GAGASAN DAN TANGGAPAN

Malkan Junaidi

Saat Ahmad Yulden Erwin merilis daftar penyair tempo hari, saya berpikir itu akan berkelanjutan jadi semacam Tonggak-nya Linus Suryadi AG, yakni merupakan kanon pribadi, yang akan diterima publik setara buku-buku yang mengekspresikan pandangan personal. Saya kecele, karena segera muncul wacana pembentukan tim penyusun untuk menyempurnakan gagasan kanonisasi itu, sehingga—teringat bagaimana ketika buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh beberapa tahun lalu terbit dan menimbulkan konflik berikut ekses-eksesnya—saya membatin, “Wah, sebentar lagi kasak-kusuk dan kegaduhan pastilah terjadi.”

Respons terbuka Dea Anugrah segera jadi bukti dugaan saya tersebut beralasan. Penulis buku Misa Arwah itu menolak berada di satu antologi dengan Sitok Srengenge dan Nirwan Arsuka, di samping ia memandang kanonisasi sebagai kerja yang, dalam istilah saya, terlalu berisiko.

“Saya pikir, setiap upaya pencatatan nama-nama selalu (disengaja maupun tidak) disertai penghapusan nama-nama lain, yang boleh jadi lebih penting ketimbang yang tercatat.”

Saya tak tahu alasan Dea menolak berada di satu buku dengan dua nama di atas. Nama pertama mungkin terkait dugaan tindak kriminal yang kasusnya menguap tanpa kejelasan itu. Yang menarik adalah pandangan muramnya terhadap kerja kanonisasi. Tapi bukankah, sekali lagi batin saya, semestinya sebab evaluasi dilakukan oleh beberapa sastrawan, alih-alih oleh Yulden sendiri, sudut pandang dan parameter jadi makin beragam dan karenanya hasil yang dicapai lebih akomodatif/inklusif? Bagaimanapun risiko seperti dipercayai Dea itu memang tak bisa dihilangkan sama sekali. Keberadaan tim penyusun, sekompeten apapun, rentan menimbulkan prasangka akan adanya agenda politis dan persekongkolan.

Bibit persoalan saya kira sesungguhnya telah ada pada daftar yang disusun Yulden sendiri. Daftar itu semula berjudul 100 Penyair Indonesia Modern, dengan hanya 100 nama termuat. Daftar itu lalu diedit dan diedit. Nama-nama ditambahkan. 10, 20, 25, 26, 30, 35, 33, 35. Judulnya pun diubah jadi 100/100 Lebih Penyair Indonesia Modern, dengan dua daftar terpisah: daftar pertama memuat 100 nama yang Yulden agaknya mantap dengannya. Daftar kedua adalah nama-nama yang mungkin diusulkan orang lain, atau yang Yulden baru ingat keberadaannya. Daftar kedua inilah kiranya yang menjadikan orang meragukan keyakinan, pengetahuan, dan sensitivitas Yulden: Jika memang, seperti dikatakannya, nama-nama tambahan itu sangat layak dipertimbangkan, kenapa tak sejak awal muncul; juga tidakkah pembagian nama ke dalam dua daftar seperti itu tak malah menyiratkan penginferioran yang satu di hadapan yang lain; tidakkah Yulden khawatir respons macam diberikan Dea Anugrah muncul sesungguhnya dipicu oleh ‘sakit hati’ karena ditaruh di daftar kedua tadi walau alasan yang dikemukakannya tak dipungkiri substansial (nyatanya beberapa nama sangat populer tak terakomodasi: sebut misalnya Aan Mansyur, Afrizal Malna, Mardi Luhung, dan Mario F. Lawi)?

Persoalan juga tampak diberi kesempatan muncul, ironisnya, oleh sikap hati-hati Yulden, yang menyatakan akan menghapus nama sekira yang bersangkutan keberatan atau menolak.

“Semua nama yang saya cantumkan di sini atas prakarsa saya sendiri setelah saya membaca karya-karya mereka, saya berusaha objektif saja menurut pikiran saya dan teori-teori sastra tertentu, siapa pun bisa menolak namanya saya cantumkan di sini. Bila menolak, maka namanya akan saya hapus dari daftar. Saya tidak memaksa. Saya tak bermaksud menghina dengan mencantumkan nama Anda di sini, ini hanya bentuk penghargaan dari saya sebagai pembaca puisi karena Anda tela menulis karya-karya puisi yang bagus menurut saya. Dan saya tidak tergabung dengan institusi sastra apa pun. Anda boleh cek di sini. Terima kasih.”

Membaca ini saya membayangkan, bila separuh orang di daftar menyatakan keberatan, dengan alasan apapun juga, dan Yulden, karena tak ingin repot-repot mempertahankan pendapat, begitu saja setuju untuk mengeliminasi, maka tentulah kanon tersebut akan tidak seperti hasil telaah yang sebenarnya, tidak merupakan keutuhan pendapat yang dimaksudkan. Dan bagi saya adalah hal wagu bila sebuah penilaian karya seni yang diklaim objektif dan tanpa tendensi politis atau bias kepentingan lantas ‘dicabut’ hanya sebab sang pemilik karya menolak untuk dinilai.

Saya sepakat dengan sebagian pendapat Binhad Nurrohmat berikut.

“Saya menilai agenda ini sebagai kumpulan puisi yang disukai penyusunnya. Dasar intelektual apa pun atas penyusunannya pasti menimbulkan gugatan atau kritik yang untuk menanggapinya bisa lebih capek ketimbang menyusunnya. Semangat. Amma ba’du.”

Tentu memang sangat mungkin semua penyair terpilih puisinya disukai penyusun, namun saya ingat Binhad pernah bercerita bahwa Sutardji kala jadi pengasuh rubrik puisi sebuah koran mengatakan pada Binhad, ia meloloskan puisi-puisi Binhad bukan sebab menyukainya melainkan sebab puisinya memiliki ciri khas tertentu. Jadi tak adil kiranya bila penulis buku Kuda Ranjang itu secara apriori mengatakan dasar pemilihan Yulden dan atau timnya adalah semata rasa suka. Tapi ia benar, seobjektif apapun proses dan hasil kuratorial pastilah ada pihak yang keberatan.

Ahmad Yulden Erwin merupakan sastrawan terkemuka dekade ini. Sosoknya kontroversial. Sebagian orang sangat mengaguminya, sebagian orang sangat membencinya. Gagasan kanonisasinya telah mendapat respons beragam. Triyanto Tiwikromo, Wayang Jengki Sunarta, Hasan Aspahani, Kurnia Effendi, dan Iyut Fitra adalah di antara yang langsung mendukung. Binhad Nurrohmat menolak kecuali Yulden memasukkan namanya sendiri. Dea Anugrah seperti saya ceritakan di awal. Tanggapan keras dan pedas diberikan secara terbuka oleh kritikus dan penyair Mikael Johani.

“udah capek2 bertahun2 ngelawan politik kanonisasi sastra gm dan kroco2nya eh sekarang ada yang main kanon2an bareng kroco2 yang sama dan maunya gm jadi kakak pembina lololololol”

Ya, meski Yulden berusaha meyakinkan publik bahwa dalam proyeknya ini ia memisahkan dengan tegas karya sastra dan tindakan penyair di luarnya, bahwa tak peduli apa yang dilakukan seseorang, bila karyanya dalam suatu penilaian objektif mencapai standar estetika Yulden, ia tetap akan masuk. Namun para peminat kritis sastra, Johani misalnya, tetap memandang kerja Yulden tersebut bermuatan politis atau berpotensi menimbulkan dampak politis (yang negatif) dan karenanya ia menentang, terlebih Yulden terang-terangan minta bimbingan demi kesempurnaan gagasannya itu, walau mungkin sesungguhnya hanya dimaksudkan sebagai basa-basi, jaga etiket, pada beberapa penyair-sastrawan, antara lain Goenawan Mohamad yang selama ini dilawan Johani.

Lantas apa pendapat saya yang kebetulan masuk ke daftar itu?

Pertama, dihitung sebagai satu dari 100 penyair Indonesia modern oleh Yulden tak bisa pura-pura saya anggap sebagai hal biasa. Setiap orang bisa membuat daftar serupa, namun Yulden adalah di antara yang mampu memberikan apa yang tak setiap orang punya: alasan rasional, plus kemampuan memperdebatkannya. Alasan itu belum diberikan sekarang memang, namun kesungguhan yang saya percaya ada di balik pemilihan itu sendiri sudah setara pujian tulus bagi saya.

Kedua, kerja kuratorial, evaluasi, dan pendokumentasian, antara lain yang diimplementasikan melalui kanonisasi, bila dikerjakan dengan kesungguhan, keahlian, dan penuh dedikasi pada saatnya akan sangat diperlukan, paling tidak untuk rujukan penelitian. Bila tidak ada indikasi kerja tersebut menyimpan agenda negatif, bila tak tampak ia direalisasikan oleh orang-orang atau dengan cara-cara yang tak layak, saya kira tidak ada alasan untuk menolak.

Ketiga, bila memang ini kanonisasi, maka penyusun harus mencatat seluruh nama yang dinilainya layak. Orang berhak, dari sisi copyrights, untuk mengizinkan atau tak mengizinkan karyanya dimuat dalam sebuah antologi, namun tak berhak melarang orang lain melakukan pembicaraan kritis atas seluruh karya yang sudah dipublikasikannya, termasuk melarang orang mengutip karyanya dalam pembicaraan tadi. Dengan demikian bila ada penyair menyatakan menolak dimasukkan ke dalam kanon tadi, ia tetap bisa (dan harus tetap) dimasukkan dalam bentuk pembicaraan kritis terhadap puisi-puisinya.

Keempat, bila ternyata penyusun adalah tim yang notabene seharusnya masuk kanon, maka yang bersangkutan harus tetap dicantumkan karyanya di bawah subjudul semisal Kurator dan Karyanya. Ini saya kira satu-satunya jalan keluar dari kepelikan harus bersikap objektif (memasukkan yang layak masuk tanpa kecuali) sekaligus bertindak sesuai kapasitas (bahwa kurator harusnya tak mengurasi dirinya sendiri).

Kelima, saya berharap gagasan ini ditindaklanjuti dan ditanggapi dengan ketepatan dan penuh kebijaksanaan.

16 Agustus 2020

Leave a Reply

Bahasa ยป