SEJARAH PANJANG KEBOHONGAN

Aprinus Salam *

“Dosa terbesar kaum intelektual tidak terletak pada kesalahan yang dia lakukan, tapi pada kebohongan dan ketakutan menyampaikan kebenaran yang diketahuinya” (Cornelis Lay).

Salah satu hal yang cukup diabaikan oleh kajian sejarah dan ilmu-ilmu sosial adalah sejarah dan kenyataan tentang kebohongan. Hal itu terjadi karena arus utama kajian sejarah dan ilmu sosial; lebih berorientasi untuk menelusuri dan menjelaskan bukti-bukti kebenaran tersembunyi, kebenaran yang belum terungkap, tidak dalam rangka mengungkap kebohongan. Pengetahuan dan batas tentang mana yang bohong dan tidak semakin kabur dan tidak jelas.

Kenapa hal itu penting? Karena satu hal yang serius adalah bahwa begitu banyak kebohongan, atau ketidakjujuran, yang melanda bangsa Indonesia. Saya tidak bermaksud ingin menjelaskan kenapa ini bisa terjadi apa sebab-sebabnya. Tentu tidak semua, tapi paling tidak kenyataan tentang kebohongan adalah fakta yang terjadi dalam hidup kita sehari-hari.

Banyak orang tua berbohong kepada anaknya dari mana ia mendapatkan harta yang banyak dengan gaji sebagai pegawai yang tentu dapat kita ketahui bersama. Pejabat berbohong kepada publik dengan bercerita tentang jasa-jasa yang tidak pernah dia kerjakan, demi pencitraan, agar ia dapat memapankan kekuasannya. Guru berbohong kepada murid-muridnya karena ia mengajarkan sesuatu yang tidak tahu untuk apa segala sesuatu diajarkan kepada muridnya.

Saya juga banyak berbohong tentang banyak kesalahan yang tidak pernah saya akui dan saya tidak minta maaf untuk itu. Untuk itu, secara terbuka saya minta maaf kepada siapa saja saya pernah melakukan kesalahan dan kebohongan.

Para pelajar berbohong dengan menyontek (juga copy-paste) agar mendapatkan nilai baik. Para polisi berbohong tidak mengakui melakukan praktik pungli (dan pemerasan lainnya). Para politisi, pengacara, hakim, jaksa berbohong demi imbalan yang tidak pernah diakuinya. Para penulis dan intelektual juga berbohong karena tidak berani mengungkapkan kasus-kasus kebohongan karena bisa membuat dapurnya tidak berasap.

Media tidak cukup punya keberanian mengungkap berbagai kasus kebohongan. Mungkin bukan tidak berani, tetapi tidak memiliki kekuatan/kemampuan untuk bisa menjangkau kebohongan yang disembunyikan. Akhirnya, kasus-kasus kebohongan tidak lebih sebagai komoditas berita, substansi tentang kebohongan itu sendiri tidak terungkap. Kebohongan menjadi sebuah sejarah panjang tak berkesudahan.

Ada beberapa kesulitan mengapa sejarah/ilmu sosial tidak mampu mengungkap kebohongan. Pertama, banyak hal bohong yang dilakukan oleh para pelaku sejarah, sebisa mungkin ia tidak akan mengungkapkan kebohongannya. Artinya, di antara pelaku sejarah juga tidak tahu jika telah terjadi kebohongan. Kemudian, kedua, banyak kebohongan dibawa mati oleh para pelaku sejarah. Mungkin masih bisa diungkap jika ada saksi-saksi, tetapi itu pun tidak sepenuhnya menjangkau hal yang telah dibawa mati.

Negeri ini, sangat mungkin di berbagai negeri lain, sudah terlanjur dibangun atas kebohongan. Karena banyak hal adalah kebohongan, kita menjadi tidak tahu mana yang bohong dan mana yang benar. Batas antara yang kebohongan dan kejujuran menjadi kabur. Sebagai akibatnya, kita tidak tahu lagi, tidak pernah percaya mana yang bohong dan mana yang jujur berdasarkan kebenaran.

Ideologi dan kepentingan (pribadi, golongan) juga menyebabkan kita berbohong. Kita mengakui multikuluralisme, multi agama, multiras dan suku, tapi dalam praktik kehidupan sehari, kita menentangnya dan melakukan kekerasan karena perbedaan tersebut. Negara dan warga Indonesia memiliki Pancasila dan UUD 1945. Namnu, dalam praktik kehidupan sehari-hari, kita tidak pernah berpedoman dan menjunjungnya sebagai etika kebenaran berbangsa. Artinya, ada ketidakpercayaan dan ketidakjujuran dalam praktik sosial, atas ideologi dan kesepakatan berbangsa.

Kalau batas-batas antara kebohongan dan kejujuran, batas antara kebenaran dan kepalsuan menjadi kabur, maka kita kehilangan sumber-sumber acuan dalam menegakkan etika bermasyarakat, menegakkan etika berbangsa. Jika kita telah kehilangan nilai etika dalam menegakkan aturan bermasyarakat, tidak mengherankan yang terjadi adalah ketidakmenentuan, saling serang, saling menyalahkan, saling menuduh bohong sambil berbohong.

Ada pertanyaan apakah berbohong itu tidak boleh? Pertanyaan ini tentu bersiasat untuk mengatakan bahwa dalam beberapa kasus dan pengecualian kita boleh berbohong. Memang, yang sebaiknya kita lakukan adalah, dalam kasus apapun, kita tidak boleh berbohong. Akan tetapi, tentu kita boleh memaklumi jika seseorang telah berbuat kesalahan dan kebohongan, dan orang tersebut mengakui kebohongannya. Kita perlu memberi penghargaan terhadap kejujuran setelah kebohongan.

Dengan demikian, salah satu kerja keras yang harus dilakukan masyarakat Indonesia adalah justru mengatasi berbagai kebohongan tersebut. Saya tidak mengurus negeri lain yang juga penuh dengan kebohongan. Walaupun kebohongan negeri lain secara langsung juga berdampak terhadap kehidupan bangsa Indonesia.

Sebagai misal, sebagian para orientalis telah mengambil sudut pandang berbeda dan mencuri banyak kebenaran tentang sejarah di Nusantara. Akan tetapi, kebohongan para orientalis bisa diatasi jika di dalam negeri ini ada orang yang bersedia membongkar kebohongan itu secara bertanggung jawab. Prioritas utama negeri ini adalah membangun kejujuran.
***

*) Dr. Aprinus Salam, M. Hum., Sastrawan kelahiran Riau, 7 April 1965. Dosen FIB UGM, Kepala Pusat Studi Kebudayaan UGM sejak 2013, Anggota Senat Akademik UGM 2012-2016, Konsultan Ahli Dinas Kebudayaan DIY (2013-2016). Pendidikan S1, Bahasa dan Sastra Indonesia FIB UGM (Lulus 1992), S2 Program Studi Sastra Pasca Sarjana UGM (Lulus 2002, salah satu wisudawan terbaik), S3 Program Studi Sastra (Program Studi Ilmu-Ilmu Humaniora, Pascasarjana FIB UGM, lulus 2010).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *