Pemberian Nobel Sastra untuk Bob Dylan beberapa tahun silam telah menimbulkan kegaduhan panjang di ruang publik. Pro dan kontra, sesuatu yang amat biasa terjadi tiap hasil evaluasi karya seni—lomba, sayembara, penghargaan—diumumkan, berlangsung hingga hari ini. Terdapat pidato pertanggungjawaban atau tidak tetap ada saja yang tak puas. Yang menarik, di ruang-ruang yang saya singgahi, banyak orang tak mencermati informasi kunci, yang walau secuil namun tak boleh diabaikan dalam semesta perbincangan. Mereka alih-alih sibuk melancarkan gugatan, menuruti prasangka yang belum tentu benarnya.
Gambar yang saya sertakan pada tulisan ini adalah contoh sertifikat untuk penerima Nobel Sastra. Ditulis dalam bahasa Swedia dan berisi keterangan nama sang penerima berikut alasan pemberian. Sertifikat untuk Dylan berbunyi: som skapat nya poetiska uttryck inom den stora amerikanska sångtraditionen, diterjemahkan dalam bahasa Inggris (oleh Akademi Swedia sendiri) sebagai “for having created new poetic expressions within the great American song tradition” (karena telah menciptakan ekspresi-ekspresi puitis baru dalam tradisi lagu Amerika yang besar).
New, great, tradition. Ini pernyataan yang tentu, katakanlah, bombastis dan sepatutnya dijelaskan dengan bukti-bukti konkret. Mana newness-nya, mana greatness-nya, dan mana tradition-nya. Sayang, pidato pertanggungjawaban bukanlah tradisi dalam penganugerahan Nobel Sastra. Tradisi dalam perhelatan tahunan ini justru adalah sambutan dari sang penerima Nobel. Bagaimanapun, dari pernyataan pendek pada piagam tersebut kita bisa menentukan apa yang mungkin jadi implikasi dan apa yang seharusnya tidak.
Apakah pemberian Nobel Sastra untuk Bob Dylan dalam kapasitasnya sebagai penyanyi merupakan implikasi dari “som skapat nya poetiska uttryck inom den stora amerikanska sångtraditionen”? Apakah bahwa Dylan pernah menulis buku puisi ada kaitannya dengan “for having created new poetic expressions within the great American song tradition”? Apakah hanya sebab ada kata “puitis” pada “karena telah menciptakan ekspresi-ekspresi puitis baru dalam tradisi lagu Amerika yang besar” berarti yang ditimbang adalah karier kepenyairan lelaki bernama asli Robert Allen Zimmerman ini?
“Puitis” adalah kata sifat, berarti memiliki kualitas atau nilai puisi. Kata ini, for sure, digunakan tidak secara eksklusif dalam pembicaraan mengenai puisi. Sebuah foto, lukisan, instalasi, dan suasana alam bi(a)sa dikatakan puitis ketika dianggap mengandung makna-makna tertentu yang menyentuh perasaan, yang tak bisa dengan mudah dideskripsikan dan atau jangkauannya tak bisa dipastikan. Lirik lagu, yang memiliki kedekatan bentuk dan hubungan kesejarahan dengan puisi, terlebih lagi, seringkali dikatakan puitis. Dalam sertifikat Dylan, bila “poetic expressions” dan “song” kita hubungkan, maka kita mendapat asumsi: Pelantun dan pemasyhur lagu Blowing In The Wind ini menerima Nobel Sastra dalam kapasitasnya sebagai lirikus. Sekarang, bisakah/bolehkah penghargaan sastra diberikan pada pencipta lirik lagu, sedang lirik lagu tidak bisa dikategorikan puisi?
Dalam jagat kepenyairan Indonesia kita mengenal sosok kharismatik, Umbu Landu Paranggi. Ia tercatat dalam Tonggak-nya Linus Suryadi Agustinus, yang artinya karyanya dianggap menonjol dalam khazanah sastra Indonesia, setidaknya untuk konteks dekade tertentu. Pertanyaan saya: layakkah Umbu hari ini mendapatkan penghargaan sastra untuk kualitas puisi-puisinya? Sebagian Anda akan ragu menjawab pastinya. Umbu, tidak seperti Soebagio dan Sapardi, besar dan terkenal bukan semata sebab puisi-puisinya, melainkan lebih sebab kiprah kementoran dan kemotivatorannya. Ia mencari para pemula berbakat, membuat wadah kompetisi dan ruang penggemblengan bagi mereka, dan, layaknya orang tua ikut gembira dan bangga melihat anak didiknya berprestasi di tataran lebih tinggi. Maka, untuk puluhan tahun konsistensi dan ketulusannya, layakkah Umbu sekarang menerima penghargaan sastra khusus? Saya yakin banyak dari Anda setuju tanpa ragu.
Bob Dylan saya kira serupa. Orang bilang, benar dia penyair, namun puisinya cuma mengekor Ginsberg. Baik. Saya setuju itu. Bahkan banyak orang baru tahu Dylan pernah menulis puisi setelah kegaduhan pemberian Nobel itu. Right, he is nobody in poetry then. Tapi bahwa di bidang lain, dalam tradisi lagu Amerika—folk music saya kira yang dimaksud—dia menghadirkan nilai-nilai puisi, yang artinya dia secara tak langsung ikut memajukan perpuisian dunia atau Amerika paling tidak (saya pernah membaca di sebuah fakultas sastra lirik lagunya dipelajari, entah dalam topik apa), maka tidakkah dia layak menerima penghargaan khusus sebagaimana Umbu dalam pengandaian saya tadi? Saya pribadi akan menjawab: layak.
Persoalannya: kelayakan ini hanya mungkin dengan bukti konkret, argumen meyakinkan. Tak perlu lirik lagu ciptaan Dylan dibandingkan dengan puisi ciptaan penyair ternama, Adonis katakanlah. Cukup bandingkan dengan lirik-lirik lagu lirikus lain yang muncul di awal Dylan memperkenalkan lirik-liriknya yang konon mengandung poetic expression itu, lantas tunjukkan newness-nya. Jika bisa dibuktikan maka layaklah ia. Tapi ini belum final. Ia masih, pada taraf menonjol di antara lirikus lain di Amerika, merupakan kandidat. Ia harus dibandingkan dengan para lirikus dari belahan bumi lain. Saya tak tahu banyak ihwal musik, namun jika di Timur Tengah ada sosok dengan kiprah dan pengaruh serupa, Dylan harus dipersaingkan dengannya.
Nah, dua hal ini, kebaruan di lingkup Amerika dan keunggulan di level internasional, tak pernah ditunjukkan (dan ini membuat saya tak pernah menganggap hebat Nobel Sastra. Para pengarang penerimanya hebat sebab karyanya, bukan sebab pernah menerima atau jadi kandidat penerimanya). Alhasil publik larut dalam perdebatan yang sering melenceng dari topik seharusnya, misal tentang apakah lirik lagu adalah puisi atau bukan, atau orang membanding-bandingkan Dylan dan Churchill tanpa melihat alasan perdana menteri itu diberi Nobel Sastra. Mereka cuma melihat sosok politikus, lupa memperdebatkan: bisakah buku biografi, buku sejarah, dan teks pidato, oleh sebab perannya yang dianggap menonjol bagi kemanusiaan, dihargai dengan Nobel Sastra; tidakkah Nobel Perdamaian, misalnya, lebih pas—-walau Nobel tak pernah bisa menghapus ironi dirinya sebagai ikon kerusakan dan pembunuhan? Ini gila, Saudara.
Jumat Pahing, 14 Agustus 2020