F. Rahardi *
Kompas, 18 Mar 2006
Majapahit adalah negara besar, lebih luas dari NKRI. Armada lautnya kuat. Rakyatnya makmur. Tak ada kabar busung lapar. Perempuan Bali bebas ke pasar telanjang dada tanpa takut kena razia. Yang menarik, para pemeluk bermacam agama bisa hidup rukun.
Pelajaran sejarah hanya menyebut Majapahit sebagai kerajaan Hindu. Padahal, saat itu masyarakat Majapahit sudah amat plural. Hindu sendiri terdiri dari tiga agama besar. Agama Brahma, agama Wisnu, dan agama Syiwa. Lalu ada Buddha, Tantrayana, Syiwa Buddha dan Buddha Bhairawa. Semua mendapat tempat di Majapahit tanpa diskriminasi.
Penganut animisme juga banyak. Oleh pemeluk agama lain, mereka tidak dianggap kafir sebab inilah agama asli warisan nenek moyang. Kerajaan besar ini amat toleran dengan keberagamaan karena belajar dari kekonyolan kerajaan terdahulu. Sebelum era Majapahit, agama sering dimanfaatkan untuk saling bunuh guna merebut kekuasaan. Sebab, saat itu belum ada KPU, pemilu, dan pilkada. Untuk bisa berkuasa, orang harus tega membunuh lawan politik.
Puncak saling bunuh terjadi pada zaman Singasari. Ken Arok membunuh bosnya, Akuwu Tumapel Tunggul Ametung, lalu mengawini jandanya, Ken Dedes. Kemudian ia mengangkat diri sebagai akuwu, sebelum menjadi Raja Singasari dan akhirnya terbunuh. Saling bunuh di antara elite politik pun berlanjut. Alasannya amat mistis, yakni adanya kutukan Empu Gandring si pembuat keris. Para pengikut agama Syiwa, Wisnu, Brahma, Buddha, dan Tantrayana ikut saling membunuh demi kekuasaan duniawi.
Tamu Rahib Katolik
Sebelumnya, perseteruan sengit juga pernah terjadi antara kerajaan Sumatera yang Buddha dan kerajaan Jawa yang Hindu. Kerajaan Buddha menang dansempat beberapa generasi menguasai Jawa. Para penganut Hindu menyingkir ke Jawa Timur. Inilah yang membuat Buddha berkembang di Jawa. Pelajaran dari kerajaan ini membuat Majapahit menjadi negara besar, terbuka dan toleran terhadap semua ideologi, bahkan terhadap agama yang amat baru dan aneh.
Di era Majapahit, Eropa sudah terbagi menjadi berbagai kerajaan, sebagian masih eksis hingga kini. Agama Katolik Roma yang berumur 14 abad sedang mengalami puncak kejayaan. Islam yang lahir abad ke-7 juga tumbuh pesat. Kemaharajaan Ottoman menunjukkan hegemoninya di Timur Tengah, Afrika Utara, bahkan sebagian Eropa. Tarekat Rahib Katolik banyak berdiri. Saat itulah seorang rahib sempat berkunjung ke Majapahit.
Orang bule dengan agama baru yang aneh ini di Majapahit diterima dengan baik. Setelah kunjungan selesai, ia dibiarkan pergi. Saat itu, selain menguasai sebagian Eropa, pengaruh Islam juga melebar sampai India, daratan China, Semenanjung Malaya, dan Aceh. Setelah masyarakatnya menganut Islam, Kerajaan Pasai tumbuh sebagai kekuatan alternatif di Nusantara. Pasai menjadi makmur dan kuat. Mereka lalu tidak mau setor upeti ke pusat.
Bagi Majapahit, tidak setor upeti bukan urusan agama. Ini murni soal kenegaraan dan fulus. Pasai perlu diberi pelajaran tanpa membawa-bawa agama. Armada laut dikirim. Dengan mudah Pasai ditaklukkan. Lalu, seperti biasa, harta rampasan dibawa pulang, termasuk perempuan, para putri Pasai. Namun, perempuan hasil rampasan ini tidak diusik sedikit pun, apalagi direndahkan martabatnya.
Agama baru
Para perempuan rampasan ini tetap dimuliakan seperti layaknya putri kerajaan. Mereka boleh memboyong penerjemah, sekretaris, pengawal, dayang-dayang, perias wajah, penata busana, dan lainnya, yang semuanya Muslim. Pemerintah dan rakyat Majapahit amat menghormati agama baru ini. Mereka diberi permukiman, dipersilakan membangun tempat ibadah tanpa dipersulit dengan izin ini-itu, yang ujung- ujungnya duit.
Komunitas Muslim ini bertambah besar bukan karena beranak-pinak, tetapi karena banyak pendatang baru. Para pedagang Muslim dari Pasai, Gujarat, China, dan Arab banyak yang menetap di pesisir utara Jawa. Komunitas Islam ini makin kuat. Sementara Majapahit makin loyo, pudar pamornya. Penyebabnya, para penguasanya sudah terlalu mapan dalam berperilaku korup.
Entah siapa yang pertama menyebar isu, sekarang ini seakan sedang ada perseteruan antara pemeluk Islam dan Kristen. Di tingkat dunia, perseteruan ini konon diarsiteki sekaligus ditukangi tentara AS. Di Indonesia, tidak jelas siapa arsiteknya. Ambon dan Poso adalah korban desain pembangunan medan perang Islam-Kristen. Persis seperti saat kerajaan Jawa dan Sumatera berebut lahan dagang, tetapi dibungkus isu agama.
Juga sama dengan Perang Salib Nasrani-Islam. Dalihnya merebut Kota Suci Jerusalem. Padahal, yang diincar adalah jalur perdagangan rempah-rempah, gula, sutra, dan keramik. Jalur dagang yang semula dikuasai Kristen ini telah direbut bangsa Seljuk yang Muslim. Kini perseteruan tingkat tinggi di sekitar ekonomi makro di negara maju dan badan dunia justru terjadi antara Katolik dan Protestan. Bukan antara Kristen-Islam. Tetapi perseteruan ini nyaris tak terdengar.
Gerakan spiritual
Perseteruan Islam dengan Islam juga terjadi dalam sosok Syiah-Sunni. Di Indonesia antara Ahmadiyah yang ingin disebut Islam dan umat Islam yang tidak ingin Ahmadiyah menyebut diri Islam. Padahal, dalam gerakan Karismatik, sekat antara Kristen dan Katolik bisa ditiadakan. Dalam Susila Budi Darma (Subud), Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Kejawen bisa bersatu.
Memang agama baru dengan sosok seperti Hindu, Buddha, Kristen, dan Islam tipis kemungkinannya untuk muncul di zaman ini. Namun, fenomena Karismatik dan Subud bisa memungkinkan adanya gerakan spiritual lintas agama. Gerakan ini berpotensi lebih mendekatkan, bahkan menyatukan, individu kepada Sang Khalik. Di sana pluralisme menjadi sesuatu yang tidak perlu dipermasalahkan lagi.
Gerakan spiritual seperti ini bisa menjadi pesaing agama konvensional, bahkan mampu membuat pemerintah yang tertutup dan otoriter menjadi gerah. Komunitas demikian mirip Islam yang dulu datang ke Majapahit, dan pengikutnya makin banyak. Dan tahu-tahu sebuah kerajaan baru bernama Demak berdiri kokoh. Majapahit pun runtuh.
***
F. Rahardi, Penyair; Wartawan