HABITUS PERUBAHAN SOSIAL DI INDONESIA

Aprinus Salam *

Membaca Visi Indonesia 2030, dalam ayat-ayat empat pencapaian, seolah membaca suatu program bahwa masyarakat Indonesia adalah suatu masyarakat yang diatur dalam sistem-sistem dan norma-norma ekonomi belaka. Di sinilah kesalahan mendasar Visi Indonesia 2030, sehingga jauh-jauh hari saya ingin meramal bahwa Visi Indonesia 2030 itu pastilah gagal jika tidak memperhitungkan aspek sosial, budaya, politik, dan “habitus” perubahan sosial masyarakat Indonesia.

Dalam sebuah tulisannya, Haryatmoko (2007), mengatakan untuk mencapai visi 2030 yang seolah mimpi itu, perlu diketahui simpul-simpul perubahan habitus, dan salah satu yang perlu diperbaiki adalah pendidikan. Bukan saja pendidikan dalam pengertian formal, tetapi bagaimana masyarakat dan negara bersama-sama mendidik warganya menjadi manusia modern, maju, dan beradab.

Untuk itu, demikian tulisan Haryatmoko, perlu dibangun semacam sistem atau cara yang efektif dan efisien agar masyarakat, tanpa disadarinya, terkondisi dan dikondisikan dalam sistem yang mengubah habitus yang buruk, yang egois, yang korup, yang manipulatif, bukan saja dengan cara persuasi, tetapi dengan cara teknologisasi sistemik perilaku itu sendiri.

Dalam sejarah perubahan sosial di Indonesia, paling tidak terdapat sejumlah hal penting yang secara sisnifikan dapat dikategorikan sebagai pemicu atau faktor-faktor penyebab perubahan sosial, yakni ekonomi, teknologi, politik, pendidikan, agama, tradisi, dan kualitas SDM. Faktor-faktor tersebut bekerja bersama-sama, saling bersinergi, tetapi sangat mungkin pula saling bertentangan sehingga satu faktor mengganjal faktor yang lain.

Kinerja setiap faktor berbeda-beda dalam setiap kelompok masyarakat Indonesia yang demikian majemuk dan beragam. Misalnya, sebagian besar masyarakat Jawa, dalam sejarah dan tradisinya, perilaku ekonomi rasional bukan sesuatu yang sangat signifikan dalam hidupnya. Mereka lebih mementingkan “etik berbudaya dan rasa” di lingkungannya. Namun, di sisi lain, politik kekuasaan lebih menarik sebagian besar masyarakat dari Jawa sehingga hierarki sosial selalu dibakukan, pengembangan kehidupan demokratis menjadi terhalang.

Dalam sejarahnya juga, politik jauh lebih “mengatur” perubahan sosial di Indonesia ketimbang faktor yang lain. Pada masa kolonial, politik ekonomi kapitalisme kolonial memang didesain hanya untuk menguntungkan Pemerintah Belanda. Hal itu terjadi justru karena Belanda “tahu persis” budaya ekonomi, tradisi, dan praktik hidup sehari-hari pribumi, sehingga skenario pemerintah “gupermen” itu berhasil untuk dirinya, dan walaupun ekonomi pribumi sebagian besar gulung tikar.

Pada masa Orde Lama, konsentrasi politik yang digiring Soekarno memporakporandakan ekonomi Indonesia. Pada tahun 1964-1965-an, menurut catatan Arief Budiman, Indonesia mencapai inflasi sekitar 732% (Budiman, 1991). Pada masa Orde Baru, konsentrasi pada pembangunan ekonomi memang memperlihatkan tanda-tanda sukses. Walaupn ternyata, fondasi ekonomi Indonesia, yang tidak didukung bangunan habitus sosial dan budaya yang rasional dan modern, membuat bangunan ekonomi Indonesia sangat rapuh.

Kemudian, represi politik dan pemasungan demokrasi yang lama, membuat tekanan itu meledak. Ujungnya, tahun 1997 perekonomian Indonesia melorot dratis hingga mencapai inflasi 300-400%. Kehidupan ekonomi Indonesia seolah merangkak kembali dari bawah. Bukan hanya ekonomi, segala sesuatunya seolah mulai lagi dari awal. Hingga kini bahkan kita masih merasakan seolah-olah kita sebagai bangsa yang demikian terseok-seok.

Faktor-faktor budaya beragama di Indonesia juga seolah “tidak pernah cukup puas” dalam ikut mengatur skenario dan arah perubahan sosial di Indonesia. Konflik-konflik kecil dan besar, yang kemudian berujung pada politisasi dan politik, tidak pelak menjadi batu-batu kerikil ataupun batu karang dalam mengganjal untuk mencapai proses kemajuan modern yang dicita-citakan Visi Indonesia 2030. Energi orang Indonesia demikian terserap sehingga “waktu belajar yang serius” menjadi berkurang.

Uraian di atas memberi informasi bahwa habitus perubahan sosial di Indonesia perlu “diskenario” ulang dengan memperhitungkan habitus praktik sosial-budaya yang hidup, bahkan hingga hari ini.

Dalam situasi itu, hingga sekarang, pendidikan yang dipraktikkan, tidak sempat mengolah masyarakat Indonesia menjadi insan-insan (SDM) yang secara tangkas mampu mengapropriasi masa depan yang semakin terglobalkan. Pendidikan tidak lebih semacam “ritus modern” untuk mendapatkan selembar sertifikat, setelah itu para terdidik masuk ke kehidupan masyarakat, ke dunia birokrasi, ke dunia swasta, ke dunia politik praktis “untuk mencari nafkah”, dan kembali terjebak ke dalam habitus-habitus yang sudah terbentuk sebelumnya.

Sekarang, kenyataannya, kondisi itu diperburuk dengan labil dan lemahnya negara dalam membangun dan memfasilitasi warga untuk menciptakan masyarakat yang dinamis dan kreatif. Kita sibuk mengatasi berbagai bencana, politik kekuasaan yang berorientasi pada dirinya sendiri, buruknya penegakkan hukum, anjloknya kehidupan ekonomi. Buruknya habitus sosial dan budaya kita, membuat Visi Indonesia 2030 hanya akan selalu menjadi mimpi.

Dalam kodisi itu, masihkah ada harapan? Sebagai makhluk yang percaya pada kekuasaan Tuhan, tentulah masih ada. Dalam situasi itulah, saya sangat mendukung tulisan Haryatmoko tersebut. Haryatmoko mengingatkan bahwa salah satu yang perlu dilakukan adalah dengan melepas simpul-simpul habitus yang selama ini mengikat masyarakat Indonesia terpenjara dalam kebiasaan-kebiasaan buruk dan sangat tidak produktif.

Untuk itu, perlu diperbanyak identifikasi di mana sajakah simpul-simpul itu terlanjur mengikat di sana sini. Di mana dan bagaimana simpul habitus korupsi sehingga bisa dilepas dengan cara yang efektif dan efisien. Di mana dan bagaimana simpul belenggu hukum sehingga jika simpul itu di-bandrek, penegakkan hukum bisa dijalankan secara efektif. Di mana dan bagaimana pula simpul nepotisme sehingga jika diputus nepotisme bisa tercerai berai.

Hal lain yang perlu diperhitungkan dengan mencanangkan Visi Indonesia 2030 adalah terjadinya kejadian-kejadian di luar dugaan, misalnya terjadinya bencana besar, sebagai misal pandemi (pageblug). Visi Indonesia 2030, selain tidak memperhitungkan itu, juga tidak memperhitungkan bahwa biasanya ganti rezim, yang ganti visi. Dalam perspektif tulisan ini, sebenarnya pandemi ikut membantu membuka simpul-simpul lama sehingga sebenarnya, inilah salah satu substansi yang dimansuk dengan era new normal.

Namun, biasanya urusan kontuinuitas kesejarahan dalam politik ekonomi dan politik sosial-politik, hanya berlaku di atas kertas. Tidak ada masalah soal di atas kertas, karena situasi dan kondisi memang berubah. Di samping itu, jangan dikira pemerintah yang berkuasa, dengan barisan para menterinya, jika tidak memubuat visi baru, seolah tidak bekerja. Akan tetapi, yang terjadi adalah jika membuat visi, dan tidak memperhatikan habitus perubahan sosial masyarakat Indonesia, maka visi tersebut akan sia-sia. Tidak lebih menjadi sebuah kerjaan yang mubazir.

Upaya untuk mengetahui dan mengidentifikasi simpul-simpul habitus itu, mau tidak mau, adalah studi-studi yang mendalam tentang realitas sosial, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya. Berbagai kegagalan yang telah dicontohkan pada masa lalu selayaknya diperhitungkan agar proyek Visi Indonesia 2030 tidak menjadi proyek mimpi, proyek yang ingin mengambil muka kekuasaan.

Dengan demikian, perlu ditekankan bahwa skenario ekonomisasi masyarakat tidak mungkin berjalan sendiri dalam mengubah masa depan Indonesia. Karakter budaya orang Indonesia pada umumnya, juga terbentuk karena habitus-habitus kecil keseharian yang lebih mendarah daging. Habitus-habitus kecil itu, terstruktur dalam sejarah skenario habitus perubahan sosial yang lebih besar. Simpul-simpul struktur itu harus diketahui persis agar tidak salah langkah lagi.
***

*) Dr. Aprinus Salam, M. Hum., Sastrawan kelahiran Riau, 7 April 1965. Dosen FIB UGM, Kepala Pusat Studi Kebudayaan UGM sejak 2013, Anggota Senat Akademik UGM 2012-2016, Konsultan Ahli Dinas Kebudayaan DIY (2013-2016). Pendidikan S1, Bahasa dan Sastra Indonesia FIB UGM (Lulus 1992), S2 Program Studi Sastra Pasca Sarjana UGM (Lulus 2002, salah satu wisudawan terbaik), S3 Program Studi Sastra (Program Studi Ilmu-Ilmu Humaniora, Pascasarjana FIB UGM, lulus 2010).

Leave a Reply

Bahasa »