Ratih Kumala *
Media Indonesia, 24 Agu 2014
TAK ada yang mencintai laut melebihi laki-laki itu. Hari itu, seperti kemarin-kemarin juga, Gede duduk di tepi laut, membiarkan tubuhnya diterpa sinar matahari, hingga mengubah kulitnya menjadi kecokelatan, rambut hitamnya menjadi kemerahan. Sepasang kaca mata hitam yang mencantol di hidungnya, membuat ia lebih nyaman memandang jauh ke samudra. Ia sedang menunggu ombak. Jika ombak yang dinantinya tak datang selama beberapa saat, ia akan melinting ganja, dan setengah jam sekali ia akan terus-menerus mengisapnya hingga kepalanya serasa berputar. Putaran di kepalanya itu mengingatkan ia pada wave tube. Saat ombak bergulung-gulung dan ia berselancar mengejar pipa ombak yang memanjang. Sering, jika sudah terlalu banyak ganja, matanya akan memerah. Kacamatanya akan berfungsi menutupi mata merah itu. Ia akan terlihat setengah mengantuk, tapi penglihatannya justru makin jelas dan tajam.
Ya, dia butuh penglihatan yang semakin tajam, sebab ia sedang mencari pacarnya yang tinggal di laut. Jika ada yang bertanya, kenapa ia duduk di tepi laut seperti itu, ia akan menjawab, “Aku sedang menunggu pacarku, si Putri Duyung.”
Gede sudah bertahun-tahun menjadi pengejar ombak. Ia sudah ke Batu Karas (Pangandaran), Bali, Nias, G-Land Banyuwangi, Australia, hingga Hawaii. Semua itu dilakukannya demi berselancar.
Ia ingat kapan pertama kali mengenal papan selancar. Ketika itu usianya 6 tahun. Suatu hari, seorang bule Australia datang untuk berselancar. Gede dan teman-teman kecilnya mengamati lelaki itu dari kejauhan dan mengaguminya. Hingga tiba-tiba lelaki itu tergulung ombak dan menghilang. Semua anak, termasuk Gede, khawatir melihat peristiwa itu. Tak lama, lidah ombak membawa lelaki itu ke darat, tepat ketika mereka semua berpikir ia telah musnah ditelan samudra. Semua anak, termasuk Gede, berbondong-bondong mendekati tubuh lelaki itu. Sebagian yakin ia pasti sudah mati. Ketika akhirnya laki-laki itu bergerak dan mengeluarkan sisa air asin dan pasir yang tertelan, semua takjub. Lelaki bule itu bangkit, dan bugar kembali, meski papannya terbelah dua. Sebagian patahannya entah ke mana. Sebagian lagi masih terikat di kakinya. Bagi Gede, ia adalah sosok superhero. Lelaki yang tak takut mati, pikir Gede. Keesokannya ia kembali menerjang ombak dengan papan selancar yang lain, yang masih utuh. Jika kejadian kemarin terjadi pada Gede, tentu ia takkan lagi mau mendekati laut, batin Gede. Tapi tidak demikian dengan bule itu, ia manusia yang sepertinya lupa akan rasa takut, terutama takut mati.
Sejak itu, selama bule tersebut tinggal di kampungnya, Gede memastikan akan menemuinya setiap hari. Dimulai dari menawarkan jualan apa pun yang dia punya, lalu mulai menunjukkan rasa penasaran pada papan selancar milik lelaki itu. Hingga akhirnya ia mengajari Gede berselancar.
***
Gede tumbuh menjadi salah satu peselancar terbaik Indonesia, ketika ia ditemukan oleh seorang jurnalis majalah olahraga ekstrem, Tim, yang tengah meliput satu acara kompetisi selancar. Bagi Tim, Gede adalah peselancar yang berbeda dari peselancar lain. Para peselancar setiap kali maju menuju ombak terlihat seperti menantang maut. Tapi tidak begitu bagi Gede, ia menuju ombak seperti pulang ke rumah.
“Itu karena aku ikan,” ujar Gede sekenanya.
Momen favoritnya saat berselancar adalah ketika senja, laut menghadiahinya ombak yang luar biasa, dan ketika ia membuka hadiah itu, ditemukannya sebuah pipa ombak mengarah ke Barat, tempat natahari akan tenggelam. Itulah kedamaian yang absolut, yang cuma terjadi beberapa menit, yang akan segera hilang dirampas kembali oleh samudra. Semua ombak yang dipijak oleh para peselancar, memang pinjaman belaka.
***
Tim sudah mengabarkan bahwa Gede akan berselancar di Australia dalam sebuah kompetisi. Gede tiba di Perth, Australia Barat. Di sinilah ia akan mengejar wave tube. Oktober memang bulan yang sempurna untuk berselancar. Air membiru dan ombak bergulung seolah mengundang semua peselancar untuk melaju di atas papannya. Dari dulu hingga kini, pesan Tim cuma satu untuk Gede, “Jangan mati.” Gede mengangguk, lalu menambahkan kalau ia bisa saja mati bukan karena berselancar, tapi karena ditabrak bus di jalan. Tim tentu saja tak menyukai kelakar itu. Dia lebih suka Gede baik-baik saja dan tidak mati.
“Kau mungkin tak mati karena ditabrak bus, tapi bisa saja kau dimakan hiu putih.” Ya, hiu putih pemangsa manusia memang sedang santer diberitakan. Foto-foto mengerikan para korban beredar luas di media. Hiu putih menyukai daging manusia.
Hari itu cerah. Ratusan orang berkumpul di pantai Perth. Kebanyakan dari mereka memakai kacamata hitam, binokular, dan sun cream. Kompetisi selancar dimulai. Gede berlari ‘pulang’ menuju ombak. Mulai mendayung di atas papannya, memburu ombak. Ketika ombak yang dicarinya mendekat, Gede segera berdiri di atas papan dan berusaha seimbang agar tubuhnya tidak jatuh. Kini, ia hanya perlu mempertahankan posisinya sambil mencari wave tube kesukaannya.
Segulung ombak datang, Gede kenal betul cirri-ciri ombak yang bakal menjadi wave tube. Ini dia! Pikirnya. Ia takkan menyia-nyiakannya, diincarnya ombak itu, dan dengan kelihaiannya, ia berhasil masuk ke ombak itu. Ombak itu seketika membentuk terowongan. Gemuruh air didengarnya, seperti gema sekumpulan serangga kawin. Ia masuk ke dalam gua air, wave tube di depannya, seolah menyambutnya pulang dan bilang, “Selamat datang!” Gede terus mempertahankan kakinya. Sejenak ia lupa ada dunia di luar sana, ia telah ‘pulang’.
Disentuhnya air yang membentuk dinding lorong itu, tiba-tiba dari dalam air itu, samar-samar terlihat sesosok makhluk. Gede memicingkan matanya, mencari jelas apa itu. Makhluk itu mendekat, serupa ikan, tapi berwajah manusia. Rambutnya gelap, tapi berkilau. Matanya yang bulat memandang Gede sekilas. Gede tak percaya pandangan matanya. Putri Duyung? Tangan Gede berusaha masuk menyentuh makhluk itu. Makhluk itu kaget, dengan sekali kibasan tangannya, Putri Duyung menghindar. Kelincahannya luar biasa, tak pernah Gede lihat pada ikan mana pun, Putri Duyung berbalik dan sekejap kemudian menghilang ke dalam birunya laut.
“Hei, tunggu!” teriak Gede.
Keseimbangan Gede goyah, ia lupa tengah berdiri di atas papan selancar. Pijakannya terlepas, dan ia terjengkang. Papan selancar berbalik dan seperti bumerang, papan itu menyerangnya, mendarat tepat di kepala Gede. Ia limbung karena kerasnya hantaman. Hal terakhir yang dilihatnya adalah biru. Warna air laut.
***
Hal pertama yang diingat Gede setelah siuman di kamar rumah sakit ialah sosok gadis yang ditemuinya di laut. Wajahnya, matanya yang bulat dan tajam. Rambutnya yang gelap, tapi berkilau. Kulitnya yang pucat, jemari tangannya yang berselaput, juga buah dadanya. Pinggangnya berkilau karena sisik, dan ekornya yang jenjang dan melambai. Seolah lambaian tangan ketika ia berbalik menghindar, ditelan birunya laut.
Tim muncul dari luar, gembira sekali ketika mendapati Gede siuman.
“Are you okay, Man?”
Gede linglung, ia minta minum. Tenggorokannya kering sekali. Tim menyodorkan segelas air. Sambil melihat Gede minum, Tim mengungkapkan luapan kegembiraannya.
“I’m so glad you were not eaten by the great white shark.” Tim senang karena Gede tak dimangsa hiu putih.
“Shark?” Gede tak paham. Ia tak merasa bertemu hiu putih.
Lalu, Tim membuka smartphone-nya dan segera menemukan satu berita yang sedang ramai dibicarakan. Ia menunjukkan berita itu pada Gede. Ia membaca berita itu, lengkap dengan foto yang dilingkari, foto hiu putih yang berenang bersebelahan dengan Gede saat berselancar.
Menurut Tim, agaknya Gede kaget melihat hiu putih itu sehingga ia terjengkang dari papan. Tak apa-apa Gede kalah dalam kompetisi, yang penting nyawanya selamat, dan tubuhnya utuh. Beruntung hiu itu kemudian berenang menjauh.
“No, man… it’s not shark, but a mermaid.” Bukan, yang kulihat bukan hiu putih, melainkan Putri Duyung.
Tim tertegun dengan penjelasan Gede, “It’s a shark. See that?” Tim menunjuk bagian foto yang dilingkari, lalu memperbesar gambar di layar telepon pintarnya. Terlihatlah seekor hiu putih yang besar dengan sirip menjulang dan geligi tajam seperti gergaji. Gede tak percaya apa yang dilihatnya di foto itu.
***
Foto tak bisa berbohong. Itu bukti yang tak terbantahkan, Gede pun tutup mulut soal Putri Duyung. Tak lama kemudian, Gede memutuskan untuk berhenti mengikuti kompetisi. Dengan uangnya, Gede membuka usaha penginapan di pinggir pantai di kampungnya, bagi para peselancar dari seluruh penjuru negeri.
Kini, ia lebih suka berdiam di bibir pantai, sambil mengisap ganja hingga matanya merah dan menyipit, dan penglihatannya jadi demikian tajam, terus ia pandangi laut. Jika ada yang bertanya, sedang apa ia di situ, “Aku sedang menunggu pacarku, si Putri Duyung.” Jawabnya, selalu.
Selain itu, Gede mengampanyekan seruan untuk tidak membunuh the great white shark meski kegiatan itu menuai banyak pertentangan. Ketika pada suatu hari Gede diwawancarai, kenapa ia malah ingin melindungi hiu putih, padahal ia hampir menjadi korbannya?
“Saya sudah melihat dari dekat. Mereka adalah makhluk yang cantik,” jelasnya.
***
________________________
*) Ratih Kumala, lahir di Jakarta, 1980. Menulis novel, cerpen, dan skenario. Novel terkininya, Gadis Kretek (2012).
https://lakonhidup.com/2014/08/24/pacar-putri-duyung/