HB JASSIN, IWAN SIMATUPANG, GOENAWAN MOHAMAD


Bandung Mawardi

Sastra kena semprot dan tendangan. Sastra itu “bulanan tjerita pendek” diasuh oleh HB Jassin dan DS Moeljanto. Majalah menjadi tempat memasang ilustrasi buatan Toha Mohtar, Ipe Ma’ruf, dan Sanggar Bambu. “Sepandjang tahun 1963 madjalah Sastra telah mendjadi bulan-bulanan serangan, hasutan dan fitnahan dari oknum-oknum jang merasa memonopoli djasa-djasa revolusi dan mengatakan bahwa Sastra adalah anti revolusioner dan reaksioner,” tulis HB Jassin. Pada masa 1960-an, kisruh politik digenapi kisruh dalam sastra. Para pengarang dengan organisasi atau kedekatan dengan partai politik membuat kisruh mencipta sejarah belum rampung dijelaskan sampai sekarang. Kisruh meninggalkan dokumen-dokumen meski tak lengkap. Di Sastra, nomor 1, tahun IV, 1964, kita membaca sekian tulisan mengingatkan kisruh sastra masa lalu.

Para peminat sejarah kisruh bisa membaca surat-surat Iwan Simatupang sudah terbit menjadi buku. Di situ, ia merekam peristiwa, omongan, tokoh, dan lain-lain. Di majalah Sastra, ia urun tulisan drama sebabak berjudul “Taman”. Di kalangan teater, naskah mungkin teringat berjudul “Petang di Taman”. Dulu, Bandung M saat masih kuliah pernah menonton pementasan teater berbarengan getol menikmati Ziarah, Merahnja Merah, Kering, Koong, dan Tegak Lurus dengan Langit. Bandung M kesengsem banget dengan tulisan-tulisan Iwan Simatupang. Di situ, ada “kisruh” terasa filsafat. Kita mengutip omongan tokoh orang tua: “Ah, kata siapa ini soal prinsip. Aku malah lebih tjenderung menjebutnja sebagai penjakit. Ah, persetan dengan semuanja! Bukankah tiap prinsip adalah penjakit?” Iwan Simatupang belum mengetahui bahwa Prinsip itu merek rokok. Bandung M masih ingat merek-merek rokok murahan dan tembakau kemasan murahan sering dibeli di Pasar Kartasura.

Di halaman akhir, ada esai berjudul “Hero, Ketjenderungan jang Pintjang dari Suatu Epos?” Esai kurang moncer itu ditulis 5 September 1963. Pada masa lalu, Goenawan Mohamad mengingatkan: “Djika epos kita telah berhasil meletakkan posisi hero dan kemungkinan-kemungkinan seorang hero setjara demikian, maka kian tegaslah betapa esensiilnja epos bagi kesusasteraan, sebab dengan demikian bukan temanja sadja jang mengadjarkan perdjoangan….” Kalimat belum selesai. Pada saat menulis, Goenawan Mohamad mungkin kerasukan berakibat menulis satu kalimat sepanjang 1 meter. Esai dalam situasi kisruh. Begitu.

***

Leave a Reply

Bahasa »