (perempuan) seperti ini.

Sebagai penulis fiksi dan nonfiksi, saya bisa memastikan bahwa setiap pilihan yang diambil dalam proses berkarya seorang kreator selalu punya pertimbangan mengapa melakukan A atau kenapa tidak melakukan B. Hasil akhir sebuah karya adalah kumpulan pilihan-pilihan yang diambil secara sadar oleh kreatornya. Meskipun, ia tidak selalu sadar tentang ideologi, belief, atau nilai-nilai apa yang melatarbelakangi dan mendasarinya mengambil pilihan itu.

‘Film pendek kok dikasih beban sosial berat amat, biarin aja sik’

Nggak juga sih. Saya bukan tipe penikmat karya yang merasa bahwa setiap karya harus ada ‘pesan moral atau pembelajarannya.’ Nggak tuh, tapi mbok minimal jangan melanggengkan streotipe patriarkis yang menyudutkan perempuan gitu lho. Apa nggak kasian sama perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga, perempuan buruh pabrik yang gak dapat upah setara, istri-istri yang dipoligami suaminya dengan iming-iming surga, ibu-ibu tunggal yang mesti menanggung beban berlipat ganda? Apa nggak kasian sama ibu-ibu perempuan aktivis di level akar rumput yang berjuang tiap hari kasih pendidikan keadilan gender?
Apa hubungannya sama TILIK? Ya ada lah, semua yang mengukuhkan stereotipe patriarkis berkontribusi untuk mengukuhkan ketidakadilan pada perempuan dengan satu atau lain cara.

‘Social Justice Warrior banget deh lo, film begitu aja dikritik’

Emangnya kenapa kalau SJW? Kalau kamu atau orang yang dekat denganmu mengalami perlakuan tidak adil, kamu juga pasti mau kan berjuang untuk melakukan sesuatu? Kita sering kali tidak melakukan apa-apa terhadap ketidakadilan biasanya karena tidak merasa terkena dampaknya atau takut pada risiko yang kita terima kalau melakukan sesuatu yang berbeda.

‘Kita semua ini kan kayak Bu Tedjo’

Ya, nggak juga sih. Kalau saya mah kayak Dian. Lajang, dipersepsi sebagian orang sebagai cantik (dan karenanya sering sekali muncul pertanyaan, “Kok bisa kamu belum nikah sampai sekarang? Kamu kan cantik). Saya barangkali pernah juga kelihatan mlaku-mlaku di mal dengan lelaki yang berbeda, termasuk lelaki yang dianggap orang lebih pantas jadi bapak saya. Sebagai perempuan yang tidak berkerudung, saya dan Dian merasakan pengalaman menjadi kelompok minoritas, di tengah tekanan sosial yang semakin meluas sejak sekitar satu dekade terakhir bahwa perempuan Muslimah (yang baik-baik, bermoral, salihah) harus berhijab.

‘Emangnya sebagai perempuan gak berjilbab dan lajang, kamu nggak pernah ngeliat atau ngalami ibu-ibu berjilbab tukang gosip dan sinis sama perempuan nggak pake jilbab? ‘

Mungkin iya, tapi sebagaimana di dalam TILIK, cemoohan-cemoohan dari perempuan-perempuan berhijab itu toh terjadi di belakang Dian. Dian dan saya pasti tahu lah, ada tudingan miring dan bisik-bisik sinis terkait status lajang kami, juga tentang teman jalan kami yang berganti-ganti, tapi tampaknya tidak banyak orang yang betulan berani ngomong langsung di depan muka kami. Jadi ya bodo amat kan haha. Dalam kasus saya, yang berani ‘menghakimi’ perihal kelajangan saya justru lebih banyak laki-laki lho. Ada aja lho laki2 doyan gosip.

‘Bisanya ngomong doang, bikin film sendiri sono! Karya dibalas dengan karya dong’.

Saya memang belum pernah membuat film, mungkin kapan-kapan. Tapi kalau nggak juga nggak apa-apa, saya bisa berkarya dengan cara lain. Komentar seperti ini adalah komentar orang defensive nggak karuan dan seolah nggak ngerti bahwa di dunia ini orang bisa berkarya dengan berbagai macam cara. Kritikus film karyanya ya tulisan kritik, tujuannya membangun pengetahuan, kajian dan ruang diskursus. Itu lah karyanya.

‘Gak dukung karya anak bangsa banget sih!’

Justru karena care sama bangsa ini makanya saya dan banyak orang protes. Lagian tenang aja sik, omongan saya, dan kritikus film sehebat apapun tidak akan menjatuhkan TILIK. Lah bagaimana mungkin jatuh? Film itu sudah dapat penghargaan sejak 2018, sejak diluncurkan di Youtube pada 17 Agustus 2020 lalu sudah disaksikan lebih dari 4,2 juta kali (per 21 Agustus) . Dan semua kontroversi ini hanya akan membuat Tilik semakin banyak ditonton dan dibicarakan. Tidak ada yang bisa menjatuhkan Tilik, sepasti tidak ada yang bisa menjamin siapapun masuk surga.

‘Kritik VS Komentar Negatif (Celaan)’
Kritik adalah proses analisis dan evaluasi terhadap sesuatu dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman, memperluas apresiasi, atau membantu memperbaiki pekerjaan.
Secara etimologis berasal dari bahasa Yunani, ‘clitikos – “yang membedakan”, kata ini sendiri diturunkan dari bahasa Yunani Kuno, krites, artinya “orang yang memberikan pendapat beralasan” atau “analisis”, “pertimbangan nilai”, “interpretasi”, atau “pengamatan”.
Jadi kritik bukan tentang perasaan dan mengatakan sesuatu itu bagus atau jelek, tapi tentang analisis dan argumen yang dibangun. Mutu suatu karya kritik ditentukan dari mutu dari pengamatan dan analisisnya.
Sementara komentar negatif, hanyalah komentar negatif. Ah jelek, ah begini dan begitu. Tanpa argumen, ataupun kalau pun ada sesuatu yang seolah menjelaskan, biasanya asal ada aja, tidak rasional.
Indonesia sih memang darurat karya-karya kritik, karena kita darurat berpikir kritis. Kalaupun ada tulisan ‘kritik’ sayangnya kerap kurang memenuhi standar karena kurang berkualitasnya argumen yang dibangun. Tapi sekali lagi, kritik tidak sama dengan celaan.

‘Mengkritisi sebuah karya = Tidak mendukung karya tersebut’

Lha piye jo? Kritik itu kan bagian dari apresiasi. Kritik lho ya, bukan celaan. Celaan mah gampang, Kalau kritik itu kan ada proses berpikir dan mengkaji, membangun argumen yang bisa dipertanggungjawabkan. Belum kalau mau dilihat jauh ke belakang, seseorang bisa membuat kritik yang bermutu itu kan panjang proses belajarnya.

Saya sebagai kreator sih ngalamin ya, ketika seseorang berepot-repot membahas karya saya, apapun argumennya, itu artinya setidaknya satu hal, orang itu meluangkan waktu, energi dan pikiran untuk memperhatikan karya tersebut. Yah gak mendukung gimana sih? Memang sih, saya juga pernah punya perasaan, kok mutu kritiknya begitu ya? Kok logika argumennya begini ya? Tapi saya nggak pernah merasakan itu sebagai ‘tidak mendukung karya saya.’
Kecuali kalau itu cuma celaan aja ya.

‘Mengritik dan mengomentari karya = Menyerang pembuat karya, bahkan menyerang penggemar karya tersebut’

Ini bagian yang kerap bikin banyak orang, termasuk saya, baper. Ini distingsi yang selalu berusaha saya ingat2 terus juga. Karya-karya saya bukanlah saya. Karya-karya yang saya puji dan dukung, juga bukan saya. Bagi sebagian orang, mengomentari karya yang disukainya, seolah sama dengan menyerang dia secara pribadi. Ya kan nggak ya? Saya tau beda, tapi kalau pas lagi dapat komentar, tetap aja sih saya sering baper juga. Nggak apa-apa, latihan terus. Itulah gunanya latihan mengenali distingsi. Itulah gunanya diskusi.

‘Mencerminkan ‘Realitas’ VS Mengukuhkan Stereotipe’

Sekali lagi, apa sih ‘realitas’ itu? Bukankah memang ada ibu-ibu berjilbab yang gosipan, lemah literasi, dan tukang fitnah? Bukankah memang ada perempuan lajang yang ‘merebut’ suami orang? Bukankah emang perempuan itu women womeni lupus, alias ingin menghancurkan perempuan lain?
Ya, OK, emang ada. Tapi realitas kan memiliki banyak lapisan, banyak dimensi dan banyak sisi.
Realitas satu sisi itu adalah Stereotipe dan itu yang mesti diwaspadai, bukan karena gak bener, tapi karena GAK UTUH. Itulah yang sering dialami semua kelompok minoritas, seperti perempuan, kulit berwarna, etnis tertentu dll.

‘Positivity VS Toxic Positivity’
Apa bedanya? Kalau buat saya salah satu ciri toxic positivity adalah penyangkalan. Sedangkan positivity adalah penerimaan. Toxic positivity adalah we MUST be OK. Positivity adalah it’s OK not to be OK.
Toxic positivity seringkali menutup mata dengan satu atau lain alasan, antara lain juga karena tidak mau mengakui bahwa masalah itu memang ada.
Misalnya : Film Indonesia itu kan lagi tumbuh, bikin film itu susah, ekosistem kesenian di Indonesia tidak mendukung, belum lagi monopoli layar, aah ribet, berat. Udah lah jangan ‘kritik-kritik’ film Indonesia deh, susah amat sih tinggal nonton doang aja. Jadi apapun tentang film Indonesia, DUKUNG, BELA, PUJI.

Nah itu, dengan segala hormat, meskipun saya paham banget maksudnya baik, tapi itu toxic positivity. Untuk jangka panjang, sikap seperti inilah yang nggak membangun ekosistem berkesenian kita. Dalam ekosistem, kritik itu kan gunanya antara lain untuk meningkatkan mutu karya dari senimannya. Sebagai seniman, saya mengalami bahwa dapat perspektif dari kritikus itu penting banget. Karena ketika saya membuat suatu karya, saya kan mengalir di dalamnya dan berada dekat sekali dengannya, jadi itu akan mempengaruhi sudut pandang saya, Sudut pandang kritikus akan membuat saya punya insight terhadap karya saya sendiri, dan ke depannya bisa meningkatkan mutu.

‘TILIK film ‘bagus’ VS TILIK itu patriarkis’
Apa itu bagus? Kata sifat memang jebakan kita semua ya. Apa itu bagus? Elemen apanya yang bagus? Orang memuji TILIK karena film itu bagus— rapi teknik pembuatannya, aktingnya natural, temanya dekat banget, dan sebagainya. Ya itu semua saya setuju. Tapi itu baru lapis pertama dari sebuah karya.
Kritik tentang patriarkisnya TILIK adalah lapis berikutnya. Menurut saya sih, bias patriarkisnya tinggi. Minimal mendukung struktur patriarki dengan melakukan pembiaran ya. Ya biarin aja, kan memang ‘realitas’nya begitu. Apakah itu keputusan yang dilakukan secara sadar? Mungkin. Mungkin juga tidak. Makanya itu gunanya ada kritik, untuk memberikan sudut pandang lain kepada suatu hal.

‘Apakah sesuatu/seseorang yang patriarkis = jahat?’
Apa itu jahat? Hahaha. Sekali lagi kata sifat memang jebakan. Makin lama saya hidup, saya makin jarang ketemu orang ‘jahat’ hahaha. Saat ini sih saya percaya 99.9 persen orang di dunia ini ‘tidak jahat’ sisanya sakit (Joker itu bukan orang baik yang disakiti. Dia orang sakit).

Apakah orang yang patriarkis itu jahat? Orang-orang yang paling penting dan paling saya sayang dalam hidup saya pun banyak yang patriarkis. Dan dalam hidup saya tidak henti-henti bernegosiasi dengan hal-hal itu. Patriarki sudah mengaliri darah kita lebih duluan ketimbang banyak agama besar di dunia, sudah ada sebelum peradaban modern, dan lahir sebelum dari buyut kita.

Patriarkis sering kali tidak bisa disederhanakan hanya dengan kata jahat atau baik. Patriarkis ya patriarkis aja hahaha

Sekian dan terima kiriman cemilan, transferan atau senyuman…

22 Agustus 2020

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *