Menyongsong Peringatan Kemerdekaan Indonesia tahun 2020


Djoko Saryono *

Saya merasa, dalam tahun-tahun berderap dan bulan-bulan lewat, peringatan kemerdekaan Indonesia senantiasa menonjolkan dan didominasi paras maskulinitas, menenggelamkan paras feminitas. Paras kelelakian seperti menggusur paras keperempuanan. Padahal, kita tahu, kesatuan atau kesenyawaan feminitas dan maskulinitas itulah yang melahirkan kemerdekaan Indonesia — memberikan potret kekamilan kemerdekaan Indonesia. Saat-saat menjelang kelahiran republik Indonesia posisi dan peran perempuan begitu luar biasa. Meskipun sejarah tak mengenal pangandaian, tetapi saya bisa berkata: tanpa posisi dan peran tangguh dan kukuh perempuan, kemerdekaan republik Indonesia mungkin akan lain ceritanya.

Sebab itu, menyongsong peringatan kemerdekaan Indonesia tahun 2020 di tengah karantina pandemi COVID-19 sekarang, saya ingin mengingat dan mengedepankan posisi dan peran perempuan ketika republik kita lahir. Untuk itu, saya guratkan puisi sebagai penghormatan kepada tiga perempuan yang luar biasa posisi dan peran mereka pada satu hari menjelang kemerdekaan, pada hari pernyataan kemerdekaan, dan beberapa waktu berselang sesudah pernyataan kemerdekaan Indonesia. Berikut guratan puisinya:

AMBANG KEMERDEKAAN

/1/
Perempuan itu gemetar, tapi sedar, juga tak gentar. “Bukankah ini malam mulia!”, dia berujar. Jarum tajam di jemari kanan, benang kuat di jemari kiri. Dua sobek kain di dekapan hati. “Segera kusatukan bagimu negeri!”, dia meruncingkan niat, sembari menyulam kain ditaburi munajat.

“Meski sederhana sudah kusulam bendera, bermakna luar biasa, gentarkan sesiapa!”, ujarnya kepada lelaki perwira yang kenyang hidup di jantung mara bahaya. Dan lelaki itu berjanji memekikkan: merdeka! Esok, ketika angin mengibaskan bendara, di langit Indonesia yang dinaungi bulan mulia.

/2/
Larut kian berbalut doa langit sengaja menyimpan rahasia. Bulan mulia menapakkan kaki menuju waktu muskil diduga. Lelaki itu berada di simpang keyakinan dada: bisakah kata Maeda dipercaya? Beberapa lelaki muda menghunus maklumat: merdeka!

MOMENTUM BANGSA

/1/
masihlah ia belia
jelita, anggun, dan cendekia
kerudungnya berserasi kebaya
keberaniannya setebal semesta
dalam nafas dilayari doa-doa
dalam gemetar kedua hasta
dijahitnya carik kain dua warna
dengan jari-jemari dituntun sabda
malam gentar serasa hamil tua
seperti menjelang kelahiran tiba
“ini malam Jumat mulia
harus lahir sebuah bangsa”,
ucapnya menatap satu bendera
yang dijahit sebelum subuh tiba

/2/
masihlah ia muda
tegas, berani, dan cendekia
nyalinya tak ada tandingnya
maka dibentangnya sang saka
saat pagi dimatangkan suasana
oleh detik-detik melangkah bijaksana
dalam upaca sederhana
di Pegangsaan Timur 56 Jakarta
dwitunggal takzim menghormat
orang-orang mendaras selamat

Kemerdekaan adalah ibu kebebasan
Kemerdekaan itu bunga indah rupa
merusaknya membuang harum jiwa

MEMPELAI KEMERDEKAAN

[Titimangsa sebelum 18 november 1945]
Lelaki pendiam yang pemberani itu, konon pernah berujar pada suatu waktu. “Selama bersama buku, kalian boleh memenjarakanku. Di mana saja tak soal buatku, karena dengan buku, aku merasa bebas dari belenggu”. Maka lelaki santun yang tenang itu, memaklumkan ikrar menyentak kalbu. “Tak bakal kunikahi jodoh perempuanku, sebelum merdeka bangsaku”. Maka berjuta huruf bersepadu menyerbu. Para kolonialis cemas, lalu mencari kubu.

[Titimangsa saat 18 november 1945]
Di Megamendung kesejukan selalu mencinta, di sebuah villa yang amat asri suasana. Lelaki rapi yang membenci kerakusan manusia, bermuka-muka bersama seorang dara jelita. “Hai Cinta, kini kunikahi kau dengan segenap jiwa, dan kuserahkan kekasihku paling utama. Bagimu semata. Buku bertajuk Alam Pikiran Yunani yang kusurat saat diterungku Belanda, di Digul yang jauh dan menjazadkan siapa saja, sebagai mahar perkawinan kita”. Sang dara jelita cuma mengaruskan diam beruntai sejuta bahasa.

[Titimangsa setelah 18 november 1945]
Lelaki berpantang korupsi yang sederhana itu, berlayar mengarungi luas waktu, bersama pasangan abadi jiwa. “Lihatlah huruf-huruf bercahaya membawa kita, kepada jiwa bahagia, kendati aku tak pegang kuasa!”, ujarnya sembari membelai lembut kekasih kehidupan dunia: juga sesudahnya. Lalu keduanya berjalan meniti huruf-huruf yang mencipta jalan bahagia: “Hai…kita berjalan menuju sabda-sabda baka ternyata, adinda!”, pekik tertahannya. “Hai….kita sedang menuju hulu segala bahagia!”, sambut dara jelita. Mereka memasuki rumah literasi: kesadaran atas eksistensi.
***

Puisi Ambang Kemerdekaan saya dedikasikan untuk menghormati peran luar biasa Ibu Fatmawati yang sudah membuat bendera pusaka — puisi Momentum Bangsa saya dedikasikan untuk menghormati Ibu SK Trimurti yang telah mengibarkan bendera pusaka saat proklamasi kemerdekaan — dan puisi Mempelai Kemerdekaan yang dedikasikan buat Ibu Rachmie Hatta yang lapang dada dijodohkan dengan Bung Hatta oleh Bung Karno selang beberapa saat setelah pernyataan kemerdekaan. Tentu saja, banyak perempuan lain telah ikut berperan penting dalam usaha pemerdekaan Indonesia. Tiga perempuan tersebut hanyalah simbol yang mewakili feminitas, keperempuanan, kemerdekaan Indonesia.

Tahniah Indonesia! Tahniah seluruh warga bangsa Indonesia. Takzimku kepada perempuan Indonesia!

______________
*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd adalah Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga Internasional.

Leave a Reply

Bahasa ยป