W.S. Rendra *
Gatra 11 Januari 1997
Menurut Webster’s Collegiate Dictionary, kata “modern” berasal dari kata “modus” yang berarti “menurut takaran (yang diperlukan)”. Sehingga dengan begitu rumusan takarannya tidak pasti, tergantung hubungannya dengan persoalan apa atau kebutuhan apa. Tetapi bagi saya, justru sifat itu saya sebut “luwes”. Tidak terpatok pada takaran suatu kurun masa, ataupun suatu negeri, atau tempat.
Karena itu, waktu orang-orang di Indoensia mulai banyak yang berbicara mengenai gerakan posmo atau post-modernism, untuk tidak sekadar menjadi latah, orang harus menyadari bahwa takaran modern yang dimaksud harus berdasarkan keadaan dan kebutuhan Indonesia. Posmo sendiri, sebagai suatu gerakan, tidak mempunyai rumusan ideologi yang jelas. Dan memang tidak perlu. Posmo hanyalah suatu pengembangan atau suatu koreksi kreatif terhadap teori-teori modern yang muncul di Eropa sejak akhir abad ke-19 sampai 1940-an.
Tokoh posmo dari Prancis, J.F. Lyotard, berkata, “peristiwa posmo muncul dari pengakuan secara luas, meskipun terlambat, terhadap modernisme di Eropa dengan aspirasi avant-garde-nya sebagai tradisi abad ke-20 yang dominan. Jadi memberi tempat kepada avant-garde (dari akhir abad ke-19 dan penghujung abad ke-20) pada tempat yang sentral tetapi disertai tuntutan untuk lebih dikembang jauh melewati batasan awalnya”. Inilah satu sikap pewaris budaya yang kreatif. Sehingga dengan begitu daya hidup bisa tetap terbela dan terjaga dengan segenap dinamika sikap kritis dan rasa kewajaran.
Di dalam praktek kreativitasnya, kaum posmo ternyata tidak menolak modernisme, melainkan sekadar mempertimbangkannya kembali untuk dijadikan alat membangun kehidupan yang lebih baik dengan sikap eklektif yang kreatif.
Di Eropa, yang dianggap zaman modern adalah zaman mesin uap sampai dengan zaman cybernetic. Sesudah itu adalah zaman pos-industrial society (istilah dari Daniel Bell, seorang sosiolog Amerika). Sedangkan yang mereka anggap zaman modern di dunia kesenian (selalu kurang lebih) adalah zaman sesudah ekspresionisme abstrak; dan di dunia arsitektur adalah zaman sesudah Mies van der Rohe; serta dalam kesusastraan (sekali lagi selalu kurang lebih) adalah zaman sesudah James Joyce.
Maka, berdasarkan pengertian yang relatif mengenai takaran modernisme itu, kita pun berhak berpendapat kapan kurun masa modernisme itu di Indonesia, dan apa yang dianggap modern oleh bangsa Indonesia. Yang semuanya itu tentu saja berdasarkan kenyataan dari kebutuhan hidup bangsa kita.
Kekuatan dari energi teknologi dan industri Barat akan terus berkembang dengan dahsyat dan akan melimpah ke teritori lain secara global, tanpa bisa dicegah lagi. Ini adalah kenyataan semacam hukum entropy dalam ilmu alam. Fokus dari entropy industri ini adalah aspek teknologi yang tak akan mengindahkan aspek-aspek lainnya, seperti persoalan hayat, ekonomi, ekologi, politik budaya, dan jiwa.
Gerakan posmo di Barat mengantisipasi ekses kedahsyatan teknologi yang bakal melanda aspek-aspek kehidupan yang lain itu. Gerakan hippies, gerakan greens, gerakan pembelaan hak-hak asasi manusia, emansipasi perempuan dan anak-anak, emansipasi golongan-golongan minoritas, anjuran-anjuran makanan makrobiotik, gaya hidup back to nature, dan sebagainya adalah kesadaran berantisipasi mereka. Bahkan, di negara-negara adikuasa, gerakan-gerakan itu sudah menjadi reaksi terhadap ekses yang benar-benar sedang terjadi.
Globalisasi sudah jelas akan melanda kita dengan segenap eksesnya. Jadi kita pun membutuhkan kesadaran untuk berantisipasi terhadap ekses-ekses itu. Maka apa yang “modern” bagi kita adalah “menjawab takaran kebutuhan kita terhadap ekses dari globalisasi industri dan teknologi”. Apa yang bagi dunia Barat posmo, bagi kita adalah mo atau modernitas sendiri. Sebab, di dalam kasus globalisasi itu, kita tidak melimpah, tetapi terlempahi.
Maka agak lucu kalau kita asal sok berposmo, sebab kita belum selesai ber-mo (berproses modern). Bagi kita, memperjuangkan kemanusiaan yang adil dan beradab, keadilan sosial, kedaulatan rakyat, gerakan greens, memperhatikan pemerataan wewenang politik dan ekonomi ke daerah-daerah, anjuran-anjuran untuk makanan makrobiotik, gaya hidup yang sadar alam, dan seterusnya itu adalah gerakan modern (mo) menurut takaran kebutuhan kita.
Itu semua adalah gerakan yang dirintis, oleh R.A. Kartini, Dewi Sartika, Moh. Sjafei, H.O.S. Tjokroaminoto, Wahidin Sudirohusodo, Mohammad Hatta, Achmad Dahlan, Sutan Sjahrir, Bung Karno, para pelopor Sumpah Pemuda, para seniman Pujangga Baru, para seniman Angkatan ’45, para pencipta Pancasila, para pencipta Saptamarga, Soedjatmoko, Prof. Sarbini Sumawinata, Mohammad Natsir, dan daftar ini masih bisa panjang lagi.
Pada hakekatnya, semuanya adalah para pejuang “Daulat Manusia” sebagai imbangan dari “Daulat Alam” yang tradisional, dan lawan dari “Daulat Tuanku” yang tradisonal dan konvensional. Tetapi usaha mereka itu belum menjadi realitas yang tentas. Interupsi dari naluri tradisi Mataram yang feodal, agraris, dan fasistis masih menghalangi.
Daulat Manusia dan Daukat Alam tidak mendapat perhatian yang memadai dengan takaran kebutuhan. Sedangkan Daulat Tuanku dan Daulat Orang Kaya makin sejahtera. Aktualisasi Pancasila UUD ’45, Saptamarga, dan aspirasi-aspirasi modern yang lain menjadi tersendat-sendat.
Di dalam arus globalisasi yang dahsyat dan pasti, kita sebagai pihak yang terlimpahi, harus menyadari bahwa apa yang dipercakapkan oleh para pemikir posmo di bidang seni, filsafat, dan industri itu adalah berdasarkan sejarah dan kenyataan hidup mereka. Jadi kalau mereka bilang bahwa ekonomi produksi barang akan bergeser menjadi ekonomi service, itu berarti berlaku untuk masyarakat mereka.
Kita justru akan kelimpahan relokasi dari industri barang mereka, dan juga relokasi dari Pusat Pengolahan Tenaga Nuklir mereka. Kalau mereka sibuk dengan perjuangan greens mereka, kita justru, kalau tidak “kuat” dan tidak “waspada”, akan menjadi tempat menadah limbah mereka. Sebab di dalam penyadaran promo selalu ada paradoks: di dalam posmo, pandangan avant-garde dari dunia mo (modern) mereka justru menjadi sentral orientasi. Meskipun juga harus diakui apa-apa yang avant-garde dari dunia modern itu, dengan sangat kreatif dan eklektik diperdalam dan perluas dimensi konvensinya oleh kaum posmo.
J.F. Lyotard, jagoan posmo dari Prancis itu, sangat mewakili kesadaran semacam itu terhadap aspirasi-aspirasi avent-garde dunia modern Eropa, yang ia anggap sebagai tradisi abad ke-20 yang dominan. Begitulah, lalu mereka mengimbangi perkembangan kultur cybernetic dengan gerakan greens dan gerakan emansipasi Daulat Manusia pada umumnya, dan juga dengan gerakan-gerakan seni yang asyik dengan dimensi spiritual.
Adapun kunci dari kekuatan kemanusiaan mereka adalah sikap mereka yang eklektik-kreatif, dan dari kesadaran mereka terhadap hubungan antara teori dan praktek pengalaman yang bersifat luwes. Tokoh posmo semacam Gilles Deleuze sangat sadar bahwa praktek bisa dianggap sebagai suatu penerapan sebuah teori pada suatu saat, atau sebagai satu konsekuensi dari sebuah teori; tetapi pada saat lain justru pengalaman praktek dianggap sebagai sumber inspirasi untuk sebuah teori, bahkan sebagai unsur yang utama dalam pembentukan teori-teori untuk menghadapi masa depan.
Lebih jauh lagi, kaum posmo menyadari bahwa penyadaran-penyadaran intelektual harus terlibat langsung dengan praktek-praktek sosial. Michel Foucault, juga orang jagoan posmo, menegaskan bahwa ia menolak berteori secara spekulatif yang lepas dari kenyataan operasi kekuasaan dalam kehidupan sehari-hari. Baginya, perkembangan kesadaran intelektual yang adil selalu mendapatkan rangsangan dari kebutuhan-kebutuhan dalam perjuangan yang dilakukan oleh golongan yang tidak berkuasa.
Sebagai bangsa yang berada pada pihak yang terlimpahi dalam arus globalisasi yang dahsyat itu, apabila kita ingin selamat sejahtera, lebih dahulu kita harus menyadari bahwa modernisasi yang kita alami masih jauh dari selesai. Hal pokok yang bakal menjadi hambatan ketika kita menghadapi masalah-masalah relokasi industri barang dan perdagangan terbuka adalah:
1) tidak ada kepastian hukum yang memadai (terutama secara vertikal).
2) kurangnya demokrasi ekonomi.
3) kurangnya sikap ilmiah dalam bidang humaniora.
Bagitulah kurang lebih ramalan budaya yang saya ajukan apabila kita tetap berkeras menolak untuk waspada. Argumentasi saya singkat saja, karena pasti bisa diperkembangkan sendiri oleh para ahli.
Pertama, tanpa kepastian hukum, industri macam apa pun akan berbahaya dan bersikap keji kepada kemanusiaan (lihat apa yang terjadi di Rusia, Jerman Timur, pendeknya di negeri komunis dan fasis: kesejahteraan rakyat tidak ada).
Kedua, tanpa demokrasi ekonomi (ialah apabila alat berproduksi vital dan jalur ke pasar dimonopoli oleh segolongan elite dalam masyarakat), maka ada golongan kelas menengah yang mengambang, yang akan makin membesar serta akan mengundang bahasa penumpukan frustasi dan dendam, dan selanjutnya juga akan tercipta pemandangan yang kejam dari kehidupan rakyat kelas bawah yang makin hari makin miskin.
Ketiga, di dalam manajemen yang efektif dalam industri apa pun yang modern, teknologi, ilmu pasti alam, dan ilmu humaniora harus saling dipergaulkan dalam fungsi ceck and recheck sebelum pengambilan suatu keputusan. Aplikasi hubungan antar disiplin macam itu sangat diperlukan untuk menilai keobjektifan suatu keputusan yang diambil. Jadi tidak mungkin ada kewaspadaan objektif, sehingga pantas disebut sebagai suatu sikap ilmiah, tanpa membebaskan masyarakat untuk secara merdeka meneliti fakta-fakta sosial, ekonomi, budaya, dan politik yang secara objektif ada di masyarakat.
Selama fakta-fakta tersebut tidak bebas diteliti dan dikaji secara terbuka dan leluasa di dalam masyarakat, keputusan-keputusan dalam bidang pembangunan hanya bersikap spekulatif. Kekurangan feed back dari masyarakat akan menghasilkan keputusan pembangunan yang berbahaya untuk kehidupan bersama.
Selanjutnya kita masih harus melakukan antisipasi dengan strategi yang tepat agar kita cukup kuat untuk menghadapi limpahan-limpahan dalam globalisasi yang sedang terjadi ini. Yang saya maksud adalah supaya kita tidak sekadar didikte oleh kekuatan dari luar semata. Tidak mungkin strategi semacam itu diatur atau diusulkan oleh satu-dua orang saja. Dalam hal ini tidak ada superman yang bisa mewakili kepentingan masyarakat yang sangat luas dan kompleks. Oleh karena itu harus ada mobilitas mental, politk dan ekonomi yang bersifat horisontal ataupun vertikal, yang memungkinkan daya mencerna dan daya adaptasi bangsa dalam menghadapi perubahan zaman itu bisa merata.
Dari kaum posmo kita bisa mencontoh sikap mereka yang eklektik secara kreatif. Nenek moyang kita sangat ahli di bidang ini. Kebudayaan kita, termasuk bahasa kita, adalah campuran pengaruh dari segenap penjuru dunia, yang terbina secara eklektik, namun tetap memancarkan keunikan Indonesia, karena merupakan jawaban dari kebutuhan bangsa saat itu.
Kepribadian bangsa dibentuk oleh kebutuhannya. Kepribadian bangsa tidak semuanya baik. Aspek kepribadian kita yang feodalistis dan fasistis tidak usah kita elus-elus dan kita banggakan. Tetapi kemampuan toleransi, kegemaran akan kerukunan, daya adaptasi yang tinggi, dan kepekaan akan batin, serta sifat-sifat lain wajib kita latih dan kita jaga.
***
*) W.S. Rendra (Dr. Willibrordus Surendra Broto Rendra, S.S., M.A.), lahir di Solo, 7 November 1935 –wafat di Depok, Jawa Barat, 6 Agustus 2009.