H.B. Jassin termasuk salah satu orang Indonesia yang rajin menulis surat. Surat-surat Jassin 1943-1983 dikumpulkan dan dibukukan oleh penerbit Gramedia (1984). Di dalam buku tersebut saya menemukan surat Jassin untuk penyair Indonesia O’Galelano (2 Mei 1960). Ketika membaca nama penyair yang disurati Jassin. Saya teringat suku Galale di pulau besar Halmahera, Maluku Utara. Suatu hari saya membeli bundel majalah Horison tahun 1984. Saya menemukan tulisan Ismed Natsir di majalah Horison nomor 10 (1984), yang berjudul “Tujuh Bintang Sastra di Pundak Jassin”. Ismed dalam tulisannya menyinggung soal surat Jassin kepada O’Galelano.
Ismed menulis, “Indonesia O’Galelano yang sekarang aktif sebagai wartawan, disurati Jassin dengan pendekatan yang bersifat membimbing: “saya tidak tahu apa pertimbangan redaktur-redaktur untuk menolak sajak-sajak saudara, tapi saya sedia secara pribadi membaca dan membicarakan hasil-hasil saudara” (Hal.170). O’Galelano kemudian hari dibaptis Jassin sebagai anggota barisan penyair Angkatan 66” (Hal. 384).
Apakah O’Galelano membalas surat Jassin? Entah. Saya pernah membaca tulisan pendek Bandung Mawardi di facebook. Mawar pernah mengutip bait terakhir sajak O’Galelano buat H.B. Jassin, berjudul “Dialog” yang dimuat majalah Sastra nomor 11-12 (1963). Saya kemudian melacak dan menacari tahu sajak yang dikutip itu. Mari kita baca sajaknya:
malam jang merebahi punggung kota
adalah rebahan puteraputera tersajang
pada tanah air jang melahirkan mereka
pada kehidupan jang menerapkan mereka
siang jang mendekap punggung tanah air
adalah dekapan puteraputera budajawan
pada bangsa jang melahirkan mereka
pada esok jang dilatari tantangan dan djawaban
seperti chairilku, jang membelulang dikaret
atas harga manusia seniman peneduh kasih
seperti gorkiku jang berlaras dilumpur petani
atau sokrates jang rebah diregukan piala ratjun
lincoln dibarat atau gandhi ditimur
atau bung karno Sukamiskin
adalah:
rebahan puteraputera tersajang
pada tanah air jang melahirkan mereka
adalah:
gembala manusia dilembah Ilahi
penunggu serambi maut jang mengahiri kita
manusia bukan apa-apa
karena itu, jassin
pada malam jang merabahi punggung kota
dan siang jang mendekap punggung tanah air
atas semua hari kehidupan kerdja seniku
aku tak punja dewa
aku tak punja lawan
manusiaku, adalah napas
jang menghantar kewalahanku
pada sisi Tangan Pemurah
manusia adalah kasih dan tjinta
dari dua kelamin jang berketjup
semesra fitrah dan sebuas napsu
atas nama-Nya
karena itu, jassin
malam ini dan siang esok
djutaan abad jang ‘kan menjongsong
hudjung usia bumi:
aku tak punja dewa
sebab pengejaran bersama kita
adalah kebenaran jang benar
manusia jang benar
***
Di tahun 2019, saya termasuk orang paling beruntung karena mendapatkan buku “Borero” karya terakhir M. Adnan Amal (seorang hakim yang lebih akrab dengan sebutan sejarawan Maluku Utara). Saya diberikan langsung oleh anaknya Marjorie Amal. Ada dua tulisan tentang pertemuan dan perpisahan bersama penyair Indonesia O’Galelano. Penulis buku “Kepulauan Rempah-rempah” ini mengabadikannya lewat tulisan. Tulis Adnan Amal, “sejak masih duduk di kelas 3 SMP Negeri 1 Ternate. O’Gelelano telah mementaskan dua drama, yakni: “Saijah dan Adinda” karya Edward Douwes Dekker dan “Bunga Rumah Makan” karya Utuy Tatang Sontani.” Ternyata istri Adnan Amal adalah adik kelas O’Galelano di SMP Negeri 1 Ternate. Pernah juga ikut bermain drama yang disutradari oleh O’Galelno dipentaskan di gedung bioskop Ternate (sekarang Mall).
Ada yang ingin saya luruskan sedikit kekeliruan Adnan Amal yang menulis begini: “dalam buku “Tifa Penyair dan Daerahnya” karya H.B. Jassin. Termuat pula beberapa karya sastra berupa puisi Indonesia O’Galelano. H.B. Jassin membahas karya-karya Indonesia O’Galelano dalam bukunya itu secara gamblang dan positif…” (Hal 259). Namun di dalam buku “Tifa Penyair dan Daerahnya” saya tidak menemukan satupun karya O’Galelano dibicarakan Jassin. Mungkin yang dimaksud buku “Angkatan 66, Prosa dan Puisi” bukan pada buku “Tifa Penyair dan Daerahnya”.
***
Cukup banyak sajak yang ditulis O’Galelano. Dan Jassin yang bersedia membacanya, kemudian memilih dua sajak di antaranya “Epos Laut” dan “Kartu Pos Hitam”. Dimasukan ke dalam buku “Angkatan 66, Prosa dan Puisi”. Sebelumnya pernah dimuat majalah Sastra, Th. IV No. 1, 1964 dan Th. V No. 2, Desember 1967. Saya kutipkan salah satu sajaknya berjudul “Epos Laut”, tentang peperangan yang terjadi di lautan biru Maluku:
busa dan buih putih
menuntun gulungan ombak
mengendap pasir putih pantai
busa dan buih putih
menuntun lelaki pelaut
pulang dari kemenangan dilaut
arus memelatuki
perahu tjanga didataran lautan
tak perduli armada kompeni
tak perduli meriam portugis
kami anak laut, mati dilaut
kalau kami mau, perahu kami
berlajar ladju bagai setan
berlajar ladju bagai datuk laut
melintasi limapuluh sentimeter atas laut
tahu?
kapita ‘kan utjapkan mentera perang
bismillah
kukuntji hatimu
kuhempaskan pikiranmu
bagai mendidihnja air
lenjap tanpa gemeritjik
bismillah
kabal djadi palias
palias djadi besi
besi djadi wadjah
pelurumu djadi air. djadi lumpur
bismillah
dan nakoda alfonso ditjintjang
laut menerkam potongan dagingnja
dan kontroleur van den berg terjampak
pada ribuan kilauan sumarang
tjanga merajapi terus
bertebar terus
ketimur menudju papua
kebarat kepulau banggai
keutara, keteluk tomini dan sangihe
dan atas lajar jang dibiriti mentera
mindanao dan sabah rebah tunduk
atas titah sultan hairun
kapitan laut tegak dilambung korakora
djurumudi pada kemudi, kukuh
tantjap kemudi. membelah laut
ja, tuhan
demi gamalama jang menegaki laut
demi dukono jang mengasapi halmahera
demi laut halmahera, anak laut pasifik
tumpah bangkitkan angin buritanmu
kepulkan asap, perdengarkan letusanmu
gelapkan dirimu, perbesar gulungan ombakmu
alirkan arusmu kentjang-kentjang diseluruh tandjung
dan telanlah habis armada musuh
portugis jang membentengi kota keradjaan
belanda jang menebang habis pala tjengkeh
hai, tjahaja, watui ech
madju sembelih semua musuh
sonder darahnja
itulah laki-laki
pelurumu ‘kan meleleh ditubuh kami
karena asap, ombak, arus dan angin kami
adalah mitos kebenaran
ini bumi kami
djangan tjoba-tjoba tebang pala tjengkeh
datu mojang ‘kan murka
dan kami ‘kan bangkit
***
Indonesia O’Galelano memiliki arti “orang Indonesia yang berasal dari Galela”. Nama lengkapnya adalah Idroes Ahmad Djoge Lagora O’Galelano. Lahir 17 November 1940, di Galela, Halmahera, Maluku Utara. Tamatan SMP Negeri 1 Ternate. Ia melanjutkan pendidikannya di SMA APPI Jakarta. Lalu kuliah di fakultas Publisistik Universitas Ibnu Chaldun, Jakarta. Kerajinan menulis puisi dan esai tahun 1960. Aktif berorganisasi, menjadi anggota pimpinan pusat Himpunan Seni Budaja Islam (HSBI) dan anggota pengurus Badan Musyawarah Kebudyaan Islam (BMKI). Dan meninggal pada tanggal 1 Agustus 2012, di Depok, Jawa Barat.
Di majalah Panji Masyarakat O’Galelano tampil sebagai penulis esai. Sajak-sajaknya sering dimuat majalah Mimbar Indonesia, Sastra, Horison, dan harian Pelita. O’Galelano juga menulis dongeng yang berjudul “Djapung Ma Awa”, saya menemukan dalam buku Dongeng2 Kutilang jilid I (Jajasan Kebudajaan Sadar, 1962). Penyusun S. Rukiah Kertapati.
Sampai hari ini sajak-sajak dan esai O’Galelano yang tersebar di majalah dan koran belum dibukukan. Mungkin tersimpan rapi di Pusat Dokumentasi H.B. Jassin. Bukan di perpustakaan Maluku Utara dan Halmahera. Himbauan berulang kali ditulis Adnan Amal untuk pemerintah provinsi Maluku Utara, agar mengambil bagian merawat baik karya putra daerah yang ikut andil dalam kesusastraan Indonesia khususnya Maluku Utara dan Halmahera. Tetapi hingga saat ini, Indonesia O’Galelano masih tetaplah seorang penyair tanpa buku puisi.
2020
*) Mahamuda adalah nama pena dari Mahyuddin M. Dahlan. Anak bungsu dari lima bersaudara, lahir di Wayaua, Bacan Timur Selatan, Halmahera Selatan, 3 Juli 1994, dari pasangan Mahmud Dahlan dan Srida Midjan. Penulis menyelesaikan pendidikan Madrasah Ibtidaiyah al-Khairaat Wayaua, dan SD Wayaua di tahun 2006. Merantau ke Sulawesi Tengah, dan belajar di MTs al-Khairaat Pusat Palu, tamatan tahun 2009, masuk Madrasah Aliyah al-Khairaat Pusat Palu, lulus 2012, kemudian merantau ke Tanah Jawa. Tahun 2013 menjadi mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, Jurusan Perbandingan Agama, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam di Yogyakarta. Pada semester V, memilih meninggalkan kampus, sibuk mencari uang untuk membeli buku-buku sambil menghibur diri belajar mengarang cerita dan lagu, disamping senang berpergian naik kapal…