Wanita Berwajah Penyok

Ratih Kumala *
Kompas, 6 Feb 2005

Dari sepasang garis bibir, sebuah cerita akan sebait ingatan dituturkan: di tempatku ada wanita berwajah penyok. Jika kau selalu berpikir bahwa hidup adalah berkah, maka kau tak akan setuju lagi setelah melihatnya. Tetapi, jika kau senantiasa setuju bahwa hidup adalah kutukan, maka kau akan kian meyakini apa yang telah lama kau percaya.

Wanita itu tinggal dipasung pada ruang sempit yang tak bisa disebut manusiawi. Dia buruk rupa dan gagu. Konon kapasitas otaknya pun kurang hingga orang menyebutnya idiot. Orang akan takut kala melihatnya. Saat ingin berkata-kata hanya ada vokal yang keluar tanpa pernah benar-benar ada konsonan yang menyertainya. Mulutnya pun hanya bisa mengerjap-ngerjap. Orang akan teringat akan bentuk mulut ikan serta mengeluarkan bau tak sedap. Orang akan tertarik dengan bentuk mulutnya saat ia mencoba berbicara. Mereka yang berbaik hati karena kasihan dan awalnya berusaha untuk mengerti apa yang akan dituturkannya, lalu berubah menikmati sebuah keanehan sekaligus kejijikan oral yang tak dimiliki orang pada umumnya. Ruangan pasung itu tanpa jendela. Hanya sebuah pintu kayu yang selalu tertutup. Satu-satunya bolongan yang ada hanyalah lubang kotak kecil di pintu tempat ibunya atau orang lain memberi makan dari situ sehari dua atau sekali.

Seperti apakah rasanya hidup menjadi orang yang tak dimaui? Tanyakan pertanyaan ini padanya. Jika dia bisa berkata-kata, maka yakinlah dia akan melancarkan jawabnya. Konon dia lahir tanpa diminta. Korban gagal gugur kandung dari seorang perempuan. Hasil sebuah hubungan gelap yang dilaknat warga dan Tuhan. Perempuan yang saat ini disebut “ibunya” bukanlah ibu yang sebenarnya. Dia hanya inang yang berkasihan lalu bergantian menyusui lapar mulut dua orang bayi; bayinya sendiri dan bayi berwajah penyok yang dibuang orang di pinggir kampung.

Dulu, wanita berwajah penyok tidak dipasung. Kala itu dia sudah mulai besar dan suka berjalan keliling kampung. Dia tidak suka mandi dan cenderung membiarkan tubuhnya berkotor-kotor ria dengan pakaian yang tak pernah diganti. Dia sangat dekil. Anak-anak kecil suka membuntutinya, berjalan di belakang lalu menyambitinya dengan kerikil. Suatu hari yang biasa; siang terang dan wanita berwajah penyok tengah keliling kampung sendiri saat anak-anak kecil sepulang sekolah itu mulai mengekori dan menyambiti punggungnya di belakang.

Awalnya, ulah anak-anak itu tak terlalu dipedulikannya. Tetapi semakin dia berdiam, semakin jadi anak-anak itu menyambiti, seperti diberi pintu lebar untuk menyakiti dirinya. Maka, wanita berwajah penyok mengambil sebongkah batu. Tangannya yang dekil melemparkan batu itu ke arah anak-anak. Seorang anak bengal berkepala peyang terkena timpukannya. Membuat jidatnya terluka. Darah segar mengocor dari situ, mengubah seragam putihnya menjadi merah. Dia pulang ke rumah mengadu kepada ibunya, sementara anak-anak lain menjadi takut dan bubar satu-satu.

Selanjutnya, sebuah drama yang bisa diduga terjadi. Sore itu juga ibu si anak datang ke rumah wanita berwajah penyok. Ia mengomel dan menggoblok-gobloki wanita berwajah penyok yang ketakutan bersembunyi di pojokan. Ibu si anak menunjukkan luka perban di kepala anaknya akibat perbuatan wanita berwajah penyok. Ia bahkan mengutuki dan berkata bahwa wanita berwajah penyok hanyalah pembawa petaka yang seharusnya dipasung saja sebab dia mirip dengan manusia pun tidak.

Dengan terpaksa, keluarga wanita berwajah penyok akhirnya memutuskan untuk memasung dirinya pada sebuah ruangan kecil yang tak bisa disebut manusiawi dekat tanah pekuburan. Sejak itu wanita berwajah penyok tinggal di dalamnya. Bulan berganti tahun, tanpa tahu itu malam atau siang. Wanita berwajah penyok tetap di dalamnya tanpa ada orang yang mengingat keberadaannya. Ia hanya dikunjungi orang yang mengantar makanannya saja. Saat dia merasa lapar, kupingnya ditajamkan akan langkah kaki yang akan mendekat ke ruang pasungnya. Lalu menanti lubang kecil di bawah pintu itu dibuka hingga sebuah tangan akan mengulurkan makanan seadanya. Ia mulai terbiasa; makan, pipis, dan eek di tempat yang sama. Orang yang membersihkan ruang pasungnya pun sangat jarang hingga suatu hari tak pernah ada lagi yang datang membersihkannya. Ah, lagi pula hidungnya pun telah kedap terhadap bau yang tak sedap.

Seperti apakah rasanya hidup dalam sepi? Tanyakan pertanyaan ini kepadanya. Maka, yakinlah jika dia bisa berkata-kata, dia akan melancarkan jawabannya. Tak ada yang benar-benar tahu apa yang dia kerjakan di dalam sana walau kadang terdengar suaranya berteriak untuk berontak. Ini hanya menambah ngeri tanah pekuburan. Orang-orang mengira itu suara kuntilanak jejadian penghuni kuburan. Tak pernah ada orang yang benar-benar mendekat. Wanita berwajah penyok telah lupa bahasa tanpa ia pernah benar-benar menguasainya. Andaikata suatu saat dia bisa terbebas dari pasungnya, orang akan bertanya; bagaimana ia bisa bertahan hidup? Sebab ia telah menjadi: sendiri.

Ruang pasungnya kian reot dan suram. Selayaknya pekuburan pada umumnya, orang segan memasang penerang sebab orang segan melihat kematian. Ruangan itu juga kian termakan usia. Wanita berwajah penyok sendiri pun telah terlupakan. Hingga rayap dan karat datang membuat lubang pada langit-langit ruang kecil itu. Kini ada celah di sana. Sinar bisa masuk dari celah sempit itu. Berbaur dengan debu yang berterbangan di ruang sumpek sebab angin diam duduk menahun di dalamnya.

Pada malam yang biasanya kelam nan pekat, kini wanita berwajah penyok bisa mendapat segaris cahaya dari celah lubang tadi. Kepalanya didongakkan ke atas, dia bisa melihat rembulan. Bertahun dia tidak melihat rembulan hingga ia lupa bahwa yang dilihatnya adalah rembulan. Untuk pertama kalinya dalam periode tahunan pasungnya, ia merasa bahwa dirinya punya teman. Dia mulai berkenalan. Dengan bahasa yang hanya ia mengerti, ia bercakap-cakap dengan bulan. Dia selalu menunggu teman barunya untuk berkunjung dan bercakap-cakap dengannya setiap malam.

Namun, semakin hari bentuk wajah rembulan semakin sempit dan cekung. Mengecil dan terus mengecil hingga hanya menjadi sabit. Air muka rembulan juga semakin pasi. Semakin hari bulan terlihat semakin sedih. Wanita berwajah penyok mengajaknya bicara. Dengan bahasa yang hanya bisa ia mengerti, ia mencoba untuk menghiburnya. Setiap malam. Dan selalu ditunggunya malam. Saat rembulan datang mengunjungi. Dan setiap malam pula ia kembali menghibur rembulan dengan bahasanya sendiri yang hanya bisa ia mengerti.

Semakin hari sabit rembulan jadi kembali membulat walaupun wajahnya masih pasi. Saat bulan bulat penuh, wanita berwajah penyok girang sekali sebab ini berarti dirinya berhasil menghibur teman baiknya. Tapi suatu hari rembulan kembali menyabit dan seperti yang sudah-sudah, wanita berwajah penyok tak pernah bosan menghiburnya dengan bahasanya sendiri hingga rembulan bulat penuh. Terus seperti itu.

Hingga suatu malam, sehari setelah bulan benar-benar sabit, rembulan tidak datang mengunjunginya. Ia sedih sekali dan mengira rembulan tak mau menemuinya. Malam itu hujan turun deras. Wanita berwajah penyok berpikir bahwa rembulan sedang menangis. Maka dia ikut menangis pula, merasakan kesedihan mendalam sahabatnya. Dan sekali lagi, dengan bahasa yang hanya bisa dia mengerti, dirinya berusaha membujuk bulan dan menghiburnya. Dia tak pernah bosan. Tetapi, langit tetap hujan, rembulan terus menangis. Tetesan air masuk dari celah atap ruang pasung yang menjadi bocor. Menimpa kepala wanita berwajah penyok dan membuat dirinya kebasahan.

Lelah, wanita berwajah penyok tertidur. Ia menggigil hebat tanpa ada orang yang tahu keadaannya. Paginya ia terbangun oleh segaris sinar yang masuk dari celah atap. Sinar kecil itu jatuh ke kubangan air yang menggenang. Dirasakannya tubuhnya demam. Tetapi, begitu dia terbangun yang diingatnya hanyalah rembulan. Siang telah menjelang, ini berarti rembulan telah pulang ke rumahnya setelah semalaman bersembunyi di balik awan sambil menangis. Ia menyesal tak bisa melihat wajah rembulan malam tadi.

Didekatinya genangan air tadi. Genangan yang tak jernih. Ia berwarna cokelat karena bercampur debu. Sebuah bayangan ada di sana. Ia tersenyum… dan menemukan wajah rembulan di sana. Lalu dia tertidur tanpa merasa perlu bangun lagi sebab bersama sahabat di dekatnya.
***

*) Ratih Kumala, penulis profesional kelahiran Jakarta. Meski sejak SMP ingin menulis fiksi, tapi baru berani serius menulis ketika kuliah di jurusan Sastra Inggris, Universitas Negeri Sebelas Maret, Surakarta. Sejak memenangkan Sayembara Novel DKJ (Dewan Kesenian Jakarta) tahun 2003 ,dan menerbitkan novel pertamannya, “Tabula Rasa,” ia aktif menulis fiksi. Baik novel maupun kumpulan cerpen sudah diterbitkan, hingga kini sudah terbit 7 buku fiksi, yang terbaru novelet berjudul “Wesel Pos.” Novelnya, “Gadis Kretek,” masuk TOP 5 nominasi prosa, Kusala Sastra Khatulistiwa 2013. Dan sudah terbit dalam Bahasa Inggris, Jerman dan Arab-Mesir. Di tahun 2018, ia terpilih untuk residensi sastra di London dan Amsterdam dalam riset karya terbarunya, sekaligus meluncurkan buku kumpulan cerpen “Larutan Senja” (The Potion of Twilight) versi Bahasa Inggris di SOAS University of London, Inggris. Sejak 2007, memutuskan terjun ke dunia penulisan kreatif. Diawali menulis serial anak Jalan Sesama, atau Sesame Street versi Indonesia yang disupervisi langsung oleh Sesame Workshop, New York. Sejak itu, ia menulis skenario untuk drama televisi, film, serial OTT, digital series, dan promosi produk. Pernah bekerja di Trans TV sebagai Script Editor Coordinator selama 8 tahun, dan hingga kini mengkoordinir tim penulis skenario lepas. Sesekali ia juga menulis artikel pendek dan ringan di platform digital maupun cetak. Saat ini Ratih aktif sebagai Head Writer di sebuah Production House di Jakarta.
https://cerpenkompas.wordpress.com/2005/02/06/wanita-berwajah-penyok/

Leave a Reply

Bahasa »