KETIKA SI GM TAK MAU DISEBUT PEMULA DALAM SENI RUPA


Sunlie Thomas Alexander

“APA komentar Mas Sunlie soal halaman yang banyak buat GM hari ini?” demikian tanya redaktur Jawa Pos, Indria Pramuhapsari kepadaku dalam chatting kami di WhatsApp hari Minggul lalu (13 September 2020).

Waktu itu, sambil menahan kantuk karena belum cukup tidur sehabis membeli koran di kios, aku cuma menjawab santai ala kadarnya kalau hanya dua halaman kukira tidaklah jadi soal, tetapi mungkin banyak akan yang bersuara lantang-meradang jika hal itu sampai ke medsos.

Aku juga bilang kepada Mbak Hepi (demikian sapaan akrab Indria) bahwa aku tidaklah anti GM (dalam konteks karya), tetapi aku jelas-jelas tak setuju pada sejumlah pemikirannya, terutama terkait dengan “politik kebudayaan” (politik sastra, politik kesenian, politik media, hingga politik praktis) yang ia dan orang-orangnya mainkan selama ini; yang tentunya bisa kita tarik dari era Manikebu sampai ke Frankfurt Book Fair 2015 maupun dalam cara-cara Komunitas Salihara mempromosikan sastra dan seni.

Namun begitu, aku takkan bicara banyak di sini mengenai hal yang kini telah nyaris jadi pengetahuan umum di kalangan sastrawan itu. Toh, kita bisa membaca hal-hal yang sudah cukup terang tersebut di buku esai Saut Situmorang, Politik Sastra terbitan JBS, ataupun dalam tulisan-tulisan Katrin Bandel di buku-bukunya dan Jurnal Boemipoetera. Juga dalam tulisan-tulisan lain yang barangkali jejak digitalnya masih dengan mudah dapat kita lacak.

“Kalau aku sebagai orang koran ya ini kebanyakan bumbu GM-nya. Ini kan dari halaman pertama sampai halaman yang tulisannya GM nadanya sama,” lanjut Mbak Hepi disertai emoticon tertawa.

Lantaran sibuk berpacaran dengan si Nona Janeetha, barulah pada hari Rabu pagi aku membalas Mbak Hepi lagi setelah pada malam sebelumnya membuka koran Jawa Pos yang kubeli di Minggu pagi itu: Ternyata Mbak Hepi betul. Wah, ini memang sudah kebanyakan, baik bumbu maupun porsinya, pikirku rada gemas.

Betapa tidak, di Jawa Pos edisi Minggu itu tulisan mengenai GM rupanya sampai lima halaman, termasuk dalam editorial Jawa Pos (“Dari Redaksi”)! Dan semuanya hampir senada: Memuji dan membenarkan, atau setidaknya secara halus mencoba mendukung pendapat GM tentang dirinya sendiri (dalam tulisan dedengkot Tempo itu di Jawa Pos edisi Minggu sebelumnya) terkait kiprahnya sebagai pendatang baru di dunia seni rupa.

“Polemik Seni Rupa?”

Kupikir nyaris tak ada polemik yang berarti apalagi bantahan keras di halaman-halaman “Utama Minggu” itu. Baca saja bagaimana pendapat para tokoh seni rupa (mulai dari si Mikke Susanto, Ugo Untoro, Heri Dono, Dipo Andy, Agung Leak Kurniawan, Galam Zulkifli, sampai Syakieb Sungkar) pada halaman 3 yang kesemuanya boleh dikatakan mencoba membetulkan apa yang diinginkan oleh GM sendiri dalam tulisan terdahulunya yang diberi judul “Perupa?” itu. Ya, kendati sebagian dari pernyataan para tokoh tersebut nampaknya berusaha (baca: coba-coba) mengesankan suatu sikap arif dalam memberikan opini subjektifnya.

Coba perhatikan pernyataan Galam yang aku kutip berikut ini contohnya: “Kehadiran sosok GM di peta seni rupa menambah keragaman dan warna seni rupa. Karya laku dengan harga bombastis, saya senang. Artinya pasar mengapresiasi. Kalau karya Pak GM diapresiasi tinggi, artinya memang karya beliau layak.”

Pengecualiannya, kukira hanyalah opini sedikit panjang Hendro Wiyanto (halaman 4-5) yang meskipun tidak mencoba menyangkal secara tegas, tetapi sepintas lalu masih “kelihatan” berusaha merespons pendapat GM dengan lebih lugas dan logis.

Lantas, apa landasan redaksi Jawa Pos memutuskan untuk menurunkan tulisan-tulisan yang mereka sebut sebagai “Fenomena Goenawan Mohamad” ini sampai lima halaman utama?

Apakah memang hanya karena “[…] secara mengejutkan, suguhan tentang Artjog pada edisi pekan lalu dalam rubrik Utama Minggu mendapat respons positif secara luas, terutama dari kalangan seni rupa kita”? Atau, lantaran pokok-pokok pikiran dalam tulisan GM, “Perupa?” pada edisi Minggu sebelumnya itu memang betul-betul memantik “polemik” yang demikian menggemparkan sehingga Fenomena Goenawan Mohamad pun jadi begitu merangsang?

Aku tidak mengikuti IG Jawa Pos Minggu yang “kabarnya” mendapatkan perhatian luas itu, tak pula mengakses ciutan-ciutan para art enthusiast di berbagai laman maya. Dan tentu saja tak mungkin aku mengikuti keramaian “polemik” pada grup WhatsApp yang sempat disinggung oleh Hendro Wiyanto.

Semenjak memutuskan untuk drop-out dari Fakultas Seni Rupa, ISI Yogyakarta, kukira secara pribadi aku juga tak punya lagi ketertarikan lebih terhadap jagat seni rupa di tanah air maupun pergaulannya, selain sekadar corat-coret iseng dan mengerjakan desain sampul buku. Tetapi lantaran sudah ditanya oleh Mbak Hepi, maka aku pikir tak ada salahnya jika aku menjawab sebagai kawan, bahwa halaman diberikan oleh Jawa Pos Minggu terhadap GM—seperti yang dikatakannya sebagai orang dalam—memang kelewatan porsi dan bumbu terlepas seperti apapun kebijakan redaksional Jawa Pos dalam melihat “nilai jual” ketokohan seorang GM berikut pertimbangan-pertimbangan lainnya yang berada di luar itu.
***

YA, benarkah semenarik itu Fenomena Goenawan Mohamad dalam peristiwa seni rupa Indonesia saat ini sehingga ia mesti mendapatkan perhatian yang begitu besar? Hm, jangan-jangan ini hanyalah semata-mata lantaran posisi dan pengaruhnya di Jawa Pos? Kukira memang ada cukup banyak pertanyaan yang bisa kita ajukan.

Tetapi untuk menjawabnya, tentu saja aku ingin mengajak kita semua memeriksa dulu apa yang sudah ditulis oleh GM. Terutama dalam esainya “Perupa?” pada Jawa Pos (Minggu, 6 September 2020), kemudian pada komentar singkatnya yang diturunkan Jawa Pos Minggu lalu (13 September 2020) yang diberi judul “Saya Tidak Tahu, Mari Kita Tenang Dulu”—yang rupanya cuma sekadar penegasan ulang atas apa yang ia sampaikan sebelumnya setelah ia merasa “pokok soal yang ia majukan” dalam “Perupa?” telah “direspons melenceng”.

Intinya—seturut pembacaanku—dalam esainya “Perupa?”, GM nampaknya merasa kehadirannya di dunia seni rupa sebagai seorang pendatang baru telah dipersoalkan dan kelayakan karyanya dipertanyakan, bahkan proses kreatifnya dalam “merupa” telah diremehkan oleh sebagian perupa Indonesia, utamanya dalam hal ini terkait dengan undangan kepada dirinya untuk turut-serta berpameran dalam Festival Seni Kontemporer Artjog 2020. Karena itu ia pun merasa perlu membela keikutsertaannya tersebut dengan mengemukakan “ketersinggungannya” dalam bentuk esai yang bijak dan intelek untuk mencerahkan khalayak seni rupa Indonesia yang sudah “memandang rendah” karya-karya rupanya sekaligus cenderung melakukan “distorsi” atas istilah “perupa” dan “pemula”.

Dan demi hal ini pula, pertama-tama ia mesti memberitahukan kepada khalayak bahwa dunia seni rupa seyogianya bukanlah dunia yang baru bagi dirinya. Tetapi sudah ia akrabi sejak dini. Bahkan sewaktu SD, kakak dan temannya telah memprediksi ia akan menjadi pelukis. Hanya saja, sekalipun kini ia memproduksi karya seni rupa, ia tetap tidak berambisi menjadi pelukis seperti halnya ia juga tak berambisi jadi penyair meski sudah menulis puisi bertahun-tahun.

Ah, seorang GM kok sampai merasa perlu menceritakan hal semacam ini? Terus-terang, aku jadi sedikit terperangah membacanya. Tapi sudahlah. Yang jelas, menurut GM, label “pelukis” seperti halnya “penyair” sesungguhnya bukanlah sesuatu yang penting untuk dirinya. Tetapi yang lebih penting dalam hal ini adalah membiarkan karya itu sendiri berbicara ketimbang sibuk melihat siapa penciptanya. Lagipula, bukankah tidak sekali ini saja keikutsertaannya dalam festival seni rupa dipertanyakan orang?

“Ketika karya seni rupa saya ikut dipamerkan di Galeri Semarang dalam Biennale Jawa Tengah tahun 2018, ada yang mempertanyakan kenapa Goenawan Mohamad diajak ikut? Anda lihat, persoalannya bukan kenapa karya X ikut dipasang atau tak dipasang dalam biennale ini. Persoalannya adalah “status”: bisa diperkirakan saya belum dianggap pantas masuk dalam status—atau “kelas”?—pelukis…,” demikian ungkap GM merasa tidak terima.

Lalu dalam “Saya Tidak Tahu, Mari Kita Tenang”, sekali lagi ia pun mengemukakan ulang, bahwa “Tak produktif jika kemudian percakapan balik ke persoalan “siapa”—dalam hal ini diri saya. Soal “pemula” dan bukan itu juga soal biodata seniman, dan dengan menganggap penting itu kita mengulangi distorsi yang lama. Seandainya ada satu karya dahsyat dari Ukraina, misalnya, dan kita tak tahu siapa perupanya, apakah dia pemula atau maestro yang baru saja meninggal, saya kira karya itu tetap akan kita nilai sebagai karya yang hebat.”

Hahaha. Tentu saja apa yang digugat oleh GM ini, bahwa seorang perupa/pelukis janganlah ditengok dari kepemulaannya alias kehijauannya alias kebelum-berpengalamannya tetapi hendaknya dilihat dari karyanya semata, nampaknya memang sudah menjadi landasan pemikiran politik estetika Komunitas Salihara sejak masih bersarang di Utan Kayu.

Bukankah Nirwan Dewanto sang kurator seni rupa Salihara itu, dalam ihwal tentang sastra pernah berseru bahwa nama para penyair seyogianya ditutup saja dalam apa yang ia sebut “kematian penyair dalam metafora”? Sebab, menurutnya dalam esainya “Geografi” (dalam buku terbarunya Kaki Kata (hlm. 71-73): “Sesungguhnya penyair hanyalah perajin biasa.”

Simaklah lebih lanjut penggalan esai Nirwan yang saya kutip ini: “Setiap hari saya mengimpikan kematian sang penyair, ia yang, mungkin tanpa sadar, menganggap dirinya lebih penting ketimbang puisinya. Bila sang penyair mati, barangkali saja puisinya akan membentangkan diri di hadapan kita dengan leluasa. Atau puisi itu juga akan gugur, bila ia sekadar bayangan sang penyair. Tetapi saya tidak dapat membunuh para penyair, saya hanya mampu melupakan mereka, atau menempatkan mereka ke pojok panggung yang paling gelap.” Karena, “Bagi saya, puisi yang baik akan memisahkan diri dari riwayat si penyair: ia akan menjadi milik bahasa, milik tradisi sastra.”

Boleh jadi aku bisa bersepakat bahwa puisi yang baik, cerpen yang baik, novel yang baik, atau sebuah lukisan yang baik bukanlah tergantung siapa penciptanya. Sebab seorang penyair muda misalnya, bisa saja menghasilkan puisi-puisi yang lebih kuat dari pada pendahulunya yang telah gagap dan kehilangan kekuatan puitik akibat penumpulan daya intelektualitas sekaligus bakat alam. Tetapi, bagaimana mungkin sebuah puisi dapat memisahkan diri dari riwayat sang penyair? Bukankah segenap proses kreatif seorang penyair; petarungannya dengan bahasa, pergulatannya dengan tradisi sastra, atau kesadarannya menjelajahi aneka khazanah lain demi “mencari puisi” merupakan bagian dari kesadarannya sebagai individu, yang amat dipengaruhi oleh latar belakang sejarahnya, pendidikannya, pergaulan-persinggungan kreatifnya, lingkungan yang membesarkan dan dimasukinya, bacaan-bacaannya, dan pilihan ideologinya?

Ya, di sini saya jadi teringat pada esai kritik Endhiq Anang P., “Membedah Kaki Kelima Nirwan (Membongkar Ideologi Nirwan Dewanto dalam Buli-buli Lima Kaki)” yang—meskipun coba disangkal oleh Nirwan sendiri—berhasil menunjukkan dengan cukup telak, argumentatif, dan logis bagaimana selera estetika yang menentukan bentuk dan muatan gagasan puisi-puisi Nirwan cukup dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya (antara lain disebut Endhiq: hidup di sarang masyarakat urban (Jakarta), sering melakukan perjalanan ke Amerika Serikat dan Eropa, dan bergerak dalam komunitas kebudayaan urban yang disebut Komunitas Utan Kayu (KUK)).

Begitu pula halnya klaim sepihak Nirwan bahwa “Ayu Utami tidaklah terlahir dari sejarah sastra Indonesia” tetapi kok masih saja memakai bahasa Indonesia sebagai bahasa ekspresi dalam menulis itu, yang sudah dibantah oleh Saut Situmorang.

Jadi, kembali ke soal si GM, pertanyaanku kemudian adalah terlepas dirinya seorang pemula atau bukan dalam dunia seni rupa, apakah seorang Goenawan Mohamad merasa atau menganggap bahwa lukisan-lukisan karyanya memang layak untuk dipajang dalam ajang bergengsi seperti Biennale Jawa Tengah 2018 dan Artjog 2020?
***

BIENNALE Seni Rupa tentunya merupakan sebuah festival amat bergengsi di dunia seni rupa. Karena itu wajar saja apabila karya-karya yang nantinya dipamerkan dalam ajang tersebut merupakan karya-karya rupa terbaik yang harusnya telah melewati proses kuratorial ketat dengan kurator-kurator terpercaya. Sehingga untuk dapat menarik perhatian kurator dan diundang dalam even seperti ini, seorang perupa muda pun kerapkali harus berkarya sampai “berdarah-darah”. Lain halnya dengan mereka yang sudah punya nama dan karyanya biasa menjadi incaran para kolektor. Satu hal yang mana juga mengingatkan saya pada situasi dalam “sastra koran Indonesia”. Contohnya Hasan Aspahani (Juru Baca) yang belum lama ini sempat menyatakan di Facebook dan Youtube bahwa sebelum puisi-puisinya dimuat oleh Kompas, ia telah mengirimkan puisi secara rutin tiap minggu selama empat tahun lamanya ke surat kabar yang dianggapnya sebagai barometer sastra (berbahasa) Indonesia itu.

Lantas, dengan begitu, apakah diundangnya GM oleh panitia Biennale Jawa Tengah tahun 2018 dan Artjog 2020 berarti karya-karya rupanya memang diakui sebagai karya-karya yang berkualitas? Atau, karena ada pertimbangan faktor lain di luar estetika?

Ya, di sinilah pokok persoalannya. Ketersinggungan GM bagiku memang sangat jelas: Ia merasa telah dipandang remeh oleh sebagian pelaku seni rupa, karena dianggap sebagai “pemula” yang belum layak diundang untuk ikut berpameran dalam ajang-ajang seni rupa seakbar itu. Karenanya pula, bisa dipahami kenapa GM begitu sewot dan merasa perlu menulis pembelaan terhadap dirinya sendiri ketika sebagian kalangan pelaku seni rupa menilai bahwa keikutsertaannya adalah lantaran nama besar dan ketokohannya (sebagai tokoh pers berpengaruh, pemilik saham media, dan sastrawan) bukan karena mutu karya rupanya.

Padahal, seperti dibilang Hendro Wiyanto, bukankah “[…] seperti kebanyakan peristiwa “sebesar” biennale, sangat langka kurator menunjukkan dengan terang semua argumennya untuk memilih perupa. Dan di biennale-biennale mana pun—dari Kassel sampai Klaten—kurator tidak akan membikin kategori baru yang aneh, yang membeda-bedakan antara “perupa” dan “pemula” yang akan menyebabkan pekerjaan mereka makin runyam”?

Ya, itu sebabnya juga, dalam “Perupa?”,—seperti halnya editorial Jawa Pos Minggu 13 September dan komentar sejumlah seniman rupa di sana—GM nampak mencoba membawa perkara ini ke wilayah lapak pasar. Dimana pasar seni dilihatnya sebagai penyelamat dunia seni rupa Indonesia, terutama di masa pandemi ini ketika “para pemilik galeri dan perupa cemas dunia seni rupa kehilangan darahnya, yang tak lain adalah uang hasil jual beli.”

Maka tak heran jika sembari tak lupa menyatakan bahwa dirinya mengangankan “apresiasi yang dibangun dari penilaian kritik yang teruji wacana dan waktu” dan “museum seni rupa dan galeri yang tak komersial” dengan “persiapan kuratorial yang bermutu”, GM pun terlihat begitu mempercayai mekanisme pasar—yang disebutnya memiliki kemampuan mendaur ulang—dalam perkembangan seni rupa Indonesia kontemporer. Kata GM lagi: “Pasar—di balai lelang, di Art Market, di galeri—sangat membantu perkembangan seni rupa.” Sebab, “Seni rupa sudah tak punya lagi sistem patronase yang mapan. Tak ada lagi aristokrat, saudagar, atau Gereja yang menjamin kehidupan para perupa. Pasar berjasa menggantikan itu.”

Bahkan demi mendukung posisi dirinya sendiri dalam jagat seni rupa, ia juga mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti “Mengapa kita melukis, menggambar, membuat patung instalasi? Untuk apa, jika tidak bisa dijual?”, “Haruskah kerja melukis terarah untuk menjadi pelukis?”, “Tidakkah sebutan pelukis ini telah mengambil alih apa yang esensial: Kerja?”

Dengan demikian, GM seolah hendak mengatakan kepada kita, bahwa “meragukan kualitas karyanya dan memandang ihwal diundangnya dirinya untuk berpartisipasi dalam Artjog 2020 hanyalah akibat faktor ketokohannya di luar seni rupa” merupakan hal yang keliru, sesat pikir, bahkan boleh jadi sarat dengan kecemburuan. Karena—menurutnya—nama besar pelukis pun bukanlah penentu mutu seperti juga halnya ketokohannya tak bisa dijadikan patokan kualitas karyanya.

“Sebab “pelukis” akhirnya bertaut dengan “nama”, ketika karya seni membutuhkan identitas yang mirip merek dagang. Nama “Affandi”—bukan penampilan karyanya—menentukan bagaimana ia dihargai. Pasar cenderung menilai kanvas “Kaabah” yang ditandatangani Affandi—yang bukan karya terbaik—lebih mahal ketimbang karya terbagus Nashar, yang namanya, dalam peristilahan kini, “tidak menjual”,” tulisnya.

Lah trus, adakah pihak kurator dari kedua even yang tersebut di atas bisa mempertanggungjawabkan kualitas karya-karya GM secara terbuka, selain hanya menginformasikan bahwa karya-karya itu diapresiasi dengan nilai yang baik alias terjual mahal?

Dan yang lebih mencengangkan lagi buatku, “orang Barat yang lahir di Batang” ini tiba-tiba saja menganggap bahwa kita telah terjebak dalam teladan Eropa yang mengenal sistem gilda-gilda profesi dengan pembagian kerja secara tegas dan permanen, yang mana menurutnya tak dikenal dalam sejarah sosial dan tradisi kita sendiri: dimana seorang petani atau nelayan bisa juga menghasilkan sesuatu yang kini, seperti rautan Cokot atau patung Asmat, jadi karya seni.

Lho? Sejak kapan seorang GM mulai memandang sesuatu yang lokal lebih baik dari tradisi Barat? Bukankah selama ini siapapun tahu ia seorang pemuja Barat yang begitu gigih dalam memandang Barat sebagai puncak peradaban, pusat estetika dan kanon seni akibat berkah renaissance?

Bahkan KUK-Salihara lewat Nirwan Dewanto kerap menuduh sebagian seniman di tanah air—tidak hanya mereka dengan nasionalisme kultural sempit dan chauvinistis, tetapi juga para pengusung sastra kontekstual—telah menjalankan “Orientalisme Terbalik”—sebuah istilah yang jelas ngawur dari sisi semantik (Orient = Timur).

“Orientalisme, dahulu diamalkan pihak “Barat” untuk membekukan dan membakukan “Timur”. Di masa pasca-penjajahan, orang tempatan mengamalkan orientalisme baru untuk mengukuhkan “nasionalisme” atau sentimen “anti Barat”. Bagaimanapun pengetahuan kita tentang “tradisi” seringkali hanya merupakan terusan dari apa yang sudah ditemukan oleh Barat. Setidak-tidaknya kita tak dapat menemukan (kembali) “tradisi” tanpa jalan rintisan mereka,” begitulah tulis Nirwan dalam “Problem Lokalitas”—makalah untuk Kongres Cerpen Indonesia III di Pekanbaru, 26-30 November 2005.

Lalu, pembelaan GM pun nampak semakin emosional dan tak tentu arah ketika dengan entengnya ia berkomentar bahwa “Seorang pengarang yang jadi perupa, sebagaimana seorang perupa jadi sastrawan, itu bukan gangguan bagi kehidupan seni dan sastra.”

“Waktu perupa Danarto mulai membuat cerpen, karyanya disambut di kalangan sastra. Tak ada rasa cemas ada “tenaga asing”. Toh, Trisno Sumardjo aktif dalam dua bidang kreatif, juga Nasjah Djamin dan Motinggo Boesje. Di Jerman, Gunter Grass itu bukan hanya novelis, tapi juga perupa. Mari kita tenang,” katanya.

Lah, emangnya ada yang mempersoalkan contoh nama-nama yang ia sebutkan di atas itu dalam kiprah double mereka? Seturut pembacaanku atas kasus ini, kukira orang juga tidaklah meributkan seorang GM mau jadi penari dan komposer musik sekaligus kok? Yang dipertanyakan orang di sini itu kan kualitas karya-karya rupa seorang GM dan kelayakan ia diundang oleh Artjog? Gimana sih?

Konyolnya lagi, gugatan ngawur GM mengenai bidang kreatif rangkap ini kemudian kembali dibela oleh Wahyudin lewat tulisan anehnya “Perupa-Sastra” yang disebutnya sebagai “catatan kaki belaka dari pengetahuan umum di dunia seni rupa” dalam Jawa Pos Minggu kemarin (20 September 2020).

Dimana, selain cuma sibuk membeberkan sejumlah nama para perupa (mulai dari S. Sudjojono hingga Ugo Untoro dan F. Sigit Santoso) yang dikatakannya telah “mendayagunakan karya sastra, baik sebagai inspirasi maupun kontemplasi dalam karya seni rupa mereka, sampai yang menggubah sajak, mengarang cerita pendek, dan menulis novel”; dalam tulisannya ini, kurator seni rupa yang pernah memuji karya-karya rupa GM setinggi-tingginya langit lewat esainya “Pada “Binatang” Goenawan Mohamad (Jawa Pos, 17 November 2019) itu juga berusaha keras menyajikan contoh bahwa tak seorang pun sastrawan mempermasalahkan kebersastraan para perupa serupa “tenaga kerja asing” menyerbu “lumbung padi” sastra (di) Indonesia, mulai dari “sambutan baik” terhadap puisi-puisi Wianta sebagai “puisi konkret” ala “seniman avant-garde Prancis” oleh penyair Afrizal Malna dan Saut Situmorang serta novelis Sindhunata sampai kepada endorsement Puthut E.A. atas buku cerpen Ugo Untoro.

“Kita lihat, sekali lagi, penghormatan, pengakuan, dan penerimaan penulis, penikmat, pengamat, penyair, dan kritikus sastra itu terarah pada “karya” atau “pokok”, bukan “nama” atau “sosok” perupa-sastra. Mengapa itu sulit diamalkan untuk sastrawan yang berseni rupa? Mari berkaca,” kata Wahyudin menutup tulisan yang ditujukannya kepada kalangan seni rupa itu.

Pertanyaanku, betulkah seorang Wahyudin akan sekonyol ini membela karya-karya GM jika itu bukanlah karya seorang GM, sosok yang memiliki pengaruh begitu besar dalam kehidupan politik seni-budaya di Indonesia?

Betulkah, sekali lagi, kalau karya GM diapresiasi tinggi (bilang saja terjual mahal!), berarti karyanya itu memang sungguh layak seperti yang diungkapkan Galam Zulkifli? Atau karena ada alasan tertentu sehingga para kolektor dan orang-orang berduit mau merogoh kocek mereka membeli karya-karya tersebut? Atau, benarkah karya GM laku lantaran marketing yang sudah dibangun jauh sebelum ia melakukan proses kekaryaan (seni) sebagaimana kata Mikke Susanto? Jika demikian halnya, bisakah pendatang baru lain yang bukan GM mengerjakan marketing serupa?

Kemudian, apakah GM benar-benar yakin dirinya bakal diundang orang untuk memamerkan karya-karya rupanya jika ia bukanlah seorang Goenawan Mohamad melainkan Paijo mahasiswa ISI kere asal Batang yang baru duduk di semester dua, meskipun karya-karya itu sedahsyat karya si pelukis tak dikenal dari Ukraina?

Ah, kukira ocehanku cukup sampai di sini saja.[]

*) Penulis bukan seorang penjilat ataupun pembenci GM.

Berikut ini sebagian lukisan-lukisan GM (Goenawan Mohamad) dari pelbagai sumber:

One Reply to “KETIKA SI GM TAK MAU DISEBUT PEMULA DALAM SENI RUPA”

  1. Yaa,,review yg simple, tanpa pledo(i). Bagaimana anda berdiri dengan mata telanjang tajam ditengah badai pasir imajiner ini?!?
    NB; btw turut berduka cita(?) anda melepaskan diri dari institusi tsb diatas.

Leave a Reply

Bahasa »