In Memoriam tentang Mas Willy
Di tengah kerumunan pelayat di Desa Citayam, Bogor, Jumat siang (7/8), sejumlah reporter muda yang kerap dilabeli ”wartawan” infotainment -saya tidak tahu apakah mereka bisa dikategorikan jurnalis atau sekadar pengulur mikrofon- tiba-tiba bertanya, ”Apa sih arti penting seorang Rendra kok orang-orang ngasih penghormatan luar biasa seperti ini?”
Saya terhenyak. Jika kekerasan dibenarkan, rasanya ingin menapuk cangkem lancang itu. Pertanyaan itu sekadar pancingan atau memang muncul dari kedunguan industri pertelevisian? Spontan saya menjawab, ”Hanya orang yang gegar otak atau tidak waras yang menganggap Rendra tidak penting!”
Saya seperti ingin marah mendengar pancingan bernada pelecehan tersebut. Meski bukan murid Rendra yang bertumbuh di komunitas Bengkel Teater, saya tak rela mendengar martabat, jasa, dan peran ”guru besar” teater Indonesia itu direndahkan.
Ribuan orang yang mengalir menjadi petakziah di rumah putrinya, Clara Sinta, di Pesona Khayangan, Depok, pada malam sebelumnya atau di markas Bengkel Teater Citayam siangnya jelas membuktikan bahwa Rendra adalah tokoh besar.
(W.S. Rendra, gambar dari facebook Butet Kartaredjasa, karya Nung Bonham)
Dia adalah Budayawan dengan ”B” besar. Sebuah derajat yang posisinya bertakhta jauh di atas, jauh lebih tinggi dari sekadar seorang pekerja seni. Di dalam derajat yang mulia itulah tersimpan watak kebudayawanan yang menjadikannya bukan manusia pendendam. Tapi, manusia yang arif dengan jiwa yang sumeleh, penuh kebijaksanaan, dan menghormati setiap pertumbuhan.
Meski ruang pengabdiannya sebagai sutradara maupun aktor kerap diartikan hanya sebatas wilayah kesenian, pikiran-pikiran Rendra yang selalu dilandasi ketakjuban pada kejayaan dan kebesaran sejarah bangsanya tak berhenti hanya dalam perkara artistik dan rumusan-rumusan estetis. Pemikiran dan gagasannya melampaui dunia seni itu sendiri.
Melaksanakan Kata-Kata
Ditambah luasnya pengetahuan dan bekal literatur yang disantap dari waktu ke waktu, predikat ”seniman” terlalu kecil untuk disematkan ke dalam dirinya.
Dengan fasih Rendra bisa bertutur keunggulan budaya maritim yang di suatu masa pernah membikin bangsa ini sangat terhormat dan disegani bangsa-bangsa lain di dunia, tentang imperialisme ekonomi yang selalu cerdik berganti rupa dan mengakali negara dunia ketiga, tentang ketamakan kekuasaan yang bikin para pemimpin hidupnya keblinger, tentang kecemasannya pada generasi yang manja dan cengeng, tentang feodalisme bertopeng demokrasi yang terbentuk oleh masyarakat yang gemar jadi penjilat, dan sebangsanya.
Karena itulah, Rendra itu mahapenting. Penyair-aktor-sutradara-pemikir-deklamator kelahiran Solo tujuh puluh empat tahun lalu tersebut adalah manusia berkualitas empu yang setiap percikan pemikiran dan tindakan kebudayaannya memantik inspirasi bagi manusia-manusia lainnya.
Saya menyebutnya Rendra salah satu genius yang pernah dilahirkan di bumi Indonesia. Manusia yang dikaruniai aneka bakat dan -istimewanya- semua bakat itu bersinergi serta menjelma menjadi tindakan yang kemudian dilakoni dengan konsisten sepanjang hayatnya. Dia melaksanakan kata-kata dan pemikirannya.
Sebagai aktor panggung, siapa sih yang masih meragukan keunggulannya? Sebagai penyair, apa masih ada yang membantah kecermatannya memilih kata-kata dan meragukan perannya dalam perkembangan sastra modern Indonesia? Sebagai sutradara teater, saya tak yakin jika masih ada seniman maupun pengamat yang menafikan sumbangan kreatifnya bagi kebudayaan Indonesia.
Nyuwun Suntik
Saya mengenal Rendra ketika saya masih duduk di bangku SD. Awalnya, saya cuma mengenalnya sebagai lelaki gondrong salah seorang sahabat ayah saya (Bagong Kussudiardja) yang kebetulan juga ayah teman sepermainan saya di SD Pangudi Luhur, Jogja.
Tiga anak Rendra dari Sunarti Soewandi -Tedi, Andreas, dan Daniel- bersekolah di sekolah yang sama. Kampung kami juga bertetangga. Om Rendra, begitu dulu saya memanggil, yang tinggal di Ketanggungan Wetan kerap tiba-tiba nongol di suatu malam, di rumah kami, di Kampung Singosaren Lor, Jogjakarta.
Setiap Om Gondrong itu datang, pasti nanti terdengar canda cekakakan para seniman. Kemudian akan terdengar satu permintaan yang rasanya masih terngiang di kuping, ”Mbakyu… aku nyuwun suntik!”
Yang disebut ”mbakyu” itu adalah ibu saya yang memang seorang bidan. Sebagai tenaga medis, tentu saja di rumah selalu ready-stock vitamin, jarum suntik, dan aneka obat-obatan. Pada 70-an ketika sistem pelayanan kesehatan belum selengkap sekarang, wajarlah jika rumah kami selalu jadi jujukan para seniman yang punya problem kesehatan.
Saya tak tahu persis apa yang kemudian disuntikkan. Yang pasti, setiap Om Gondrong yang rambutnya sepundak itu datang mengetuk pintu, ayah saya selalu menyambut dengan canda riang yang berujung soal suntik-menyuntik. ”Arep njaluk suntik maneh ya?” Lalu terdengar tawa dua seniman itu berderai memecah malam.
Belakangan hari, setelah kerap mencuri-curi bacaan di perpustakaan ayah dan ikut nimbrung membaca majalah Basis, perkenalan dalam imajinasi terhadap Om Gondrong itu semakin intens. Melalui majalah Basis, juga majalah Tempo yang pernah menjadikan Rendra cover story pada 1970-an, laksana melakukan mediasi antara saya dan Rendra. Esai, puisi, liputan kegiatan Bengkel Teater yang kala itu menyelenggarakan Perkemahan Kaum Urakan di pesisir Parangtritis semakin mendekatkan saya dengan semangat dan pikiran-pikiran Rendra.
Apalagi ketika kemudian saya kerap digandeng ayah saya menonton mas-mas gondrong dan dekil berlatih teater di Bengkel Teater, Ketanggungan Wetan. Bahkan, ketika saya masih bercelana pendek berkesempatan nonton Rendra memerankan Hamlet di Teater Tertutup, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, rasanya saya semakin mengenal.
Sihir Keaktoran
Hampir empat jam saya melongo, terpesona oleh keaktoran lelaki bertubuh atletis, berambut sebahu warna perak, yang dengan artikulatif memerankan Hamlet. Penonton mbludag. Saya yang masih kanak-kanak adalah sebuah anonim di antara aktor-aktor tangguh Bengkel Teater. Rasanya susah banget menjangkau mereka, apalagi untuk mengenal dan bergaul memasuki dunia mereka.
Saya hanya mematri nama-nama mereka dalam ingatan, yang dalam perjalanan waktu akhirnya mereka saya kenal sebagai sahabat-sahabat yang penuh kehangatan: Adi Kurdi, Edy Haryono, Fadjar Suharno, Iskandar Waworuntu, Iwan Burnani, Dahlan Rebo Paing, Udinsyah, Sitoresmi, Yati Angkoro, Udin Mandarin, Untung Basuki, Wawan Prahara, dan lain-lain.
Tapi, Rendra tetap bintangnya. Mungkin karena auranya yang karismatis yang memancar. Itulah sihir keaktoran. Vokal yang khas dan bertenaga, dengan akting yang kadang mengundang tawa lantaran dimain-mainkan secara jenaka, menyisakan kekaguman dan gerutu dalam hati: ”Tunggu saja. Suatu saat nanti aku juga akan berdiri di atas panggung yang sama. Menjadi aktor.”
Impian pada masa kanak-kanak pada 70-an itulah agaknya menjadi magma yang mendidihkan semangat menempuh jalan keaktoran saya. Mas Willy, begitu kemudian saya ikutan menyapa Om Gondrong yang kini menjadi sesama aktor teater, diam-diam telah saya daulat menjadi ”guru” tanpa dia pernah tahu.
Saya memang tak pernah tercatat jadi murid yang takzim ngangsu kawruh di Bengkel Teater. Tapi, buku ”Rendra, Tentang Bermain Drama” menjadi pedoman menerjuni sebuah dunia impian, dunia seni peran, yang untungnya -setelah larangan pentas Rendra dicabut- saya selalu bisa mengonfirmasi bacaan itu melalui sejumlah lakon yang dipertunjukkan di kemudian hari: Sekda, Perjuangan Suku Naga, Lysistrata, Hamlet, Oedipus, dan lain-lain.
Karena itu, ketika 11 Mei lalu Mas Willy bersilaturahmi ke rumah saya lantaran tak bisa hadir pada malam pernikahan anak saya, muncullah gagasan menjelmakan buku yang banyak dijadikan pedoman aktor teater tersebut menjadi sebuah tindakan kebudayaan. Rendra ingin masuk kampus-kampus perguruan tinggi, bikin workshop, melatih, dan berbagi pengalaman tentang seni peran.
”Kapan Mas?”
”Oktober wae, setelah Lebaran. Kowe sing golek sponsor ya!”
Tapi, meski dikenal sangat bernyali melawan setiap bentuk penindasan dan selalu mendobrak kemacetan yang merendahkan martabat kemanusiaan, Rendra tetap tak mampu melawan waktu. Rendra yang perkasa tetap manusia biasa. Keinginannya memuliakan kehidupan dengan berbagi pengetahuan didahului kehendak Yang Kuasa, setelah sebelumnya Mbah Surip, kawan karibnya yang lain, mendahului mengetuk pintu surga. Sekarang, surga telah menjadi milik mereka.
***
*) Butet Kartaredjasa, seorang seniman dan aktor kelahiran Yogyakarta, 21 November 1961. Pada tahun 1996, mendirikan Galang Communication, sebuah institusi periklanan dan studio grafis, kemudian mendirikan Yayasan Galang. Bergabung di Teater Kita-Kita (1977), Teater SSRI (1978-1981), Sanggarbambu (1978-1981), Teater Dinasti (1982-1985), Teater Gandrik (1985-sekarang), Komunitas Pak Kanjeng (1993-1994), Teater Paku (1994), Komunitas seni Kua Etnika (1995-sekarang), dan biasa memerankan pentas secara Monolog. Dst…
https://www.facebook.com/story.php?story_fbid=10158634069030816&id=815285815