Seperti Arswendo Atmowiloto yang menggunakan nama samaran Titi Nginung dan lainnya dalam karya, Sapardi Djoko Damono juga mempunyai nama samaran. Bedanya, dalam hal Sapardi, nama samaran itu dipakai khusus ketika menulis novelet dalam bahasa Jawa atau “panglipur wuyung”. Diterakannya nama samaran ini pun hanya pada karya-karyanya yang terbit tahun 1966.
Naning Saputra adalah nama pena yang dipilihnya ketika menulis novel hiburan tersebut. Tercatat ada sembilan karya dalam bahasa Jawa yang telah terbit tahun 1966 dengan kisaran tebal 40-an halaman. Kesembilan novelet itu adalah “Angin Oktober”, “Dadi Pangané Batara Kala”, “Digandrungi Putri Panggang Ayam”, “Jodho Kang Winadi”, “Kekejere Prawan Cilik”, “Mergane Lawang Kamukten”, “Prawan Impala”, “Randha Manis Weton Trini”, dan “Sumpahe Prawan Indo”.
Yang menarik dan unik, sampai setidak-tidaknya tahun 1986, Naning Saputra dianggap sebagai wanita terbukti dari dikelompokkannya pengarang ini ke dalam “pengarang wanita”. Para sahabat Sapardi di Yogyakarta yang meneliti dan menghasilkan buku berjudul Pengarang Wanita dalam Sastra Jawa Modern (1986), yaitu Sri Widati Pradopo, Siti Sundari Maharto, Ratna Indriani Hariyono, Faruk H.T., dan Adi Triyono belum menyadari bahwa Naning Saputra adalah nama samaran Sapardi.
Inilah risiko ketika seseorang menerakan nama pena dalam karyanya, memungkinkan terjadinya pendataan dan pengklasifikasian yang kurang akurat sebagaimana terjadi pada Naning Saputra yang dikelompokkan sebagai wanita pengarang padahal sesungguhnya laki-laki (Pradopo, dkk.,1986:8).
Pada sisi lain, selama ini hampir tidak ada pembicaraan atas karya-karya tersebut secara khusus, selain hanya disebut sepintas dalam kajian besar mengenai sastra Jawa seperti telah disebutkan atau dalam Ikhtisar Perkembangan Sastra Jawa Modern Periode Kemerdekaan (2001), Widyaparwa (2002), Berita Pustaka (2004), atau oleh Imam Budi Utomo dan kawan-kawan dalam Eskapisme Sastra Jawa (2002), dan dalam artikel Imam Budi Utomo sendiri pada jurnal Atavisme yang berjudul “Tokoh dan Penokohan Dalam Roman Panglipur Wuyung” (2012).
Hampir tiadanya telaah mengenai karya-karya Naning Saputra ini boleh jadi karena memang tidak ada yang istimewa, baik secara bentuk maupun isi. Menurut pengakuan Sapardi sendiri, karya panglipur wuyung-nya itu memang biasa saja tetapi sesungguhnya dibuat sebagai cara membendung kelatahan banjir roman picisan pada tahun 1960-an.
Dikatakannya bahwa karya-karya sastra Jawa pada kurun itu hanya berisi hal yang “ubyang-ubyung” atau tidak lebih sebagai roman picisan (Utomo, 2002:20) sehingga ia tergerak untuk membuat karya serupa dengan pendalaman yang agak lain meskipun tetap dalam koridor sastra populer. Dalam sejumlah kesempatan, Sapardi memang pernah menyinggung mengenai karya-karyanya tersebut, tetapi terkesan bahwa ia tidak terlalu menganggap istimewa dengan aktivitas yang pernah dilakukan semasa lajang itu. Dalam biodata yang menyertai karya-karyanya, tidak pernah tertulis perihal alias maupun karya-karyanya dalam bahasa Jawa ini.
Dalam konteks pemakaian nama samaran, mengapa Sapardi memakai nama wanita? Nama Naning Saputra ini ternyata adalah nama calon istrinya yang bernama Wardiningsih (Utomo, 2012:124). Dalam penjelasan Suparto Brata, pada kurun itu dalam kehidupan sastra Jawa, ada beberapa nama samaran wanita yang dipergunakan oleh laki-laki pengarang sebagai cara untuk menarik perhatian pembaca (Tim Peneliti Balai Bahasa Yogyakarta, 2001: 56-57). Selain Sapardi yang memakai nama Naning Saputra, Achmad Ngubaini Ranusastra Asmara juga menggunakan nama wanita, yaitu Any Asmara, atau juga Suparto Broto memakai nama samaran Peni dan Aryati (Tim Peneliti Balai Bahasa Yogyakarta, 2001:146)
Begitulah. Maka jika Anda membaca “roman picisan” karya Naning Saputra, bayangkan bahwa Anda sedang berhadapan dengan Sapardi Djoko Damono.
14 Agustus 2020
______________________
*) Ibnu Wahyudi, sastrawan kelahiran Ampel, Boyolali, Jawa Tengah 24 Juni 1958. Mengajar di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (d/h Fakultas Sastra) Universitas Indonesia (UI), selain itu menjadi pengajar-tamu di Jakarta International Korean School (sejak 2001), di Prasetiya Mulya Business School (sejak 2005), di Universitas Multimedia Nusantara (sejak 2009), dan di SIM University Singapura. Pendidikan S1 di bidang Sastra Indonesia Modern diselesaikan di Fakultas Sastra UI (1984). Tahun 1991-1993, mengikuti kuliah di Center for Comparative Literature and Cultural Studies, Monash University, Melbourne, Australia dan peroleh gelar MA, serta menempuh pendidikan doktor (Ilmu Susastra) di Program Pascasarjana UI. Tahun 1997-2000, menjadi dosen tamu di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan.