Djoko Saryono *
Falsafah dalam lakon-lakon atau cerita wayang Jawa bertumpu pada rasa (rasa sejati) yang dipercayai di dalamnya sudah terkandung akal budi. Pasalnya, falsafah Jawa dalam wayang Jawa lebih condong sebagai panduan praksis hidup [phylosophy of being] daripada sebagai olah nalar yang intelektual semata-mata [phylosophy of doing]. Falsafah Jawa sebagai filsafat Timur memang mau menawarkan jalan mencapai tujuan hidup manusia: jalan keselamatan dan kesempurnaan manusia, bukan menjawab persoalan-persoalan teknologis di dalam masyarakat modern.
Itu sebabnya, falsafah Jawa menawarkan suatu pedoman hidup, bukan menjawab persoalan hidup. Falsafah Jawa dicirikan oleh berpikir menggalih yang totalistis-holistis, bukan berpikir radikal yang analitis seperti filsafat Barat. Berpikir menggalih ini dimungkinkan oleh rasa sejati atau rasa budi, sedangkan berpikir radikal dimungkinkan oleh akal pikir. Tak seperti filsafat Barat yang membagi-bagi atau memilah-milah secara tegas antara yang rasional dan bukan rasional, di sini falsafah Jawa tidak membagi-bagi atau memilah-milah secara tegas mana yang rasional dan mana yang bukan rasional.
Sebab itu, falsafah Jawa tidak hanya berbicara perkara yang bener (benar secara esensial-substantif-ontologis yang rasional), tetapi juga berbicara perkara yang pener atau leres (tepat-benar dalam praksis kontekstual yang sekaligus rasional dan bukan rasional). Dalam lakon wayang, bener dan pener merupakan kesatuan utuh yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Segala sesuatu tidak hanya ditafsirkan dan dinilai berdasarkan benarnya — bener-nya —, tetapi juga berdasarkan tepatnya — pener-nya — karena sesuatu yang bener belum tentu pener dan sebaliknya. Sesuatu yang bener dan pener sekaligus disebut (wis) pas, (g/m)athuk, cocog, trep, atau mathis (sudah pas dan cocok) oleh manusia Jawa.
Tak mengherankan, ke-mathuk-kan atau ke-ganthuk-an yang berisi ke-bener-an dan ke-pener-an menjadi kaidah filosofis segala sesuatu. Misalnya,formula (yang secara tersurat tampak paradoksal) ngono yo ngono ning ojo ngono, luhur datan ngungkul-ungkuli an-dap tan kena inungkulan, kang kena iwake aja kongsi butek banyune, merupakan ekspresi kaidah ke-bener-an yang esensial (yaitu frasa ngono yo ngono, luhur datan ngungkul-ungkuli, kang kena iwake) dan kaidah ke-pener-an yang kontekstual (yaitu ning mbok ojo ngono, andap tan kena inungkulan, aja kongsi butek banyune).
Bisa dikatakan bahwa falsafah Jawa merupakan nilai yang bersangkutan dengan keterikatan pada kebenaran dan ketepatan (ke-bener-an dan ke-pener-an) segala sesuatu yang diperlukan oleh manusia Jawa untuk mencapai derajat keselamatan dan kesempurnaan hidup dan kehidupan. Segala sesuatu di sini dapat berupa seluruh fenomena diri manusia maupun alam semesta, misalnya pikiran, pandangan, ucapan, dan perilaku manusia atau keadaan dan sifat alam semesta.
Bagi manusia Jawa, segala sesuatu yang sudah benar dan tepat atau sudah sesuai dengan ukuran kebenaran dan ketepatan adalah sesuatu yang mapan, selaras, dan bersama (wis mapan, wis laras, wis mathon, wis gathuk, wis jumbuh, lan wis jodho). Sesuatu yang belum dan atau tidak mapan, tidak selaras, dan tidak bersama dipandang sebagai sesuatu yang belum dan atau tidak benar dan tidak tepat. Sebagai contoh, sikap-perilaku orang kaya yang kikir dan loba dipandang tidak benar dan tidak tepat karena menggambarkan atau memancarkan ketidakmapanan, ketidakselarasan, dan ketidakbersamaan.
Selain itu, hal tersebut juga melanggar kaidah normatif ngono yo ngono ning mbok ojo ngono yang selanjutnya dapat mengganggu kemapanan, keselarasan, dan kebersamaan. Meskipun demikian, menurut budaya Jawa, menjadi kaya dianggap benar. Tetapi, jika kemudian menjadi kikir dan loba dianggap tidak tepat, (ng)gak pener; yang tepat, pener, adalah menjadi dermawan dan baik hati. Hal terakhir ini sesuai dengan kaidah normatif ngono yo ngono ning mbok ojo ngono yang selanjutnya akan dapat menjaga dan melindungi kemapanan, keselarasan, dan kebersamaan.
Dari situlah dapat dikatakan bahwa kebenaran dan ketepatan menurut pandangan falsafi Jawa adalah kemapanan, keselarasan, dan kebersamaan. Lebih jauh, kemapanan, keselarasan, dan kebersamaan ini akan memungkinkan dicapainya keselamatan dan kesempurnaan hidup dan kehidupan manusia Jawa. Sebab itu, boleh dikatakan, intisari falsafah terpusat pada nilai kemapanan, keselarasan, dan kebersamaan.
***
______________
*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd adalah Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga Internasional.