Afrizal Malna
Kompas, 5 Juli 2020
Tulisan ini bisa dikatakan merupakan respon atas dua tulisan Putu Fajar Arcana (“Puisi dalam Tiga Langkah”, Kompas, 24 Juni 2020, 08:03 WIB; dan “Mesin Ketik Tua Hadiah Mertua”, Kompas, 1 Juli 2020, 08:03 WIB).
Saya termasuk penulis dari “generasi mesin tik”, bagian dari ekosistem media massa cetak (koran, majalah, buku). Satu-satunya platform yang dimiliki pemerintah dalam ekosistem ini adalah Balai Pustaka, lembaga peninggalan Belanda (Commissie voor de Inlansche School en Volkslectuur “Komisi untuk Bacaan Rakyat”) yang melahirkan Poedjangga Baroe. Namun saya belum pernah sekali pun berhubungan dengan “lembaga yang diam” ini.
Dalam kondisi itu, boleh disimpulkan pemerintah membiarkan sastra bertarung sendirian dalam ekosistem pasar. Sastra bergantung pada visi jurnalisme dari masing-masing media massa cetak. Berhadapan dengan investor yang menghitung secara telanjang perbandingan jumlah pembaca puisi dan gosip tentang artis. Investasi nilai dalam arti ekonomi kreatif dibenturkan dengan naik-turunnya saham dan pemasang iklan.
Sebagai penulis yang berada dalam wilayah genting pada ekosistem media massa cetak itu, saya harus menjalinnya sebagai bagian dari ekosistem kehidupan saya. Terutama untuk memenuhi kebutuhan dasar dan biaya kontrak rumah. Saya mulai membangun jaringan dengan berbagai komunitas sastra di Jawa. Honor dari sebuah tulisan yang dimuat di Kompas, misalnya, saya gunakan untuk biaya perjalanan (dengan bis atau kereta ekonomi) ke berbagai kota, melakukan acara-acara sastra (seperti diskusi) sambil jualan buku puisi yang telah dicetak.
Sastra bergantung pada visi jurnalisme dari masing-masing media massa cetak.
Dalam sebulan, maksimal ada empat tulisan yang dimuat di berbagai media (Kompas, Sinar Harapan, Suara Pembaruan, Berita Buana, Pikiran Rakyat, Suara Merdeka, Surabaya Pos, Jawa Pos, atau majalah sastra Horison dan Basis). Untuk biaya kontrak rumah atau biaya perjalanan ke luar negeri, saya masih bisa pinjam ke Kompas atau Surabaya Pos, dan diganti dengan honor tulisan sebulan sekali dalam setahun.
Ekosistem ini menghasilkan jaringan yang aktif dan produktif. Membuat saya hampir setiap bulan berjalan ke luar kota untuk acara sastra maupun teater, juga membuat karya-karya saya memasuki pergaulan lintas budaya dan disiplin.
Saya mulai mengintegrasikan ekosistem itu ke industri budaya, di mana saya mulai membandingkan karya-karya saya dengan berbagai produk industri maupun munculnya media baru (telefon, televisi, video, mesin stensil, fotokopi, komputer maupun printer yang sudah bisa dimiliki secara pribadi). Media baru ini menjadi rujukan baru dalam berkarya.
Namun ekosistem itu rapuh. Ketika saya mulai bosan, regenerasi sastra yang berjalan tidak cukup dialektis, ekosistem itu hancur dengan sendirinya. Setelah itu kita menghadapi Abad baru dalam provokasi Revolusi Industri 4.0 dan bayangan post-truth dari teknologi big-data. Korona mempercepat sebuah “penaklukan digital” dalam masyarakat global, di mana ekosistem media massa cetak dievakuasi ke ekosistem digital.
Sebagai generasi mesin tik, menghadapi perubahan ini, sama dengan menyaksikan sebuah penguburan atas ekosistem penulis yang pernah menghidupi saya selama ini. Saya kemudian hidup seperti “penulis hantu” yang gentayangan dalam media massa yang kini berbasis online. Dan saya tidak mengetahui aturan mainnya. Saya terus menulis. Namun tidak satu pun media massa online ini yang memberi honor atas tulisan-tulisan saya, baik yang berbasis online maupun semacam majalah elektronik. Menulis jadi semacam sedekah.
Karya-karya saya kini dipegang beberapa penerbit indie di Yogyakarta, Melbourne dan di Beijing. Melbourne memiliki strategi memecah karya-karya saya masuk ke berbagai jurnal online berbahasa Inggris, sebelum utuh sebagai sebuah buku. Usaha yang membangun jaringan antara ekosistem cetak dan online, hal yang juga dilakukan oleh Beijing. Walau masih jauh dari cukup untuk hidup.
Di balik perubahan yang ekstrem itu, juga berlangsung sebuah pertemuan antara puisi dan teknologi, sama dengan pertemuan seni dan teknologi. Robot dalam bentuk aplikasi komputer, sudah bisa menulis puisi. Saya tidak asing dengan perubahan ini, karena saya mengikuti karya-karya dari era Dada maupun Fluxus.
Beberapa nama bisa disebut seperti Hugo Ball, Henri Michaux, Eugen Gomringer, Robert Filliou, Leon Ferrari, atau kini karya Herta Muller dan Mirtha Dermisache, di mana karya mereka sudah bisa dilihat sebagai tubuh-teknologi. Puisi Mirtha Dermisache, misalnya, mengambil bentuk tulisan, namun sama sekali tidak bisa dibaca. (Mirtha Dermisache, Siglio-UDP: Selected Writings. Editor: Daniel Owen & Lisa Pearson, 2017)
Saya kemudian hidup seperti “penulis hantu” yang gentayangan dalam media massa yang kini berbasis online.
Tahun 2014, saya mengikuti Maastricht Poetry Festival di Theatre La Bonbonnière (30 Oktober – 1 November 2014), Netherland. Rouke van der Hoek, salah satu kurator festival ini mengatakan bahwa ini festival terakhir. Karena setelah itu Walikota Maastricht akan lebih mendukung festival berbasis pertemuan baru antara puisi dan teknologi. Gagasan di mana Walikota dengan sadar menyiapkan platform puisi masa kini untuk menyongsong munculnya ekosistem baru berbasis teknologi.
Februari 2015, saya juga menyaksikan platform “Brain Poetry” dalam paviliun Finlandia (Frankfurt Book Fair), di mana gelombang otak kita menghasilkan puisi yang ditransfer melalui semacam teknologi neurosis ke komputer dan proyektor. Gelombang emosi otak setiap orang menghasilkan puisi yang unik. International Literature Berlin juga sudah memasukkan aplikasi komputer sebagai karya sastra dalam pameran mereka.
Platform “robotpoet” (penyair robot) kini banyak kita temukan di internet (lihat Yisela Alvarez Trentin: https://medium.com). Performance penyair-penyair robot ini memunculkan tantangan maupun pertanyaan baru untuk melihat kembali “apa arti puisi” sekarang ini. Apakah puisi masih bagian dari praktik bahasa dan sastra? Bahwa pertemuan puisi dan teknologi, sama dengan mempersoalkan kembali hubungan bahasa, tubuh, media dan teknologi.
Ekosistem generasi mesin tik mungkin telah berakhir. Sebagian usia generasi ini juga menjelang memasuki alam kematian. Mereka cukup memahami bagaimana pikiran harus berhenti, ketika kertas untuk mengetik habis dan harus mencari penggantinya. Mereka cukup memahami bahwa kata yang dicoret harus di tip-ex dan bukan di-cancel.
AFRIZAL MALNA, penyair, generasi mesin tik, tinggal di Surabaya.
https://kompas.id/baca/opini/2020/07/05/hancurnya-ekosistem-penulis/
One Reply to “Hancurnya Ekosistem Penulis?”