Muhammad Yasir
ketika bob dylan menerima nobel prize karena dianggap musik folk dan baladanya yang bagi orang kebanyakan dianggap luhur, maka bagi saya itu hal ternorak dalam peradaban politik seni barat yang pseudo-estetik! konsepsi apa yang ditawarkan bob dylan melalui lagu-lagunya itu? bukankah dia sama saja dengan orang yang terpengaruh dengannya ini: iwan fals? sama-sama selebritis! lalu apa yang dilakukan para selebritis bajingan ini untuk revolusi? nol!
tapi kenapa banyak orang terkesima atau terhegemoni?! itulah masalah manusia! saya meyakini bahwa teks tidak sekadar memiliki ruh seperti yang dikatakan julia kristeva. suatu teks tidak mutlak hanya bermakna satu atau ganda. misal kita ambil satu contoh teks “lawan” di akhir puisi sajak suara (1986) karya wiji thukul yang oleh kebanyakan karbon dioksida sosial dan politik dipakai secara serampangan.
kata “lawan” ini memiliki konteks yang erat dengan realitas kehidupan dan proses kreatif wiji thukul pada masa orde baru bukan sekadar “lawan” untuk penindasan, tetapi “lawan” diri sendiri sebagai penyebab penderitaan dan pendindasan., “lawan” kemunafikan dan gairah duniawi, “lawan” kekerasan kapitalisme berbasis pembangunan, dsb. maka, kata “lawan” dalam puisi wiji thukul janganlah diambil paksa untuk kepentingan selebrasi belaka!
apakah dari dua selebritis yang saya sebut dalam paragraf kedua mampu menandingi satu kata “lawan” dalam puisi wiji thukul? nol. teks “lawan” jauh lebih revolusioner daripada lagu-lagu mereka. karena wiji thukul seorang penyair bermoril — “moril” ini saya tangkap dan pelajari dari Saut Situmorang ketika dia bicara tentang pramoedya ananta toer. artinya, apa yang dia tulis itulah yang dia lakukan, sehingga menyebabkan dia harus dihabisi dan kemudian oleh bandit intelektual alias anak haram sejarah alian angkatan gagal total dikemas dengan apik sebagai kisah terbaik dalam hidup mereka!
sore ini, ketika masjid mulai mengingatkan orang-orang islam untuk segera melaksanakan salat, saya teringat sebuah lagu yang bertajuk “nyanyian sang enggang” dari sebuah kelompok musik yang nama mereka terpengaruh dari nama seorang pelukis aliran romantisisme perancis, eugene “delacroix”. para pelaku di dalamnya dominan pemuda kalimantan barat. salah satu otaknya ialah Alexander Haryanto; seorang sarjana bahasa jebolan universitas sanata dharma yogyakarta cum jurnalis tirto.id.
apa yang dibayangkan alex saat menulis lagu ini? o, mungkin dia sedang minum arak atau bir? rindu kampung? o, mungkin karena kenangan? karena kesadaran dia melihat penghancuran kalimantan semakin massif dan mengerikan? apa yang bisa saya jawab? tak ada hak untuk saya. tapi, coba perhatikan teks “enggang” gading gajah afrika; nama burung endemic kalimantan ini!
dalam peradaban orang dayak di mana pun mereka hidup — kecuali orang dayak yang terjebak dalam buaian hedonisme kota yang menyesatkan — burung enggang merupakan sesuatu yang sakral karena dia tak lain ialah tunggangan ranying hatalla (dalam agama kaharingan; dayak ngaju yang notabe hingga hari ini dianggap sebagai kepercayaan padahal keyakinan dan kepercayaan itu beda!) yang esa.
saya merasa ketika menenggak arak ke 1897, alex ingat bahwa burung enggang bisa bernyanyi di pohon meranggas menunggu sang betina atau menunggu kematian untuk menyusul sang pejantan. maka teks “nyanyian” ini dipadukanlah dengan “enggang” dengan dibubuhkan teks “sang” agar teks “enggang” terkesan wah. dan saya tidak akan menyandingkan teks-teks yang kuat dalam lagu “nyanyian sang enggang” dengan kondisi kalimantan hari ini, itu menyakitkan.
dan tambah menyakitkan lagi, ada puisi saut situmorang yang bertajuk “nyanyian enggang” maka itu akan menjadi kepedihan tersendiri bagi saya.
selamat mendengarkan dan jangan katakan “one more cup a coffee” atau “kumenanti seorang kekasih”! ckck…