Kritik Sastra Tanpa Teori?!


Saut Situmorang

Sungguh mencengangkan betapa di Zaman Teori saat ini kita masih membaca pendapat seorang Umar Junus, ahli sastra tinggal di Malaysia, yang menganjurkan sebuah pembacaan karya sastra yang tidak tergantung pada teori kritik sastra. Dalam sebuah esei yang mengomentari esei-pengantar “Cerpen yang Menghindari Konflik” I Nyoman Darma Putra di buku Waktu Nayla: Cerpen Pilihan KOMPAS 2003, Umur Yunus menyatakan bahwa:

[…] [P]enekanan kepada konflik dan pengabaian hal lain yang mendukung kehadiran suatu karya sastra akan menyebabkan kita mengabaikan sesuatu yang milik karya yang mungkin milik utamanya. Namun begitu, cara pendekatan begini biasa ditemui dalam kajian sastra kita terutama bila kita mula [sic] dengan konsep yang kita bawa dari luar [?] tentang bagaimana mestinya suatu karya sastra, atau bagaimana suatu karya mesti dikaji, yang biasa ditemui pada kajian yang melaksanakan suatu teori, melihat suatu karya dari suatu teori dan pendekatan dan membutakan diri tentang adanya kemungkinan lain. Ia tidak bertolak dari dalam karya, dari hasil pergelutan dengan karya. Baginya teori atau pendekatan lebih utama dari karya. [….] Akibatnya mereka gagal untuk menemui kekayaan suatu karya. Karya bagi mereka akan monolitik. (“Sastra Koran dan Kesastraan”, KOMPAS Minggu, 16/11/03)

Bagi saya, apa yang dimaksudkan oleh Umar Junus dalam kutipan eseinya yang seharusnya membicarakan soal “sastra koran dan kesastraan” di atas adalah bahwa setiap pembacaan atas karya sastra yang berdasarkan suatu teori kritik sastra tertentu pasti akan tidak memuaskan, tidak relevan, makanya pasti akan gagal. Yang membuat kegagalan dimaksud, menurut Umar Junus, adalah bahwa si pembaca sudah mempersiapkan dirinya terlebih dulu dengan suatu teori pembacaan tertentu dan pembacaan atas karya itu sendiri hanyalah sekedar pembuktian teorinya itu belaka.

Tapi Umar Junus gagal meyakinkan saya dengan asersinya yang sangat tidak berdasar di atas. Bahkan pembacaannya atas esei-pengantar I Nyoman Darma Putra terkesan sangat superfisial. Kalau Umar Junus teliti membaca esei tersebut maka dia akan menemukan bahwa para mahasiswa Australia yang menemukan bahwa cerpen kontemporer Indonesia, khususnya yang mereka baca di situs Internet KOMPAS, “minim atau lemah konflik”? atau dalam istilah Darma Putra, yang membuat Umar Junus pusing tujuh keliling, “cerpen yang menghindari konflik”? sampai kepada kesimpulan demikian setelah melakukan: penterjemahan cerpen ke dalam bahasa Inggris, pengolahan cerpen menjadi naskah drama dalam bahasa Indonesia, dan melakonkan drama tersebut. Dan semuanya ini dilakukan dalam konteks studi Sastra Indonesia secara akademis di sebuah perguruan tinggi. Pernyataan Umar Junus bahwa “bukan tidak mungkin pandangan mahasiswa Australia tadi dipengaruhi oleh cerita koboi yang kehadirannya tergantung kepada konflik” cuma menunjukkan betapa jauh lebih kritis pandangan mahasiswa asing dibandingkan seseorang yang “ahli sastra”! Bukankah dia semestinya menunjukkan di mana, menurut dia, kelemahan atau ”kegagalan” pembacaan Darma Putra atas kedelapanbelas cerpen pilihan KOMPAS itu berdasarkan teks esei Darma Putra itu sendiri ketimbang beretorika tentang bagaimana cara membaca sastra? Benarkah Darma Putra dalam pembahasannya yang berdasarkan tema “cerpen yang menghindari konflik” itu “tidak bertolak dari dalam karya, dari hasil pergelutan dengan karya”?

Kalau kita sedikit flashback ke tahun 1980an maka kita akan teringat bahwa Umar Junus pernah menjadi seorang perintis dalam memperkenalkan, walau hanya pengantar belaka, satu-dua teori kritik sastra mutakhir ke dalam wacana sastra kontemporer Indonesia. Pekerjaan positifnya itu bisa kita maknai, paling tidak, sebagai sebuah kesadarannya akan betapa pentingnya pengetahuan akan teori pada sebuah interpretasi karya sastra. Sebuah pembacaan kritis tidak akan mungkin terjadi tanpa berlandaskan suatu teori kritik tertentu. Sebuah interpretasi kritis tidak mungkin terjadi hanya tergantung pada kata hati seorang pembaca belaka.

Maka bukankah sesuatu yang mencengangkan sekarang kita membaca asersi Umar Junus bahwa sebuah interpretasi berdasarkan suatu teori tertentu hanya akan mengorbankan karya sastra belaka, membuatnya monolitik, mengabaikan hal-hal lain yang juga dikandung oleh karya tersebut tapi luput dari jangkauan paradigma teori dimaksud, hingga interpretasi tersebut cuma merupakan sebuah kegagalan pembacaan! Di sisi lain, bukankah pandangan Umar Junus ini secara implisit yakin akan adanya sebuah pembacaan total, sebuah teori total, yang mampu menyingkapkan segala sesuatu yang mungkin dikandung oleh sebuah karya sastra? Dan “bahasa” adalah makhluk ajaib tersebut, menurut Umar Junus! “Bahasa” itu penting karena perannya sebagai “pembentuk makna karya”. Ia lebih dari hanya alat untuk pengucapan sastra. Tanpa penguasaan bahasa kita akan gagal untuk memahami Belenggu dan novel-novel Iwan Simatupang, begitulah kesimpulan Umar Junus.

Tapi dia lupa untuk menjelaskan apa “bahasa” yang dia maksudkan itu! Dia juga seolah-olah menyatakan bahwa sebuah pembacaan yang berdasarkan “ada-tidaknya konflik dalam suatu cerpen”, misalnya, bukanlah sebuah pembacaan yang berdasarkan “bahasa”! Kalau memang benar begitu, lantas bagaimanakah seorang pembaca itu membaca karya sastra kalau tidak melalui bahasa!

Saya tidak yakin ada sebuah teori, sebuah pendekatan, sebuah metode interpretasi, yang mampu menerang-jelaskan segala sesuatu tentang karya sastra. Sebuah textual study pun paling banter hanya mampu menunjukkan tekstur anatomis sebuah karya sastra, tidak memuaskan bagi mereka yang ingin juga mengetahui konteks sosial karya atau proses penciptaannya. Sebuah teori memang mengisyaratkan sebuah interpretasi yang menekankan aspek tertentu dari karya yang sedang diinterpretasi sebagai fokus pembacaan. Dan jelas pemakaian sebuah teori tertentu selalu akan berarti pemilihan karya tertentu mana yang akan dibicarakan menurut teori tersebut. Hanya karya-karya yang relevan dengan teori itulah yang memang mesti dibicarakan, kalau tidak ini namanya mengada-ada!

Sah-sah saja kalau Umar Junus menganggap bahwa “konflik” tidak dirasakannya ada pada Waiting for Godot-nya Samuel Beckett walau saya sendiri akan menyatakan justru “konflik” antara peristiwa penantian (harapan akan kehadiran) dan ketidakhadiran tokoh bernama Godot itulah yang merupakan “sesuatu yang [merupakan] […] milik utama [karya]” tersebut. Pembacaan atas Waiting for Godot berdasarkan konteks sosial penciptaannya, kondisi kehidupan intelektual Eropa setelah dua Perang Dunia dan pengaruh filsafat Eksistensialisme Perancis khususnya, juga akan lebih komprehensif menjelaskan makna karya tersebut, ketimbang sekedar “penguasaan bahasa” yang Umar Junus sendiri tahu apa maksudnya itu.

Sebuah karya sastra terbuka untuk dibaca dengan metode pembacaan apa saja untuk mengungkapkan sebanyak-banyaknya makna yang mungkin dikandungnya. Sebuah pembacaan yang gagal adalah pembacaan yang tidak bisa dibuktikan relevansinya di dalam atau di luar teks. Dan biasanya pembacaan yang tidak berdasarkan teori tertentu, pembacaan berdasarkan kata hati belakalah yang merupakan pembacaan yang gagal itu.

Umar Junus sendiri dalam eseinya tersebut, anehnya, justru setuju dengan apa yang ditemukan oleh para mahasiswa Australia yang menjadi landasan pembahasan Darma Putra:

Setelah membaca ke-18 [sic] cerpen pilihan Kompas 2003 dalam antologi [Waktu Nayla], saya menemukan bahwa komentar mahasiswa Australia bahwa cerpen Indonesia minim atau lemah konflik ada benarnya. Banyak cerpenis yang karyanya terpilih dalam antologi ini, sadar atau tidak [sic], sepertinya menghindar menampilkan dan menggarap konflik. Cerpen yang menggarap konflik, perwatakannya kendur. Sebaliknya, kalau perwatakannya kuat, konfliknya kendur.

Kontradiksi yang dominan mewarnai esei Umar Junus akan lebih nyata kalau isi eseinya itu kita sesuaikan dengan judulnya. Bukankah kita para pembaca mengharapkan dia akan membicarakan tentang “sastra koran dan kesastraan”, kalau kita memang menganggap “bahasa” judul eseinya itu bisa dijadikan pedoman pembacaan? Ternyata kita, paling tidak saya, salah. “Bahasa” judul esei Umar Junus hanya menyesatkan saja untuk dijadikan dasar pemahaman akan makna eseinya yang sama sekali tidak membicarakan tema besar “sastra koran dan kesastraan”!
***

Seperti yang sudah berulang-ulang saya tuliskan dalam esei-esei saya ?sampai seorang kawan mengatakan gagasan saya itu-itu saja!? sastra Indonesia adalah sastra yang tidak memiliki tradisi kritik(us) sastra. Krisis kritik(us) sastra ini lebih banyak disebabkan oleh anti-intelektualisme para penulis tentang sastra Indonesia yang secara umum membaca sastra tanpa landasan teori yang bisa dipertanggungjawabkan. Secara umum pembicaraan atas karya sastra, atau sastrawan, cuma didasarkan pada kesan-kesan impresif belaka, atau mungkin pada apa yang disebut Umar Junus sebagai “bahasa” itu. Teori mereka adalah teori tergantung pada kata hati belaka! Pembacaan seperti inilah yang sebenarnya membuat karya sastra Indonesia itu menjadi monolitik, menjadi begitu gampang untuk dipahami. Pembacaan seperti inilah pembacaan yang gagal itu. Pembacaan ini gagal karena hanya berisi pernyataan-pernyataan umum bersifat asersif yang sama sekali tidak pernah dibuktikan berdasarkan studi tekstual ataupun studi kontekstual atas karya yang sedang dibaca. Pembacaan seperti inilah pembacaan yang anti-teori itu dan merupakan pembacaan sastra yang “biasa ditemui dalam kajian sastra kita”.

Saya justru melihat pembacaan I Nyoman Darma Putra atas kedelapanbelas cerpen dalam antologi Waktu Nayla adalah anomali dalam kondisi kritik sastra Indonesia saat ini. Dia berusaha dan berhasil menunjukkan tesis eseinya atas delapanbelas cerpen pilihan KOMPAS, yaitu penghindaran konflik dalam cerpen-cerpen tersebut, dalam sebuah pembahasan yang elaboratif pemaparan argumentasinya. Saya justru tidak menemukan hal ini dalam esei Umar Junus! Kelemahan esei Darma Putra hanya bahwa dia tidak menjelaskan terlebih dulu apa definisi teoritisnya tentang konsep “konflik” dalam fiksi, khususnya cerpen, tapi malah mengandaikan pembacanya sudah serta-merta mengerti apa yang dimaksudkannya dengan konsep “konflik”nya itu.

Diambil dari buku Politik Sastra (2009)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *