Aprinus Salam *
Ketika membayangkan Yogya tempo dulu, sebetulnya kita membandingkannya dengan Yogya kini, dan sekaligus memperkirakan apa yang akan terjadi dengan Yogya pada masa yang akan datang. Paling tidak ada tiga hal yang perlu diidentifikasi berkaitan dengan perbandingan tersebut. Pertama, bagaimana kondisi masyarakat dan kegiatannya, kedua, bagaimana kondisi fisik/infrastruktur yang menjadi arena masyarakat Yogya, dan ketiga, bagaimana nilai-nilai yang menjadi “mediasi” antara masyarakat dengan lingkungan hidupnya.
Tentu tidak semua bayangan tentang masa lalu Yogya sebagai satu kondisi yang menentramkan. Proses-proses suksesi, kekerasan-kekerasan kekuasaan, konflik-konflik dalam berbagai aras dan skalanya, merupakan kenangan yang kadang kita tidak cukup enjoy membicarakannya. Akan tetapi, kenangan tentang masa lalu yang tidak brisik, desa-desa dengan pohon-pohon nan rindang dan masyarakatnya yang damai loh jinawi, tentang sungai-sungai yang mengalir bening, tentang tanah-tanah yang lapang, sungguh kenangan yang ingin dihidupkan terus.
Kini, yang tersisa adalah bangunan-bangunan tua, dalam berbagai bentuk dan sejarahnya, di sela-sela bangunan padat dan kadang sengkarut, dilindas bangunan baru yang angkuh dan modern. Jalan-jalan padat dan secara periodik semrawut. Taman dan tanah lapang semakin hilang. Ruang bermain ketelingsut. Orang berkumpul di kafe-kafe yang ramai sambil mengurus urusannya sendiri-sendiri. Dalam ruang yang padat dan keos, kita mencari kenyamanan, hiburan, dalam ruang yang lapang, di media sosial.
Memang, aktivitas masyarakat masih terus berjalan, bahkan kesannya tambah ramai. Banyak rapat, negosiasi, keputusan, dan rencana-rencana sudah bisa diselesaikan di ruang media sosial. Seremoni aksinya, dalam ruang off, hanyalah aksi lanjutan dari ruang on. Karena kita masih perlu kumpul darat, kangen-kangenan langsung, dan jangan lupa ber we-fie untuk kembali dimediasosialkan. Dari situ kita tahu bahwa ruang-ruang kumpul bergeser menyebar ke segala tempat. Place sekarang tidak lagi penting, di mana saja tidak masalah. Sekarang zaman space.
Kegiatan berjalan secara tumpang tindih, semuanya berebut waktu dan perhatian. Masyarakat bekerja keras menyediakan lokasi-lokasi baru berbasis kuliner, dan sedikit pemandangan. Mungkin juga berbasis hibriditas Barat Timur, modern tradisi. Di satu sisi tetap jadi produsen, di sisi massa yang lain menjadi konsumen. Promosi berbasis digital. Produksi dan reproduksi berbasis sirkulasi keuangan. Alhasil, kapitalisme mengkoordinasi kegiatan dan aktivitas kita.
Jangan lupa, jalan-jalan semakin padat. Kita harus menyediakan waktu kita 2 sampai 3 jam di jalan untuk menembus kemacetan hampir di semua lini jalan-jalan Yogya. Anggaplah 2 jam, kali 365 hari, maka kita menghabiskan usia kita sekitar 730 jam per tahun di jalan. Jangan tanya bagaimana dengan kota-kota lain yang lebih macet daripada Yogyakarta.
Memang, untuk sementara, berbagai proses yang telah berjalan tersebut kesannya tertunda, menjadi sedikit ditahan, karena adanya pandemi Covid-19. Ada dua kemungkinan yang akan terjadi. Pertama, apa yang disebut sebagai new normal, akan terjadi berbagai perubahan sikap dan apresiasi dalam praktik hidup. Hal-hal yang tidak kondusif dari waktu sebelumnya, akan mengalami koreksi. Kedua, hidup kembali normal sebagai mana seperti sebelumnya.
Balik ke persoalan semula, masalah mendasar adalah bahwa kita berusaha keras untuk memodernkan hidup kita, memodernkan Yogya. Yogya memang tampil modern, hampir semua ciri dan kaidah kemodernan telah dipenuhi dan terpenuhi menjadi Yogyakarta yang modern. Apa yang kita dapatkan dalam kemodernan tersebut. Yang kita dapatkan adalah hidup yang kemrungsung dalam ruang kerjaan dan gemerlap, waktu yang habis di jalan, identitas modern yang tidak pernah diakui. Kita dipacu dengan sejumlah target. Kita dipacu dan memacu kepuasan lahir.
Dalam prosesnya, kita diatur oleh satu sistem dan struktur yang makin kaya semakin kaya, yang miskin terenggah-enggah memacu diri untuk hidup sekedar layak. Kalau tidak ada perubahan paradigma yang mendasar, maka proses menuju keadilan sosial dan kemakmuran bersama akan sulit dicapai. Kecuali jika keadilan sosial dan kemakmuran bukan menjadi tujuan, tetapi justru sebagai cara bersama sebagai prinsip-prinsip kesetaraan.
Atau, paling tidak kita tidak menempatkan kemodernan sebagai tujuan. Akan tetapi, sebagai cara atau strategi untuk memposisikan modernitas sebagai praktik-praktik atau kekuataan mengembalikan dan mengondisikan Yogyakarta sebagai sesuatu yang khas Yogya. Hal itu paling tidak terkait dalam tiga praktik sosial.
Hal pertama yang paling mungkin dilakukan adalah dengan merevisi dan melakukan hal-hal simbolik, baik verbal, aktivitas-kegiatan, maupun hal penampakan fisik terhadap sesuatu yang selama ini dikenali sebagai simbol-simbol penting budaya Yogya. Hal ini sebenarnya sudah cukup banyak dilakukan, tetapi belum, untuk mengatakan tidak, berjalan maksimal.
Artinya, yang diberi identitas ke Yogyakartaan adalah penampakan fisik kotanya, atau daerahnya, bukan orangnya, bukan warganya. Subjek adalah subjek partisipan bebas yang boleh siapa saja untuk dan demi Yoghyakarta. Sebagai warga merdeka, dia adalah manusia bebas dan mandiri, yang berproses dan bekerja sama membangun identtas kota atau daerahnya masing-masing.
Hal itu bukan saja terkait dengan kebijakan dan peraturan, baik pada tataran provinsi atau kabupaten/kota, tetapi sekaligus tantangan bagi para partisipan Yogya untuk melakukan banyak hal terkait dengan praksis ilmu dan pengetahuan budaya Jawa (untuk mengatakan Yogya), dengan melakukan berbagai pengembangan dan sintesis terhadap ilmu dan pengetahuan modoern, sehingga kelak masyarakat Yogya melahirkan sesuatu yang kondusif terhadap kehidupan berbudaya di Yogyakarta.
Kedua, dengan demikian, perlunya melakukan rasionalisasi terhadap sejarah dan mitos-mitos yang telah menjadi aksioma dan stigma, bahwa seolah hal-hal tertentu telah mengalami kebekuan dan kebakuan yang “tidak boleh diganggu”. Hal ini menyebabkan kemandegan daya pikir, daya kreatif, dan daya juang masyarakat dan partisipannya.
Ketiga, perlunya kerja sama dan partisipasi aktif seluruh warga dan partisipan, untuk memimimalisasi secara bersama-sama sikap-sikap idelogis dan merasa benar sendiri, sehingga memunculkan sikap dan praktik intoleran. Tentu prinsip kebebasan (kemerdekaan) dan kesetaraan menjadi pegangan dan sandaran bersama. Akan tetapi, dapat ditempatkan dalam dan sebagai satu kebebasan, kemerdekaan, dan kesetaraan dalam menjunjung kerja dan berkarya bersama.
Jika ketiga hal tersebut dapat dilakukan, tidak mustahil Yogyakarta akan menjadi model bagaimana melakukan perjalanan dan berbagai proses hidup ke depan. Modernitas, keadilan sosial, dan kemakmuran tidak lagi menjadi tujuan, tetapi lebih sebagai cara kesetaraan bersama untuk berkarya, bekerja, dan melakukan banyak hal kreatif menyongsong masa depan. Bukan masa depan yang indah, tetapi secara indah menyongsong masa depan.
***
*) Dr. Aprinus Salam, M. Hum., Sastrawan kelahiran Riau, 7 April 1965. Dosen FIB UGM, Kepala Pusat Studi Kebudayaan UGM sejak 2013, Anggota Senat Akademik UGM 2012-2016, Konsultan Ahli Dinas Kebudayaan DIY (2013-2016). Pendidikan S1, Bahasa dan Sastra Indonesia FIB UGM (Lulus 1992), S2 Program Studi Sastra Pasca Sarjana UGM (Lulus 2002, salah satu wisudawan terbaik), S3 Program Studi Sastra (Program Studi Ilmu-Ilmu Humaniora, Pascasarjana FIB UGM, lulus 2010). Dst…