Kucing saya melahirkan (lagi). Anaknya lima (lagi), tetapi hanya tersisa empat karena yang satu mati saat dilahirkan. Warnanya hitam putih. Padahal, tiga kucing jantan yang berkeliaran dan tebar pesona kepada induk kucing semuanya berwarna jingga, tidak ada yang hitam atau putih atau hitam putih.
Sebetulnya, dalam dua bulan ini, saya sempat heran karena tiba-tiba saja tidak tampak kucing-kucing jantan jingga yang suka kongkow atau nongkrong di teras rumah. Rupanya karena si betina ini hamil (lagi) sehingga kucing-kucing jantan itu dengan ajaibnya menghilang. Pastinya ini hanya tingkah laku kucing jantan, dan bukannya manusia berjenis kelamin sama, karena saya yakin, tidak ada lelaki yang tiba-tiba lenyap ketika pasangannya hamil (lagi) dan mencari betina di luaran sana seperti kucing jantan.
Kini, setelah empat kucing hitam putih itu terlahir di dunia, si kucing-kucing jantan belum juga menampakkan diri. Saya pikir ini hal yang bagus, karena kucing jantan tidak seperti manusia. Kucing jantan tidak mengerti sains sehingga akan marah melihat kucing-kucing mungil yang terlahir berwarna hitam putih dan bukannya jingga seperti dirinya. Kucing jantan akan berpikir bahwa anak-anak kucing itu bukan keturunannya dan si betina tidak setia.
Tidak seperti kucing, manusia memiliki perangkat berupa akal sehingga mereka bisa mempelajari sains. Melihat kucing kelabu kawin dengan kucing jingga tapi beranak hitam putih, tak akan mengherankan mereka, karena mereka tahu, gen warna bulu kucing terikat pada kromosom X. Gen warna hitam merupakan gen dominan sedangkan warna jingga merupakan gen resesif. Di sisi lain, kromosom seks kucing betina adalah XX sedangkan jantan XY. Maka, jika terjadi perkawinan, maka teramat sangat besar kemungkinan bahwa anak kucing yang terlahir memiliki unsur hitam. Kalaupun jingga, maka kemungkinan besar itu adalah anak kucing jantan yang mendapat kromosom X dari si ayah.
Sains membuat manusia tidak gusra-gusru untuk menuduh ini itu seperti kucing jantan yang (mungkin) menuduh pasangannya berselingkuh. Manusia tentu memanfaatkan akalnya dan menggunakannya untuk berpikir berbasis sains. Dalam hal ini, tidak perlu sains yang njilmet misalnya postulat Einstein atau Dawkins, tetapi cukup sains-sains aplikatif yang telah dipelajari dari sekolah dasar, yaitu biologi sederhana, misalnya tentang virus.
Manusia yang memanfaatkan akalnya tentu akan mengetahui bahwa virus ini ukurannya kecil sekali hingga mudah menular lewat udara dan tidak akan melepas maskernya jika berada di dekat orang lain misalnya untuk ngopi bersama atau berswafoto rame-rame. Manusia yang menggunakan akalnya tentu akan mampu mencari informasi bahwa virus ini menyasar semua kelompok umur, tak hanya orang tua yang memiliki faktor komorbid, tetapi juga orang muda yang olahragawan dan berbadan kekar. Manusia yang menggunakan akalnya tentu akan mampu menemukan fakta-fakta yang berserakan di media massa bahwa saat ini rumah sakit di berbagai daerah sudah overcapasity dan harus menolak pasien.
Saat ini, kasus COVID-19 hampir menyentuh angka 4000 kasus per hari. Menurut data 10 September 2020, kasus mencapai 3.861. Per hari, bukan per bulan. Namun saya yakin, manusia tidak seperti kucing jantan yang tak mengenal sains. Manusia, ketika melihat angka itu, akan semakin mawas diri, semakin hati-hati, semakin waspada tanpa tercebur dalam keparanoidan.
Namun, menurut saya, yang lebih bebal dari kucing jantan adalah kucing betina. Kucing betina mudah terpedayai (lagi) oleh kucing jantan yang pernah membunuh anaknya dan meninggalkannya saat hamil besar. Mungkin karena ia tidak menyukai sains dan tak mampu berpikir logis. Tapi, saya yakin manusia tidak seperti itu. Manusia menyukai sains dan mampu berpikir logis. Bukan begitu?
11 September 2020
Keterangan Gambar, dari okdogidotcom
*) Sasti Gotama, kelahiran Malang yang tinggal di Cilacap. Beberapa cerpennya dimuat di media Kompas, Tempo, Minggu Pagi, Fajar Makassar, Detik, Ideide, dll. Karya terjemahannya; “Bagaimana Berdebat dengan Kucing”, “Narsisme”, dan “Etika Ambiguitas” (Circa). Buku antologi bersama; “Mimpi-mimpi Erina” (Cerpen dan Puisi Nomine Anugerah Sastra Ideide.id 2020), “Pandemi” (ProsaDiRumahAja, Indonesia Kaya, 2020), “Hanya Cinta yang Kita Punya untuk Mengatasi Segalanya” (2020), “Gagak, Kelelawar, dan Firasat-firasat” (2020). Buku antologi tunggalnya; “Penafsir Mimpi” (2019). “Mengapa Tuhan Menciptakan Kucing Hitam?” (2020) menjadi salah satu buku Karya Sastra Rekomendasi Tempo 2020.