KELUHAN PRAMOEDYA DAN KEADAAN KINI

Anindita S. Thayf *
Kompas, 22/07/2020

Sejak tahun 1952, Pramoedya Ananta Toer sudah mengeluhkan soal kondisi finansial pengarang Indonesia. Lewat dua esai, Hidup dan Kerja dan Keadaan Sosial Para Pengarang: Perbandingan Antarnegara, Pramoedya membandingkan pendapatan pengarang Republik Rakyat Tiongkok dengan pengarang Indonesia. Saat itu, pengarang Tiongkok mendapatkan bayaran sekitar Rp.1.000 – Rp.3.000 untuk tiga halaman tulisan mereka, sementara pengarang Indonesia hanya dihargai Rp. 30. Kondisi inilah yang, menurut Pramoedya, membuat pengarang di Indonesia mesti pontang-panting mencari pekerjaan lain agar bisa hidup.

Enam puluh delapan tahun kemudian, lewat esai Hancurnya Ekosistem Penulis?, Afrizal Malna masih mengeluhkan hal serupa. Kendati Afrizal termasuk pengarang yang sangat beruntung karena bisa berhutang bayaran tulisannya kepada redaksi media sebagai bekal perjalanannya ke luar negeri, dia tetap mengeluh bahwa tulisan-tulisannya di media daring tidak mendapatkan imbalan. Baginya, itu lebih semacam sedekah tulisan. Keluhan Afrizal memperlihatkan bahwa pengarang masih tidak menerima imbalan yang sepadan. Hal tersebut belum beranjak dari situasi puluhan tahun lampau.

Situasi seputar kondisi finansial pengarang yang sedemikian redup rupanya tidak hanya terjadi di dunia nyata. Dalam sebuah aplikasi permainan Writer Simulator 2, kehidupan pengarang disimulasikan sama tragisnya. Dalam permainan tersebut, demi mendapatkan uang 200 dollar AS dari kontrak menulis novel setebal 400-an halaman, seorang pengarang harus bekerja selama delapan minggu. Padahal, dari pekerjaan lainnya sebagai petugas kebersihan, si pengarang bisa mendapatkan uang dalam jumlah yang sama hanya dalam waktu satu hari.

Selain kondisi finansial yang tidak kunjung membaik, beberapa orang mulai mengkhawatirkan keadaan pengarang saat dipaksa berhadap-hadapan dengan teknologi. Menurut mereka, penemuan teknologi yang bisa mencipatakan puisi atau prosa dengan hasil tak kalah daripada karya-karya pengarang kelas wahid dunia merupakan ancaman bagi keberadaan pengarang, kendati sesungguhnya tidaklah demikian.

Tak bisa ditampik, perkembangan teknologi akan selalu menjadi bagian dari perkembangan peradaban umat manusia. Namun, sedahsyat apapun kecanggihan perkembangan teknologi nantinya, ia tetap tidak akan sanggup menangkap apa yang disebut Mario Vargas Llosa sebagai keilahian, yang menuntun seorang pengarang untuk bisa menciptakan sebuah karya yang berjiwa.

Ratusan hingga ribuan karya sastra, baik yang tersimpan di perpustakaan atau museum, telah membuktikan bahwa para pengarang selalu mampu menyesuikan diri dengan perkembangan zaman dan teknologi. Sejak manusia menggoreskan tulisannya di atas batu, kulit binatang, daun lontar hingga kertas; menggunakan pena bulu, mesin ketik hingga komputer, karya sastra tetap selalu ada berkat kerja keras para pengarang yang berdedikasi. Merekalah pengarang sejati yang tidak akan pernah berhenti berkarya dalam situasi apapun.

Sebagaimana penyair Wiji Thukul yang, dalam salah satu puisinya, sudah berencana untuk menulis dengan darahnya bila sudah tidak ada tinta dan arang. Pun, Sade yang terus berkarya dengan menggunakan kotorannya dari balik kungkungan penjara isolasinya.

Kondisi Kesusastraan Kita

Terlepas dari keluhan dan kekhawatiran di atas, kondisi kesusastraan kita kelihatannya baik-baik saja. Banyaknya pentas, festival, kongres, simposium, lomba maupun kegiatan sastra lainnya bisa dijadikan tolok ukur bahwa kesusastraan kita masih menggeliat. Para pengarang pun banyak yang rajin tampil dari pentas satu ke pentas lain hingga seringkali jumlah karya yang dihasilkannya kalah banyak dengan jumlah acara kesusastraan yang dihadirinya.

Berkat dukungan dana besar pemerintah pula, para pengarang diberikan kemudahan melancong ke luar negeri dalam bentuk program residensi. Bila Chairil Anwar pernah berkata bahwa “yang bukan penyair, tidak ambil bagian,” maka inilah saatnya para pengarang, mulai dari yang baru menetas sampai yang nyaris pensiun, bisa ambil bagian. Tiada yang lebih sibuk ketimbang pengarang masa kini.

Inilah zaman ketika pengarang yang bersikap serupa pujangga zaman baheula, yang gemar bersunyi-sunyi sendirian, mesti dipandang aneh. Ini pula masa ketika dunia kesusastraan telah memasuki alam demokrasi. Siapapun bisa menjadi pengarang pada hari ini. Seorang pengarang bukan lagi dia yang menunduk di atas buku dan kertas selama berjam-jam, bertahun-tahun, melainkan bisa saja seorang mahasiswa yang malas membuat sinopsis untuk tugasnya sendiri atau seorang selebriti dengan kemampuan menulis pas-pasan. Selama orang itu sanggup membuat kalimat dan menggerakkan ceritanya dari awal ke akhir, lalu berhasil menjual tulisannya itu entah berbekal kepopuleran atau keberuntungan, jadilah dia pengarang dengan sejuta pembaca.

Buktinya, rak-rak toko buku banyak disesaki nama-nama pengarang baru. Buku-buku karya pengarang angkatan sedasawarsa lalu, apalagi yang lebih tua, seperti Angkatan ’66, ’45, sampai Pujangga Baru, yang nama-namanya mudah dikenali dari buku pelajaran bahasa Indonesia, telah tergeser ke rak-rak pinggiran.

Seolah mendukung persaingan ketat tersebut, bermunculan media-media daring yang menyediakan sarana untuk menulis dan menerbitkan buku secara online. Yang dulu tampak sulit, kini berbalik penuh kemudahan.

Tidak mengherankan, jumlah pengarang pada hari ini melimpah. Buku, novel, cerpen, apalagi puisi, bertebaran di mana-mana. Dari pengarang yang melimpah itu, hanya sebagian kecil yang berlatar belakang pendidikan sastra. Fakta ini membuat banyak dari mereka tergerak untuk berbagi ilmu menulis biarpun masih sedikit. Beramai-ramai mengajak siapapun yang hendak menulis, mempunyai buku, dan bercita-cita menjadi pengarang terkenal ikut belajar menulis.

Maka, menjamurlah pelatihan kepenulisan, baik yang bermentorkan pengarang yang baru menghasilkan satu-dua karya hingga pengarang senior yang kesulitan berkarya lagi. Bermunculan pula aplikasi menulis berpanduan komputer yang tinggal diunduh dan bebas digunakan kapan saja. Pada hari ini, seseorang tidak perlu lagi mengalami kesulitan mengarang sebagaimana tokoh bocah dalam cerpen Seno Gumira, Pelajaran Mengarang.

Menengok kembali pada keluhan Pramoedya, yang sudah sering pula disampaikan oleh banyak pengarang lain, kondisi finansial pengarang yang buruk ibarat takdir hidup orang miskin yang sulit diubah. Kerja-kerja kreatif kesusastraan tidak akan pernah mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari seorang pengarang, kecuali dia termasuk segelintir dari pengarang beruntung yang diberkati.

Namun, di antara begitu banyak ketidakpastian masa depan dari pekerjaan ini, hanya ada satu yang pasti. Sebagaimana ungkap Llosa dalam Surat-surat Kepada Seorang Novelis Muda, bahwa menjadikan menulis sebagai cara terbaik untuk hidup akan selalu terasa lebih baik bagi siapapun yang merasakan panggilannya.
***

__________________
*) Anindita S. Thayf lahir pada 5 April 1978 di Makassar. Menulis cerpen dan novel. Novelnya, Tanah Tabu (Gramedia Pustaka Utama, 2009), menjadi juara I lomba menulis novel Dewan Kesenian Jakarta 2008, finalis Khatulistiwa Literary Award 2009, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul Daughters of Papua (Dalang Publishing, San Francisco, 2014).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *