(Karena tanda itu meminta alamatnya)
“Semiotika adalah ilmu tanda; istilah tersebut berasal dari kata Yunani semeion yang berarti ‘tanda’. Tanda terdapat di mana-mana: kata adalah tanda, demikian pula gerak isyarat, lampu lalu lintas, bendera, dan sebagainya. Struktur karya sastra, struktur film, bangunan atau nyanyian burung dapat dianggap sebagai tanda. Segala sesuatu dapat menjadi tanda. Ahli filsafat dari Amerika, Charles Sanders Pierce, menegaskan kita hanya dapat berpikir dengan sarana tanda. Sudah pasti bahwa tanpa tanda kita tidak dapat berkomunikasi.” Demikianlah pernyataan Panuti Sudjiman dan A.J.A. van Zoest, penyunting buku Serba-Serbi Semiotika. Pernyataan yang dinyatakan sebagai kesimpulan, seperti pernyataan dan kesimpulan Benny H. Hoed: “Semiotika adalah ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia. Artinya, semua yang hadir dalam kehidupan kita dilihat sebagai tanda, yakni sesuatu yang harus kita beri makna. Sampai di sini mungkin kita semua sepakat. Namun, saat kita harus menjawab apa yang dimaksud dengan tanda, mulai ada masalah.” Sebagai sebuah kata yang mempunyai makna, tanda ini kelihatannya lebih luas dari kata, walau sebagai makna ia disokong oleh kata, kata tanda. Ia juga lebih luas dari pikiran, walau pikiran yang memproduksikannya. Apakah tanda juga lebih luas dari ada? Apakah ada lebih luas dariNya? Kita memikirkan keluasan karena sesuatu terikat dengannya. Keluasan ini yang membuat Umberto Eco berkata: disiplin ini imperialistik. Apakah tanda juga telah menyerangNya? Lebih luas tanda, atau Allah? Hal yang kita pikirkan karena pengertian tanda yang bersifat mengikat. Seperti keluasan ilmu tanda diakui oleh Paul H. Fry dengan melakukan pembedaan terhadap ilmu sastra, keluasan yang kita canangkan di setiap kehadiran ada, atau tanda, tanda, atau ilmu tentang tanda – pernahkah kita memikirkan kehadiranNya, sebagai bahasa, dari jurusan manusia yang menandai, bahwa bahasaNya, Ia, adalah bagian dari yang kita tandai? Semiotik ini, ujar Fry, bukanlah teori sastra, tetapi teori sastra, bagian dari semiotik. “Semiotics is not in itself a literary theory.” Kalau demikian mana teori sastra kalau studi sastra hanya bisa dimengerti karena ia, “as a subfield of semiotics”, misalnya “poetics” Roman Jakobson. Atau puitika Aristotle, Poetics, yang meminta agar mata mewartakan tubuhnya. Kita itu gemar memandang-mandang, katanya, walau tidak untuk diarahkan ke manapun selain, “raun-raun” bola mata terhadap objeknya. Seperti kegiatan mata juga yang bergerak “(Menelanjangi) Kuasa Bahasa”. “Kuasa Bahasa” apa yang ditelanjangi di sini? Seperti “Kuasa Bahasa” apa yang menjadi “mitos yang dibongkar dalam Sastra Indonesia”, oleh Nurel Javissyarqi, sebagai perpanjangan Sastra Barat, anak batin Yunani. Beda dalam kehakikian semeion dengan aayatun, yang bergerak di dalam lorong-lorong bahasa, seperti gerakan memaknai Kitab Suci oleh Imam Al-Maraghi, menjelaskan “aayatun artinya aalamatun yakni tanda”, seraya mengarahkannya ke Dia, inilah yang dua puluh terakhir ini kita desakkan ke Sastra Indonesia, ke Bahasa Indonesia, bahwa tanda itu meminta alamatnya. Ia bukanlah semata tanda seperti yang diorientasikan ilmu – semiotik, linguistik.
Tanda meminta alamatnya, saat di puisi, terlihat benderang misalnya kita membaca Ahmad Syauqi Sumbawi, “dari kapal ke kapal”, dengan “Gramofon Hindia, 2012”, puisi Ahmad Yulden Erwin. Puisi memang akan memaksa ilmu agar menyimak prinsip-prinsip yang ia yakini. Dulce Et Utile ada di sini. Tapi adakah Dia di Dulce Et Utile? “Dengan sastra kita tahu derajat bahasa
Bahasa yang baik-baik saja”, ujar Sastra Paramatathya, keyakinan yang baik tapi menuntut kepada objeknya, yaitu karya. Menentukan “bahasa yang baik-baik saja” adalah kegiatan ilmu sastra untuk menimbang serta memutuskan.
*) HUDAN HIDAYAT, penerima Tokoh Persuratan Dunia Numera 2017.