Di pekat nuansa natal kawasan Akihabara, di bawah bulan sabit yang kalah gemerlap dari lampu jalanan, di depan pohon terang setinggi sepuluh kaki, kusangka kau seorang peri. Peri kelopak sakura, dan kau memang beraroma sakura. Tubuhmu yang mungil, mungkin sekitar lima kaki, dibalut baju pelaut warna putih. Beberapa pasang pejalan kaki yang berbalut baju dingin tebal menoleh ke arah kita, tetapi kemudian tak peduli, karena di sini, kita bukanlah anomali, tak seperti aku dengan gadis lain yang beraroma berbeda: kami selamanya anomali.
Masih kuingat, pertama kali bertemu denganmu di jalanan padat Akihabara, setahun yang lalu, di bulan Desember yang beku, dan uap putih keluar dari mulutmu. Kau mendekap tubuh mungilmu yang menggigil kedinginan, tepat di depan pohon natal raksasa, persis seperti saat ini. Dan seperti tahun lalu, kau menggosok-gosokkan tangan dan sesekali meniupnya. Bahkan gerakan sesederhana itu saja, membuat otakku seakan terendam sake dan mabuk seketika.
Jean Pierre, kawan lamaku, seorang jurnalis Prancis yang diterjunkan ke Timur Tengah pernah mengingatkanku perihal mabuk jenis ini. Tak baik mabuk cinta. Secukupnya saja, seperti saat kau membubuhkan penyedap pada masakan. “Mereka saling membunuh atas nama cinta. Kau percaya itu?” cetusnya dengan logat sengau saat kami terakhir terhubung lewat sambungan telepon, seminggu sebelum tubuhnya meledak menjadi serpihan seukuran sashimi.
Aku tak setuju dengannya. Kita perlu mabuk. Kita perlu mencintai sepenuh hati. Seperti saat ini ketika memandangimu dari kejauhan yang terekam dalam gerak lambat. Kau menyadari kehadiranku lalu menyungging senyum yang lebih hangat dari musim panas di padang lavender California. Pipimu membulat, bibirmu mengerucut.
“Sanada-kun ….”
Ucapan merajukmu itu membuatku merasakan panas yang menjalar dari ujung kaki hingga ke ujung rambut perakku yang enggan tumbuh. Aku suka. Suatu saat, aku ingin bibir mungil merah mudamu mengucapkan okaeri[1], selamat datang kembali, kepadaku. Kau tahu, berulang-ulang, di tengah malam saat mataku tak bisa terpejam, aku membayangkanmu duduk di atas tatami[2], menggenggam segelas ocha[3] hangat, dan mengucapkan kata itu untuk menyambutku pulang kerja.
Kau menyusupkan tangan kirimu ke lenganku. “Kita jalan sekarang?” tanyamu. Aku mengangguk. Seperti malam-malam natal yang lain, jalanan Tokyo selalu padat dengan orang lalu lalang. Sebagian besar berpasangan.
“Hari ini di sekolah benar-benar menyebalkan,” katamu manja. Bibirmu mencebik sedikit.
“Ada apa?”
“Seseorang mengambil sepatuku dan memasukkannya ke tempat pembakaran di belakang sekolah. Aku terpaksa pulang tanpa sepatu.”
“Oh, kejam sekali. Pasti okaasan[4] marah.”
Kau tertawa. “Ah, aku sangat berharap ia marah. Seseorang hanya bisa marah pada orang yang ia pedulikan. Bahkan kupikir, marah hanya bisa dilakukan oleh dua orang yang benar-benar dekat. Tapi, Sanada-kun, ia tak peduli! Aku lebih suka kalau okaasan marah. Marah semarah-marahnya.” Lalu kau tertawa lagi, sejenis tawa masam yang menyembunyikan perasaan, dan melompat-lompat, mencoba mengimbangi langkahku yang panjang dan cepat.
Ibuku dulu suka marah dan mencubit bokongku. Begitu juga guruku yang suka memukul tanganku dengan penggaris kayu. Begitu juga pamanku yang merasa sebagai pengganti ayah dan mencambukku dengan sabuk kulit. Kalau mengikuti postulatmu, berarti aku anak yang sangat terberkati.
“Harusnya kau katakan pada gurumu,” gerutuku.
Kau mencebik dan menoleh kepadaku. “Itu lebih buruk. Mereka akan menyebutku pengadu, lalu sepatuku hilang lagi, lalu kotak pensilku, lalu hidung dan telingaku. Mungkin lebih baik aku jadi kupu-kupu saja, meloncat dari atap sekolah. Kupu-kupu tak perlu sepatu.” Lalu tawa kecilmu menggerincing lagi.
Tawamu yang bertubi-tubi sedari tadi terdengar seperti lolongan tangisan di telingaku. Mungkin itu caramu meneriakkan kata “tolong!” Walaupun berbeda cara, aku mengucapkan kata yang sama dengan minum sake atau berdiri di antara puluhan wota[5] yang berjajar di depan panggung teater Akihabara.
Kau mengalihkan pandangan ke depan. Diam dan mempercepat langkah. Rambut panjangmu berkibar dan harum sakura menguar, membawaku tersesat kembali ke jalan setapak di kaki gunung Shasta, California, sepuluh tahun silam, lengkap dengan cerita yang ingin aku lupakan: Tentang gadis beraroma lavender.
“Paling tidak, berbagilah dengan temanmu,” cetusku, sambil berusaha mengusir bayangan gadis lavender dari benakku.
Kau mendadak berhenti dan menoleh kepadaku. Wajahmu sedikit mendongak. Maklum, tubuhmu memang mungil, dan aku lebih tinggi satu kaki.
“Aku berdoa semoga aku punya.”
Lalu kau tersenyum, tertawa kecil, lalu mengeratkan tautan tanganmu di lenganku. “Bukankah aku sedang bercerita pada Sanada-kun. Sama saja, kan?”
“Kamu kesepian,” gumamku.
“Apa?” Kamu menoleh lagi dan melihat ke arah mataku.
Aku menggeleng. “Aku hanya bicara pada diriku sendiri.” Memang benar. Aku berbicara kepada diriku sendiri yang merasakan sunyi yang sama, hanya memilih jalan yang berbeda.
“Sebentar lagi pukul sembilan. Jam berapa kau harus tampil di teater?” Sebuah gedung bertingkat di Akihabara mirip konbini[6] dengan poster-poster wajah idol di dindingnya, termasuk wajahmu, terbayang di kepalaku.
Kau menelengkan kepala sedikit. “Sembilan tiga puluh.”
“Ah, sebentar lagi. Tiga puluh menit ini terasa cepat sekali.”
Kau tergelak. “Iya. Tapi paling tidak kita bisa berbincang dan memandang langit Tokyo yang membosankan.”
Perkataanmu sama sekali tak menghiburku. Sebentar lagi kau akan tampil dengan seragammu, rok kotak-kotak dan baju sailor sambil menyanyikan lagu-lagu yang selalu terngiang di telingaku. Sedangkan puluhan pemujamu akan ikut bernyanyi dan bergoyang.
Tepat di depan pintu teater kita berpisah. “Terima kasih, Sanada-kun. Malam yang indah.”
Aku mengangguk. Setelah kuletakkan tiga lembar seribu yen di tanganmu—jasa untuk tiga puluh menit berjalan bersama—kau membungkuk sebentar dan berbisik, “Arrigatou. Selamat natal, Sanada-kun.” Aku mengangguk walaupun kita berdua tak merayakan natal untuk alasan yang sama. Sekejap, kau menghilang di balik pintu. Namun, walaupun bayanganmu sudah menghilang, suaramu yang memanggil namaku masih bergaung di telingaku. “Sanada-kun”, sebuah nama yang khusus kau buat untukku, hanya karena tak mudah lidahmu mengucapkan namaku: Jarashanda.
Aku melanjutkan perjalananku menyibak kerumunan manusia di jalanan Akihabara. Pikiranku melayang pada sekuntum lavender mungil di kaki gunung Shasta, California. Bertahun-tahun yang lalu, kala aku menyusuri jalanan tanah di lereng gunung Shasta yang puncaknya ditutupi salju abadi, yang bentuknya segitiga sempurna, yang dihiasi danau-danau kecil di kakinya, aku menemukan sekuntum bunga lavender mungil yang terpisah dari gerumbulan lavender yang lainnya. Lavender mungil itu merunduk, seperti bayi kukang yang membutuhkan perlindungan. Sesaat setelah aku membungkukkan tubuhku ke arahnya, semilir angin dingin pegunungan yang beraroma lembah, menyentuh kelopak-kelopak mungil itu hingga bergoyang-goyang binal. Sedangkan kerumunan lavender lain di sekitarnya begitu patuh mempertahankan posisi tegaknya, tak terganggu oleh angin dingin itu. Setelah angin reda, lavender mungil itu berhenti bergerak dan segera layu lagi. Namun, segera saja lima lebah hitam mungil, mengerumuninya, seolah-olah lavender itu adalah satu-satunya bunga yang mengandung nektar di sana. Aku setuju dengan lebah-lebah itu. Yang mungil, yang tampak tak berdaya, yang membutuhkan perlindungan, tampak lebih menggoda. Seperti si gadis lavender.
Gadis lavender mirip dirimu: berusia belasan, dengan sweater hitam, dan syal merah berkibar-kibar. Bertahun-tahun lalu, ia pernah mengisi kepalaku, dengan senyuman polos, tawa ceria, juga gerak-geriknya yang menggoda. Aku jatuh cinta. Dan kupikir, ia pun sama, jatuh cinta kepadaku. Kalau tidak, buat apa senyuman manis itu ia berikan padaku, rekan kerja papanya di Fakultas Biokimia, saat aku berkunjung ke rumahnya.
Namun, di California, cinta kami adalah anomali. Di California, ia adalah anak-anak. Aku tidak bisa menyentuhnya. Padahal, bukankah jatuh cinta tak memandang usia?
Semua berbeda di Akihabara ataupun di Indonesia. Di Indonesia, tempat kelahiranku, aku bisa menikmati gadis belasan tahun mana pun yang aku mau dengan berbekal surat pernikahan. Jadi, aku tak perlu lagi mendengar teriakan-teriakan mereka saat aku menyentuhnya seperti si gadis lavender. Aku tahu dia mencintaiku, dan teriakan-teriakan atau cakaran-cakaran itu hanya karena dia belum terbiasa. Seandainya dia diam dan tersenyum dan tak meludahiku, tentu aku tak perlu menutup wajahnya, dan ia tak perlu tertidur lelap di bawah rimbun lavender.
Malam ini, jalanan Akihabara begitu padat, lagu natal diputar berulang-ulang, tapi di tengah keramaian, aku merasa sendirian.
Tamat.
*) Sasti Gotama, kelahiran Malang yang tinggal di Cilacap. Beberapa cerpennya dimuat di media Kompas, Tempo, Minggu Pagi, Fajar Makassar, Detik, Ideide, dll. Karya terjemahannya; “Bagaimana Berdebat dengan Kucing”, “Narsisme”, dan “Etika Ambiguitas” (Circa). Buku antologi bersama; “Mimpi-mimpi Erina” (Cerpen dan Puisi Nomine Anugerah Sastra Ideide.id 2020), “Pandemi” (ProsaDiRumahAja, Indonesia Kaya, 2020), “Hanya Cinta yang Kita Punya untuk Mengatasi Segalanya” (2020), “Gagak, Kelelawar, dan Firasat-firasat” (2020). Buku antologi tunggalnya; “Penafsir Mimpi” (2019). “Mengapa Tuhan Menciptakan Kucing Hitam?” (2020) menjadi salah satu buku Karya Sastra Rekomendasi Tempo 2020.
[1] Selamat datang kembali
[2] Tikar khas Jepang.
[3] Teh hijau Jepang.
[4] Ibu.
[5] Penggemar/fans group idol.
[6] Minimarket.
Keterangan Foto: Akihabara, gambar dari japanesestationdotcom