Sunu Wasono
LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (34)
Sejujurnya ketika awak akan mengawali cerita di bagian ini awak harus membaca paling tidak dua bagian cerita sebelumnya. Empat hari tak berhubungan dengan cerita yang sedang ditulis rasanya seperti kehilangan tali rasa sehingga ketika hendak menulis lanjutannya butuh semacam pemanasan. Tak hanya olahraga dan olah cinta yang membutuhkan pemanasan. Olah cerita pun membutuhkannya. Untunglah ada Lik Mukidi. Tak apa sedikit repot. Sebetulnya tak bisa dibilang repot. Dengan sepiring rondo royal dan seteko kecil kopi hitam, bereslah urusan. Moga-moga dia terpancing. Tapi awak harus mulai dari mana agar dia terpancing. Oke, awak singgung saja cerita di bagian terakhir.
“Lik, bagaima…”
“Kemarin merayakan ulang tahun kenapa tak kau undang aku. Keponakan macam apa kau ini.”
Baru awak mau bilang “bagaimana pendapat Lik Mukidi tentang Kerpi”, eh dia sudah tanya duluan. Mana tentang ulang tahun awak pula. Bakalan runyam ini.
“Saya tak merayakan, Lik.”
“Jangan bohong. Telinga aku itu seratus. Ada suara lirih saja sampailah ke telinga aku. Jangan macam-macam kau.’
“Benar, Lik. Saya tak bohong,” bantah awak.
“Katanya ada nasi kuning. Ada teri Medan. Potong ayam pula. Sombong kali kau. Takut aku minta ya.”
“Ya ampun. Nasi kuningnya cuma sepiring, Lik. Sekadar syarat. Itu juga dibeli di warung dekat perumahan Lipi situ. Daging ayam beli dari Bang Tohir, pedagang keliling yang suka lewat sini.”
“Kue ultahnya?”
“Tak ada, Lik.”
“Miskin kali kau.”
“Enakan rondo royal, Lik. Apalagi disiram kopi Sidikalang. Mak Nyus tenan.”
“Jangan cuma ngomong. Mana. Mana.”
Alhamdulilah. Pintu masuk sudah terbuka. Sebentar lagi pasti seru. Awak bakal punya energi lagi buat menulis. Awak pun ke dapur. Ternyata bini awak sudah ada di dapur dan sedang menyiapkan “sajen” untuk Lik Mukidi. Alhamdulilah. Jalan awak dimudahkan. Ya begini ini yang namanya “rejeki anak soleh”.
Tak butuh waktu lama. “Sajen” pun terhidang.
Tak perlu dipersilakan tuan rumah, Lik Mukidi langsung menyambar rondo royal. Tapi, baru sedikit masuk ke mulut, Lik Mukidi buru-buru mengeluarkannya. “Wuahhheuahaah…panas.”
“Sabar, Lik. Tunggu bentar biar agak dingin. Tak ada siapa-siapa. Semua untuk Lik Mukidi,” ujar awak.
“Apa kau bilang?”
“Maaf, maaf, Lik. Jangan emosi dong.”
Untunglah Lik Mukidi tak memasalahkan kata-kata awak lebih jauh. Dia lepaskan rondo royal dari tangannya. Lalu dia menyeruput kopi. Saat menyeruput, matanya dia pejamkan. Sruff…”aaahhh.” Yang bikin tak tahan “ah”-nya itu. Sungguh ia terlihat sedang menikmati. Tapi awak tak mengomentarinya. Bisa-bisa ia marah lagi kalau komentar awak tak tepat.
Bolehlah dibilang situasi tak mengenakkan itu hanya berlangsung sebentar. Setelah itu, obrolan pun bergulir dan lancar. Mata Lik Mukidi berbinar. Semangatnya berkobar-kobar. Semua berkat rondo royal dan kopi Sidikalang. “Mantap kali kopinya,” puji Lik Mukidi.
“Sewaktu-waktu saya siap menuang kalau masih kurang. Di dapur juga ada pisang kepok dari Haji Natzir kalau Lik Mukidi mau.”
“Pisang kepok diapain?” tanya Lik Mukidi pura-pura tak tahu.
“Monggo kersa. Direbus bisa, dikukus pun oke.”
“Kedengarannya menarik.”
“Siap beraksi,” kata awak.
Edan. Bini awak sudah menyiapkan. Cekatan sekali. Dia bisa membaca keinginan tamunya. “Bini siapa dulu dong,” gumam awak. “Dalam urusan begini nih, dia tampak bergune di depan suami,” kata awak sok pakai logat Melayu.
“Tahu gitu, tak kusiapkan tadi. Menyesal aku,” sambar bini awak dari dalam kamar mandi.
Waduuh, kedengaran. “Bukan. Bukan kau, sayang. Saya mengomentari itu yang lagi di sinetron, di tivi.” Awak benar-benar gelagepan.
“Halahhh. Alesan.”
Awak tak mau ribut-ribut dengan bini. Sebentar juga sudah baikan lagi. Awak bawa saja pisang kepok rebus itu ke teras. Lik Mukidi tambah girang. Kini saatnya awak mulai ngobrol serius dengan Lik Mukidi.
LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (35)
Terbukti kecukupan “sajen” besar pengaruhnya terhadap kelancaran obrolan. Tak sia-sia rondo royal dan pisang kepok yang awak suguhkan. Buktinya Lik Mukidi langsung berapi-api saat awak ajak berdiskusi tentang cerita yang sudah awak posting dan bagaimana kelanjutannya.
“Aku sebetulnya kecewa dengan sikap Kerpi. Kenapa dia kau buat begitu? Dia terlalu feminis,” ujar Lik Mukidi mengawali diskusi.
“Seharusnya bagaimana, Lik?” kejar awak.
“Seharusnya tak dilukiskan macam itu. Aku sudah membayangkan dia bakal pingsan ketika Bambang Kumbayana bilang bahwa pada hari itu juga dirinya harus pergi meninggalkan Kerpi, Haswatama, dan kerajaan Timpurusa. E, ternyata dia tenang-tenang saja. Aku kecewa karena ceritanya tak sesuai dengan harapan aku.”
Nah, di sini awak punya kesempatan menguliahi Lik Mukidi. Dia harus paham teori sastra. “Wajar Lik Mukidi kecewa. Itu biasa dalam proses pembacaan. Tak semua cerita sesuai dengan harapan pembaca. Kasus novel “Belenggu” karya Armin Pane dapat dijadikan contoh. Pada masa novel itu terbit, banyak pembaca yang kecewa dan mengecam. Baik dari segi struktur dan isinya, orang tak suka. Orang ingin mendapatkan moral cerita yang jelas. Novel itu tak menyediakan. Kisahnya lebih banyak menyodorkan percakapan batin. Tapi beberapa puluh tahun kemudian, pembaca di tahun 70-an memuji novel itu. Novel itu dianggap sebagai novel terbaik sebelum perang kemerdekaan. Contoh lain lagi bolehlah saya sebut novel “Khotbah di Atas Bukit” karya Kuntowijoyo. Ketika cerita itu dimuat sebagai cerita bersambung di harian Kompas, ada pembaca yang protes dan minta ke Redaksi agar dihentikan pemuatannya. Tapi novel itu setelah terbit sebagai buku mendapat banyak tanggapan. Di kelas-kelas dibicarakan sebagai bahan kuliah dan diskusi. Saya kira, sudah saatnya bagi Lik Mukidi untuk memperbaharui horizon.”
“Wah wah wah. Sombong kali kau. Mentang-mentang kau makan sekolahan. Berani kau menguliahi aku. Jangan kau kira aku tak pernah kuliah. Tahu kau, aku dulu kuliahnya di air.”
Waduh, Lik Mukidi mulai ngaco. Kalau sudah begini, tak mempan diobati dengan jenis kopi apa pun.
“Kuliah di air? Saya tak paham. Kuliah macam apa itu, Lik.”
“Begini begini aku punya ilmu. Aku belajar ilmu di tempuran, di titik di mana dua sungai bertemu. Itu tempat angker, tempat lelembut Angga Inggi bersemayam. Tak jarang di situ berdiri kerajaan lelembut. Bayangkan, aku kumkum di situ tiap malam Jumat Kliwon. Sebelumnya aku harus puasa ngrowot, kadang-kadang mutih atau ngebleng. Guru mewejang ilmu di situ. Jangan main-main. Kalau sudah tamat, kau tahu, batu koral pun akan hancur bila aku remas. Sekeras apa pun itu batu kalau aku kremus akan lebur. Batu segede kebon kalau aku pukul akan ajur sewalang-awalang. Mengerikan kan?”
“Bukan main. Lik Mukidi waktu itu sampai tamat, gak?”
“Tidak.”
“Nah, berarti sekarang tak bisa dong menghancurkan koral dengan sekali remas. Ha ha ha. Kalau meremas rondo bisa ya Lik. Ha ha ha.”
“Hus, memang aku laki-laki macam apa?”
“Maksud saya, meremas rondo royal, Lik. Ha ha ha. Santailah.”
Awak menang. Lik Mukidi benar-benar klipuk, tak berkutik. Tapi awak jadi merasa kasihan sama dia. Maka awak ajak lagi dia kembali ke topik obrolan semula.
“Tapi janganlah kau bandingkan tulisanmu dengan “Belenggu” atau “Khotbah di Atas Bukit”. Itu karya besar, ditulis oleh sastrawan besar. Lha kau. Kau ini siapa? Kau bukan siapa-siapa. Kau cuma tukang bual macam Ajo Sidi dalam “Robohnya Surau Kami”-nya A.A. Navis. Boleh pede, tapi jangan kelewat gede. Coba kita diskusikan lagi tokoh Kerpi. Masa dia begitu. Apa tak salah itu. Coba kau katakan, apa argumen kau,” tantang Lik Mukidi.
“Sebentar. Maunya Lik Mukidi bagaimana. Dia harus jadi perempuan macam mana?”
“Perempuan biasa saja. Dia tak boleh selancang itu. Harusnya dia menangis saat mendengar kata-kata suaminya. Minimal menangis, maksimal pingsan, atau bahkan gila. Bayangkan baru seminggu nikah sudah ditinggal pergi. Apa tak sakit. Dia perempuan. Wanita lho. Wanita itu akronim ‘wani yen ditata.’ Ngerti nggak kau?”
“Ahai, itu pandangan kuno sekali, Lik. Wanita, wani yen ditata (wanita baru berani kalau ditata (dipimpin). Bah. Tak kontekstual. Apa di benak Lik Mukidi, kewajiban perempuan itu hanya macak, masak, manak?”
“Faktanya begitu. Bulik kau kerjanya sehari-hari macak (dandan) dan masak. Manak sudah pasti. Nyatanya dari rahimnya sudah lahir 8 thuyul. Hayo, mau apa kau. Malah seharusnya tambah dua M lagi.’
“Apa itu, Lik?”
“Marah-marah.”
“Ha ha ha. Habis Lik Mukidi kerjaannya tiap hari cuma nyetheti burung. Bagaimana Bulik tak marah-marah. Mending setelah dicetheti burungnya berkicau. Lha malah loyo. Ha ha ha.”
“Sudah. Sudah. Sudah. Arahnya pasti ke situ kau. Kembali ke topik semula saja.”
Awak heran. Terlepas dari soal sajen, kali ini dia bersemangat. Biasanya kalau sudah kecokrok (terluka) hatinya, dia mutung. Rupanya dia sangat menaruh perhatian terhadap tokoh Kerpi.
“Begini, Lik. Saya sebetulnya merasa seperti kena tampar muka saya saat Kerpi berkata begitu tegas terhadap ayahnya dan suaminya. Saya juga tak menyangka bahwa Kerpi punya pandangan macam itu. Hebat benar dia.”
“Bukannya kau yang menulis. Bukannya kau yang membuat Kerpi bicara macam itu. Aku sekarang justru heran sama kau.”
Kembali awak mendapat kesempatan untuk “membuka wawasan” (maksudnya membuly) Lik Mukidi. Tapi awak perlu memikirkan cara agar dia tak marah. Awak tak mau kejadian serupa terulang lagi. Kalau sampai dia bilang kuliahnya di alam kubur apa awak tak terbahak-bahak lagi. Awak mesti sediakan kopi luwak dulu untuk Lik Mukidi agar dia enak saat mendengarkan “kuliah” dari awak.
LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (36)
Kopi sudah terhidang, juga penyertanya. Lik Mukidi tampak ceria. “Kita lanjutkan, Lik. Saya ingin menjawab pertanyaan Lik Mukidi. Begini, Lik. Pada saat kita berbicara tentang “Lenga Tala” posisi saya adalah sebagai pembaca, tak sebagai narator. Saya keluar dari cerita itu. Lalu menjadi pembaca. Sebagai pembaca, saya bebas memaknai cerita yang saya baca. Jadi, posisi saya sama seperti posisi Lik Mukidi.”
“Terserah kau. Mau kau sebagai pembaca, sebagai penulis, atau sebagai tukang ngibul, buat aku tak penting. Pokoknya aku sayangkan Kerpi kau bikin begitu. Untung tak kau bikin dia ikut suaminya. Berkelana, pergi dari satu tempat ke tempat lain, belajar memanah, belajar pencak, jungkir balik. Kalau dia sampai ikut pergi, siapa yang akan urus anak semata wayangnya?”
Agaknya Lik Mukidi perlu dikasih pembanding agar tahu juga bahwa orang lain tak harus mengamini pendapatnya.
“Tapi ada pembaca yang bilang ‘kalau aku jadi Kerpi, aku ikut pergi’. Bagaimana, Lik.”
“Itu hak dia. Terserah. Bagiku, Kerpi harus tetap menjadi seorang ibu bagi Haswatama. Tak perlu ia ikut menggelandang macam Kumbayana.”
“Baik. Baik. Tak jadi soal bagi saya, Lik. Sikap Lik Mukidi bagus juga.”
“Sudah pasti. Tak sekadar bagus, tapi terbagus,” ujar Lik Mukidi.
Awak tak mau ambil risiko, tak mau ambil posisi yang bikin Lik Mukidi naik emosinya. Karena itu, tak awak bantah dia. Awak biarkan dia tenggelam dalam pikirannya sendiri. Awak biarkan juga dia sibuk dengan kopi dan suguhan awak. Mungkin dia sudah lelah diskusi, kurang semangat. Bagi dia, cerita “Lenga Tala” tak penting lagi. Yang penting menyeruput kopi dan “nggayemi” rondo royal (menikmati rondo royal). Tapi nanti dulu.
Tiba-tiba ia mengacungkan jari telunjuk kanannya, lalu jari itu ia tekankan ke keningnya sendiri. Tampaknya ia teringat pada sesuatu. “Kau bilang sebelumnya bahwa kau merasa tertampar oleh kata-kata Kerpi. Apa maksud kau?”
Waduh, ini balik lagi ke soal semula. Alamat masih lama dan panjang urusannya. “Saya tertampar dalam posisi sebagai pembaca, Lik. Saya semula menyangka Kerpi bakal meratap setelah mendengar keputusan Kumbayana. Saya cenderung berpikir seperti Prabu Kerpaya yang kelewat khawatir pada keadaan psikis Kerpi. Gak tahunya Kerpi malah bikin kejutan. Ia tegar dan tak meratap.”
“Oke, tapi kenapa kau tertampar. Kenapa begitu saja kau tertampar. Kenapa. Kau paham gak yang aku maksud?”
“Sabar, Lik.”
“Jawab aku dulu. Sabar sabar.”
“Saya tertampar karena sudah sok uzon. Secara tak sadar sudah ikut meremehkan Kerpi. Begitu, Lik.”
“Nah, begitu. Dari tadi kek. Pakai bahasa bumi saja.”
Awak sempat membatin, apa Lik Mukidi mendem kopi. Tapi rasanya aneh kalau dibilang mendem kopi. Mendem ciu baru wajar. Awak jadi malas melanjutkan perbincangan dengan Lik Mukidi karena emosi dia mulai tak stabil. Tapi anehnya awak masih juga ingin bertanya.
“Lik, Lik Mukidi.”
“Ada apa. Kenapa volume suara kau makin keras. Mau apa lagi kau?”
Waduh, watak gentho Lik Mukidi keluar. Ah, tanggung. “Mau tanya, Lik.”
“Cepat katakan!”
Malah dia yang volume suaranya tambah keras. Nadanya tinggi pula. Tapi sudah telanjur basah. “Lik Mukidi yakin Kerpi bisa mengasuh dan membesarkan Haswatama?”
“Haqul yakin.”
Lik Mukidi bangkit dari duduk, lalu bergerak ke kanan, ke kiri, balik lagi, lalu berbicara seraya memandang ke kejauhan. Mirip aktor teater yang sedang beraksi di atas panggung. Dia panjang lebar menjelaskan bagaimana seorang perempuan itu pada dasarnya perkasa. Banyak contoh dia sebut. Katanya laki-laki yang ditinggal mati istri umumnya cengeng dan hidupnya jadi berantakan. Tak becus mengurus anak-anaknya. Lalu buru-buru cari bini lagi. Alasannya macam-macam. Menghindari zinahlah, tak kuat menahan syahwatlah, pengin bersedekahlah. Macam-macam alasan dikemukakan. Sebaliknya, katanya, janda lebih tangguh, lebih tabah. Pikirannya tak dirasuki dan dikuasai syahwat. Ia tak mudah tergoda pada rayuan laki-laki yang suka iseng. Meski ditinggal suami, ia tetap tegar dan kuat. Ia berhasil mendidik serta membesarkan anak-anaknya. “Aku kalau tak ada bulik kau, tak bisa dibayangkan anak-anak itu, adik-adik kau itu, akan jadi apa,” pungkasnya.
Awak baru kali ini mendengar pengakuan Lik Mukidi. Jarang, bahkan hampir tak mungkin, Lik Mukidi mau mengakui kekurangannya sendiri. Ada yang bertentangan pada diri Lik Mukidi. Di satu sisi dia meremehkan perempuan, yang penting istri itu macak, masak, manak. Masih ingat awak pada selorohnya yang tak lucu bahwa perempuan itu masih punya em em lainnya. Katanya em pertama menstruasi, em kedua mlumah, dan em ketiga mekakah. Ini guyon vulgar dan banal. Tapi di sisi lain, ia mengakui bahwa perempuan itu perkasa. Lebih tabah dan kuat darpada laki-laki yang mudah mlehe. Ironi atau tak kekonsistenan ini di lain waktu akan awak gali.
Sekarang awak harus mengakhiri obrolan dengan Lik Mukidi. Tapi awak baru mau bilang cukup kepada dia, Lik Mukidi sudah keburu mendahului awak.
“Kalau kita ngobrol terus, kamu nulisnya kapan. Kita sudahi saja. Kau lanjutkanlah cerita “Lenga Tala”-,mu itu. Kumbayana mau ke mana, mau kau apakan. Cepatlah kau tulis. Kalau tak cepat, cerita tak maju-maju.”
“Lik, obrolan kita ini bagian dari cerita lenga tala,” timpal awak.
“Apa? Jangan macam-macam kau. Aku malu.”
“Kenapa malu? Nama Lik Mukidi sudah masuk ke dalam cerita “Lenga Tala”. Lik Mukidi tak bisa keluar lagi.”
“Alamak. Mati aku. Jangan kau bikin aku malu.”
“Nama Lik Mukidi sudah tersebar ke mana-mana.”
“Alamak. Gila kau.”
Lik Mukidi tampak gelisah. Moga-moga tingkahnya tak seperti aktor beraksi di panggung lagi. Ketika ia lagi kebingungan, Bulik Mukidi meneleponnya. Muka Lik Mukidi mendadak pucat. Kata orang Jawa, begitu istrinya minta segera pulang, Lik Mukidi rindhik asu digitik. Ia langsung melesat pulang. Sambil membuka pintu dia masih sempat mengancam awak, “Awas, kalau cerita kau ini nanti dibukukan, aku harus menyensornya. Catat kata-kataku. Asalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (37)
Tak ada upacara pelepasan. Begitu Kerpi mengizinkannya, Bambang Kumbayana mengambil peralatan yang telah ia siapkan malam sebelumnya. Ia mencium anak lanangnya, menggendongnya sebentar, lalu menyerahkannya kembali kepada Kerpi. Dipeluknya erat-erat Kerpi sejenak, lalu dikecup pula keningnya. Tak ada kata perpisahan, apalagi puisi, terlontar dari mulut Kumbayana. Tapi pelukan, kecupan, dan tatapan mata Kumbayana adalah “puisi” terindah bagi Kerpi. Dan untuk itu, Kerpi tak sanggup menyembunyikan rasa harunya. Diusapnya berkali-kali matanya yang basah itu dengan selendangnya. Para abdi dalem yang menyaksikannya larut dalam perasaan masing-masing. Tak pelak, mereka pun ikut menitikkan air mata.
Meskipun tak ada upacara pelepasan, Prabu Kerpaya tetap menyiapkan prajurit-prajurit terpilihnya untuk mengawal Bambang Kumbayana sampai di batas kota. Sekali lagi dilambaikan tangan Bambang Kumbayana ke arah Kerpi yang menggendong Haswatama dan Prabu Kerpaya serta segenap staf istana. Dengan sigap Bambang Kumbayana menaiki kudanya dan pelan-pelan meninggalkan istana Timpurusa diiringi segenap prajurit yang diperintahkan Prabu Kerpaya untuk mengawalnya. Di sepanjang jalan yang dilewati Bambang Kumbayana, penduduk menghormati Bambang Kumbayana dengan menunduk atau menyembah.
Sampai di tepi kota, Bambang Kumbayana berhenti. Ia turun dari kudanya dan memanggil panglima kerajaan. Ia berbisik kepada panglima kerajaan yang disambut dengan anggukan berkali-kali dan sikap menyembah dari panglima.
“Saudara-saudara sekalian, prajurit Timpurusa yang saya hormati. Terima kasih atas kepedulian dan kebaikan hati Saudara-saudara sekalian. Semoga kebaikan Saudara-daudara mendapat balasan dan ganjaran dari dewa. Tanpa mengurangi rasa hormat saya terhadap Saudara-saudara, saya mohon pengawalan sampai di sini saja. Saya mohon Saudara-saudara segera kembali ke kerajaan. Sekali lagi, cukuplah saya diantar sampai di sini saja. Selanjutnya saya akan menempuh perjalanan sendiri menuju Pancalaradya.
Ketika ada yang bertanya untuk apa jauh-jauh ke sana, Bambang Kumbayana tersenyum saja..Dikatakannya bahwa ia ingin menemui teman seperguruannya yang sudah puluhan tahun tak bertemu. Bambang Kumbayana bilang bahwa ia sudah amat sangat kangen dengan teman seperguruannya. Ia ingin menemuinya untuk ngobrol sambil melepas kerinduan. Jikalau rasa kangen itu datang, katanya, ia tak sanggup mengendalikannya. Terhalang oleh apa pun, tetap saja ia akan berangkat. Begitulah yang dapat disimpulkan dari “pidato” singkat Bambang Kumbayana.
Para prajurit menyimak pidato Bambang Kumbayana dengan saksama. Kerpa, adik iparnya, menghampiri Bambang Kumbayana.
“Hati-hati di perjalanan. Saya dan segenap prajurit mendoakan keselamatan Kakanda. Selamat jalan. Semoga selamat sampai tujuan,” ujar Kerpa. Ia membungkuk dan melambaikan tangannya. Secara spontan semua prajurit yang ikut mengantar pun membungkuk dan melambaikan tangan yang segera dibalas Bambang Kumbayana dengan cara yang sama.
Kini Bambang Kumbayana menunggang kudanya tanpa pengawalan. Dipaculah kudanya melewati jalan-jalan di kampung. Kini di benaknya hanya ada satu nama: Sucitra. Ia ingin menemui Sucitra. Di dalam hatinya ia bersumpah tidak akan pernah kembali ke Timpurusa sebelum dirinya bertemu dengan saudara seperguruannya itu. Menurut kabar yang tersebar dari mulut ke mulut, konon Sucitra kini berada di Pancalaradya. Ke sanalah Bambang Kumbayana menuju.
Jarak Timpurusa-Pancalaradya tak bisa dibilang dekat. Tapi bagi Bambang Kumbayana, jauh tak menjadi masalah. Ia sudah terbiasa menempuh perjalanan jauh. Satu hal saja yang membuat ia khawatir, yaitu bengawan (sungai). Ia tak mau pengalamannya terulang lagi. Meski dengan terhalang bengawan ia bisa menikmati keindahan betis dan kelihaian bercinta bidadari, ia tak mau hal itu terulang lagi. “Sekarang aku cukup dengan Kerpi saja,” gumamnya entah kepada siapa. Tapi dapatkah dalam perjalanan menuju Pancalaradya ia menghindar atau terhindar dari bengawan?
***
Sebelum kisah “Lenga Tala” diteruskan, awak selingi dulu dengan sebuah puisi. Kata Lik Mukidi, puisi ini relevan dengan kisah “Lenga Tala”. Ketika awak tanyakan di mana relevansinya, Lik Mukidi rada kesal. “Cari sendiri. Masa semua harus aku tunjukkan ke kau.” Sambil menunjuk mulut dengan jari telunjuknya, dia tambahkan satu pernyataan yang mengingatkan awak pada kata-kata Bung Karno, “Ini dadaku, mana dadamu.” Tapi yang keluar dari mulut Lik Mukidi begini, “Ini kataku, mana katamu.” Awak meladeninya dengan menyediakan segelas kopi dan sepiring lemper dan rempeyek rebon. Inilah “puisi” awak yang kata Lik Mukidi relevan dengan kisah “Lenga Tala”.
PANGGUNG
Apa yang tersisa darimu dan yang begitu kaubanggakan kini kalau bukan dongeng
tentang masa kanak-kanak dan masa mudamu, masa ketika segalanya kaupandang dengan jujur tanpa prasangka. Waktumu kini telah kauisi dengan penyampaian kisah-kisah
perjuangan dan petualanganmu, seakan-akan ada tangan-tangan gaib yang mendorongmu untuk terus berkisah tentang berbagai kegagalan dan kesuksesan yang kauraih di masa lalu.
Saat cerita selesai digelar, kaubayangkan pembacamu atau pendengarmu telah memetik hikmah dan pelajaran dari perilaku tokoh-tokoh atau peristiwa yang kausebut dalam ceritamu.
Kaubayangkan pula mereka telah menjadi manusia baru berkat kisah yang kaudaraskan. Tapi pernahkah terbayang di benakmu
bahwa apa yang kauceritakan itu bagi mereka tak lebih dari bualan atau buah khayal yang absurd, atau bahkan igauan belaka dari seorang tua yang mendadak limbung karena kehilangan panggung untuk bersenandung?
Hidup memang terlalu berharga untuk disia-siakan, tapi adakalanya sesuatu yang kita anggap berharga tampak tak berguna dan sia-sia di mata orang lain. Barangkali itulah yang kini sedang terjadi padamu, tapi apakah lantaran itu kau harus berhenti berkiprah atau mengakhiri kisah? Kurasa tidak, sebab mereka yang kini menertawakanmu barangkali kelak pun akan menjadi sepertimu.
Jadi, kurasa kini kau tidak sedang kehilangan panggung untuk bermain. Tak juga sedang kehilangan lapak untuk menorehkan jejak. Maka tetaplah mendongeng seperti biasa
sebab ketika ada yang mencemooh ceritamu di satu tempat, di tempat lain, pada saat yang sama, ada juga orang yang memuji dan setia menunggu, bahkan menyongsong torehan pena kisahmu.
***
LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (38)
Masih berapa harikah Bambang Kumbayana akan tiba di Pancalaradya? Tampaknya masih dibutuhkan waktu beberapa hari lagi untuk sampai di pusat pemerintahan kerajaan itu. Tapi Bambang Kumbayana tak mengeluh. Keinginannya yang besar untuk bertemu dan melepas kangen dengan saudara seperguruaannya membuat dia tak patah semangat dan tak mengeluh. Seperti apakah tampang Sucitra sekarang? Seberapa tinggi ilmu yang diperoleh dan dimilikinya? Apakah dia sudah menikah? Perempuan dari manakah yang dia kawini? Itulah antara lain beberapa dari berpuluh pertanyaan yang terlontar di dalam hatinya.
Sudah sekian hari dia keluar-masuk hutan dan desa. Tak terbilang pengalaman yang sudah dia dapatkan selama perjalanan jauh itu. Di sebuah kampung dia berpapasan dengan seorang petani yang membawa linggis dan arit. Saat itu matahari sudah hampir terbenam, tapi petani tersebut justru baru berangkat ke ladang. Bambang Kumbayana heran. Umumnya petani berangkat ke ladang pada pagi hari, tapi orang ini justru berangkat ke ladang menjelang magrib, begitu gumam Bambang Kumbayana. Karena ingin tahu sebab-musababnya, ia berbalik dan membuntuti petani itu.
Tiba di ladang, Bambang Kumbayana memberanikan diri bertanya, “Permisi, Pak. Bolehkah saya menanyakan sesuatu kepada Bapak?”
Petani itu tak langsung menjawab. Dalam hatinya ia justru bertanya, orang asing ini siapa? Bahasanya begitu tertib dan formal. Diperhatikannya Bambang Kumbayana dari ujung kaki hingga ujung rambut di kepala. Lalu dari sakunya dikeluarkan slepen, tempat tembakau dan kelobot. Tiba-tiba, tanpa diketahui prosesnya, sudah ada nyala api, dan di mulut petani sudah terselip lintingan tembakau yang pada ujungnya sudah terbakar. Lalu asap pun mengepul, dan aroma tembakau terhirup indra penciuman Bambang Kumbayana.
“Maaf, Ki Sanak siapa?”
“Saya Bambang Kumbayana. Maafkan kalau saya mengganggu Bapak,” jawab Kumbayana sopan.
“Panggil saja aku Kang Giman.”
Tak ada salah paham. Tak ada yang merasa terganggu. Tak ada perselisihan. Justru sebaliknya, kedua orang yang baru kenal itu terlihat akrab. Begitu akrabnya, keduanya terlihat seperti sahabat lama yang baru bertemu setelah puluhan tahun berpisah. Dari obrolan itu Bambang Kumbayana tahu bagaimana kehidupan petani. Giman, nama teman baru Bambang Kumbayana itu, bercerita tentang suka duka menjadi petani. “Seperti sekarang ini. Kalau singkong ini tak ditunggu, bisa-bisa habis dimalingi. Kondisi kampung saat ini sedang tidak aman. Tiap malam ada saja yang kemalingan,” ujar Giman.
“Apakah selama ini tak ada maling yang tertangkap?”
“Orang kampung mana ada yang berani. Meskipun sudah jelas siapa malingnya, mereka tak berani menangkap.”
“Kenapa?” cecar Bambang Kumbayana.
“Maling-maling itu dhukdheng, sakti mandraguna. Punya aji panglimunan. Bisa menghilang.”
“O, begitu. Berarti ilmu kanuragan mereka tinggi sekali. Apakah mencuri memang jadi profesi mereka?”
“Tidak juga. Tapi mereka umumnya bandar dhadhu. Ada satu atau dua yang juga petani macam aku ini. Misalnya Lik Mukidi.”
“Siapa? Lik Mukidi? Sebuah nama yang menarik.
“Menarik bagaimana. Di mana letak menariknya?”
“Bagi saya, nama itu menarik sebab mukidi itu saya maknai muka kita sendiri.”
“Baru tahu aku. Mukidi sama dengan muka kita sendiri. Lik Mukidi harus tahu ini,” ujar Giman.
“Omong-omong apakah mereka juga suka mabuk-mabukan dan main perempuan?”
“Bukannya suka lagi. Mereka gila-gilaan. Kalau ada acara tayuban, mereka rusuh.”
“Rusuh bagaimana. Lik Mukidi juga ikut rusuh? Apa yang mereka lakukan?” Bambang Kumbayana makin ingin tahu.
“Kalau mereka sudah nandhak di panggung, sudah melihat betis penarinya, mereka–kecuali Lik Mukidi–lupa segala-galanya. Remuk penari ledheknya.”
“Kenapa. Ledheknya diapakan?”
“Semau-mau mereka. Ledheknya dirangkul, diciumi pipinya, dijilati lehernya, diremas-remas susunya, diciwel pantatnya, dituruni kembennya, digigit kupingnya…”
“Sudah sudah sudah. Jangan dilanjutkan. Saru. Tak pantas. Menjijikkan. Tak kuat saya mendengarkan. Banal sekali mereka. Pasti semua berada dalam pengaruh tuak. Tapi… Ah, saya jadi teringat pada seseorang.”
“Lohhh. Pernah melakukan juga,” selidik Giman.
“Pernah. Lebih dahsyat dari itu.”
“Ha…”. Giman mlongo.
“Malah saya lalukan terhadap dua orang, tapi mereka itu istri saya sendiri.”
“Ha ha ha. Masih semuda ini sudah punya dua bini. Tak kuduga sehebat itu sampeyan.”
Dalam hati Kumbayana membatin: bagaimana kalau Kang Ginan aku beri tahu bahwa satu dari dua orang istriku itu bidadari. Bagaimana kagetnya kalau kuberi tahu pula bahwa pada saat aku berhungan badan dengan bidadari itu ia masih berwujud kuda. Betapa herannya pula kalau Kang Giman kukasih tahu bahwa aku melakukannya berhari-hari di dirgantara. Tapi buat apa aku ceritakan kepadanya? Tak akan pernah. Biar itu menjadi pengalaman pribadi saja.
Mereka asyik ngobrol di gubuk yang didirikan di tengah ladang. . Tengah malam Giman membedol singkong kaniyem, lalu membakarnya. Keduanya makan singkong bakar dan minum teh. Mereka ngobrol sampai pagi. Topik obrolan bermacam-macam. Ketika di timur terlihat semburat merah, kantuk mereka datang. Keduanya pun terlelap di atas tikar yang terbuat dari daun kelapa.
Kira-kira dua jam kemudian, seorang perempuan cantik membangunkan Giman.
“Sudah siang. Bangun, Kang,” kata perempuan itu. Aroma teh segera tercium Giman. Ia ngolet sejenak, lalu duduk. Ia menoleh ke kanan dan kiri. Tak dilihatnya Bambang Kumbayana di dekatnya.
“Ke mana dia?” tanyanya kepada perempuan itu.
“Siapa?”
“Laki-laki tampan. Namanya…”
“Nah, ketahuan. Semalam ditemani perempuan ya. Ayo ngaku. Tak buang klenyem ini kalau gak ngaku.”
“Dia laki-laki.”
“Bohong.” Muncul ide di bemak perempuan itu untuk menggoda Kang Giman. “Tadi malam juga ada yang datang ke rumah. Di rumah dia lama sekali,” celotehnya.
“Lastri, kamu jangan menyiksa aku. Siapa yang datang ke rumah tadi malam?”
“Rahasia. Namanya dimulai dengan em.”
“Siapa dia? Katakan!”
“Sebutkan dulu yang tadi malam tidur sama Kang Giman siapa?”
“Bambang Kumbayana!” teriak Giman. Sekarang gantian sebutkan siapa yang semalam bertandang ke rumah kita.”
“Mukidi.”
“Mukidi bandot tua itu?”
“Lik Mukidi, paman kita sendiri. Bukan Mukidi yang thukmis itu. Dia cari sampeyan.”
Giman pun lega demi mendengar pengakuan Lastri. Ia yakin bahwa Lastri tidak berbohong. Ketika napasnya sudah kembali normal, kepada Lastri ia ceritakan pertemuan dan perkenalannya dengan Bambang Kumbayana. Ia menyesalkan dirinya yang tak sanggup menahan kantuk. Andaikata ia tak tertidur, mungkin Bambang Kumbayana masih berada di antara mereka. Namun, di dalam hati Giman bersyukur juga. Andaikata Lastri sempat bertemu Bambang Kumbayana, besar kemungkinan akan kepencut. Lastri akan meninggalkan dirinya, lalu ikut Bambang Kumbayana.
Bagi Lastri, cerita Giman ditanggapi dengan enteng. Ia menganggap bahwa suaminya, Giman, semalaman tidur dan bermimpi. Menanggapi sikap dan reaksi Lastri, Giman kesal. Ia harus menunjukkan bukti bahwa apa yang dialaminya bukan mimpi. Dikelilinginya ladang miliknya untuk mencari Bambang Kumbayana. Namun, sudah sekian kali ladang ia kelilingi, Bambang Kumbayana tak ia temukan. Ke manakah Bambang Kumbayana?
LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (39)
Tak sampai hati Bambang Kumbayana membangunkan Kang Giman yang sedang terlelap. Karena itu, dia harus pergi tanpa menimbulkan suara. Dia tinggalkan teman ngobrolnya itu dengan diam-diam. Dia tak bermaksud menghindarkan diri atau melupakan Kang Giman begitu saja. Bambang Kumbayana sudah berjanji dengan dirinya sendiri bahwa kelak setelah semua urusan selesai, dia akan berkunjung kembali ke ladang Kang Giman untuk berbincang-bincang lagi.
Bambang Kumbayana keluar dari area ladang Kang Giman. Tak butuh waktu lama sebab letak atau posisi gubuk yang semalaman menjadi tempat berbincang tidak tepat berada di tengah-tengah ladang Kang Giman, tapi berada di pojok yang hampir berbatasan dengan ladang orang lain. Dari tempat itu, Bambang Kumbayana tinggal berjalan lempang saja menuju utara. Sebelum rembang petang dia harus sudah sampai di tepi pusat pemerintahan. Bambang Kumbayana sudah terlatih berjalan jauh. Kuda yang dinaikinya sudah dia lepaskan di sebuah padang luas di tengah hutan. Konon kuda itu dulu didapatkan prajurit Timpurusa dari tengah hutan. Jadi, kemungkinan asal-usul kuda itu memang dari hutan. Itulah sebabnya Bambang Kumbayana melepaskan kudanya di hutan. Dia ingin mengembalikan kuda itu ke habitatnya. Selanjutnya, ke mana pun pergi, ia lebih senang berjalan kaki.
Tak terasa ia sudah hampir sehari berjalan dan hanya beristirahat pada tengah hari di hutan. Ada saja makanan, entah umbi-umbian atau buah-buahan yang dapat ia makan. Pada sore hari, sampailah ia di tepi sungai yang sudah lama surut karena kemarau. Karena itu, ia tak perlu membutuhkan pertolongan dari pihak lain dengan imbalan harus menikahi kalau yang menolong perempuan atau mengangkat saudara kalau yang menolongnya laki-laki seperti yang pernah terjadi sebelumnya.
Pertama-tama yang ia cari di sungai itu adalah belik, sumber air di tepian sungai. Ia sudah lama haus. Tak sulit menemukan belik sebab umumnya penduduk desa di kala kemarau yang menyebabkan sungai surut akan membuat belik dengan cara mengeruk pasir di tepian sungai hingga menyembul air bening dari bawah. Di situlah mereka mandi dan mendapatkan air untuk keperluan minum dan masak-memasak di rumah. Di sebuah lekukan sungai Bambang Kumbayana menemukan belik yang dicarinya. Namun, betapa terkejutnya ketika ia melihat sosok perempuan sedang siap-siap mandi di belik itu. Spontan Bambang Kumbayana tengkurap.
Tubuh perempuan itu hanya dililit selembar kain. Ketika hendak mulai menjangkau air dengan siwur (gayung yang terbuat dari batok kelapa), badan perempuan itu membungkuk. Kain yang melilit tubuhnya perlahan merosot dan sengaja dibiarkan oleh pemakainya. Dua gunung kembar di dadanya menyembul dan menjuntai. Karena kain di bagian tengahnya bergerak akibat posisi jongkok, terlihatlah sebagian betisnya yang mulus. Semua “adegan” itu tersaksikan Bambang Kumbayana dari jarak yang relatif dekat. Hampir saja dari mulut Bambang Kumbayana keluar suara “wauw” sebagai bentuk rasa kagum atas keindahan pemandangan yang disaksikannya kalau saja ia tak teringat pada Kerpi.
Perempuan itu sama sekali tak melihat bahwa ada seorang laki-laki di sekelilingnya. Ia terus saja mengambil air dengan gayungnya dan menyiramkannya ke wajahnya. Matanya memejam dan kembali melek saat menciduk air. Dari bibirnya yang ranum keluar bunyi “berrr” saat air yang disiramkan ke dahinya mengalir ke bibir. Berulang-ulang hal yang sama dilakukan perempuan itu. Satu lagi yang kemudian dia lakukan, yakni menyiramkan air ke rambutnya yang panjang dan hitam legam itu.
Bambang Kumbayana yang masih terpana dan tengkurap di balik tanggul sungai membatin, kenapa ia tidak menyiram rambutnya dari tadi. Ia masih menikmati pemandangan menarik itu dan belum ada tanda-tanda memalingkan wajah karena perempuan yang asyik mandi itu tak merasa diperhatikan. Barulah ketika perempuan itu mencari sesuatu, kepala Bambang Kumbayana merendah agar tak terlihat. Namun, itu hanya sejenak. Kepala Bambang Kumbayana menyembul lagi. Darah kelelakiannya mulai tersirap ketika tangan perempuan itu menggaruk-garuk rambut kepalanya setelah dituangi lerak. Tangan perempuan itu turun sedikit, lalu menggosok-gosok dadanya dengan telapak tangannya. Yang menggantung di dada perempuan itu bergerak ke kanan-kiri akibat aksi telapak tangan.
Kali ini Bambang Kumbayana tak sanggup mengontrol kesadarannya. Dari bawah sadarnya menyembul hasrat yang kuat. Spontan keluarlah suara “Cek cek cek” dari mulutnya seraya diikuti gelengan kepala ke kanan ke kiri. Tak ayal, suara itu terdengar oleh perempuan yang sedang asyik dengan gerakan-gerakan tangannya yang terus menyelusuri lekuk liku tubuhnya sendiri. Betapa kagetnya ia. Tak ada jeritan apa pun. Sebentar saja ia sudah berhasil menata hatinya
Sebaliknya, Bambang Kumbayana terlihat gugup. Cepat-cepat ia palingkan wajahnya ke belakang. Namun, betapa terkejutnya ia tatkala di hadapannya, dalam jarak tak lebih dari sejengkal, sudah berdiri seorang laki-laki yang menatap tajam mata Bambang Kumbayana. Siapakah laki-laki itu?
LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (40)
Sebelum awak mulai menulis, awak mengucapkan selamat Idul Adha untuk yang merayakan. Semoga di hari korban ini kita senantiasa mendapat berkah dari Allah SWT. Amin yarobbalalamin. Ketika awak ingin melanjutkan cerita ini, sepiring rondo royal telah awak siapkan untuk menyambut kedatangan Lik Mukidi. Ia bilang bahwa sore ini akan meluncur ke gubuk awak.
“Ada masalah serius yang harus kubicarakan dengan kau,” katanya. Entahlah apa yang dia maksudkan dengan “masalah serius” itu. Awak tak boleh risau dengan kata-kata Lik Mukidi. Dia memang begitu. Orangnya suka mendramatisasi apa pun. Pernah suatu kali ia mengingatkan awak untuk tak pergi ke mana-mana pada hari Sabtu dari jam 10 sampai jam satu siang. Saat awak tanyakan apa alasannya, ia tak mau mengatakan. Ia hanya bilang pokoknya jangan pergi ke mana-mana. Awak jadi takut ke mana-mana, padahal sudah janjian dengan teman mau cari akik ke Bogor sambil menikmati tahu gejrot.
Betapa kesalnya awak ketika akhirnya pada jam sebelas siang dia datang ke rumah, lalu dia katakan bahwa dia melarang awak pergi karena ingin ngobrol dengan awak pada jam-jam itu. Awak bayangkan pada jam 11 awak sedang tawar-menawar dengan pedagang batu sambil menyantap tahu gejrot, tapi faktanya awak harus mendengarkan “ceramah” tak bermutu dari Lik Mukidi tentang bagaimana dulu dia belajar ilmu kanuragan pada guru-gurunya, bagaimana pengalaman dia menjemput penari tayub untuk acara “rasulan” atawa pesta bersih desa setelah panen padi usai.
Itu salah satu pengalaman yang menjengkelkan awak dengan Lik Mukidi. Masih banyak pengalaman lain yang lebih menjengkelkan, tapi sudahlah. Awak tak mau menceritakan kepada kalian yang sudah sekian hari menantikan kelanjutan cerita “Lenga Tala”. Tapi sebelum awak mulai melanjutan cerita itu, masih ada sesuatu yang mengganjal di hati awak. Awak tak peduli dengan ungkapan “Ada masalah serius yang harus kubicarakan dengan kau” yang dilontarkan Lik Mukidi. Kata-kata itu awak anggap angin lalu saja. Tapi kata-kata tambahannya itu yang bikin perasaan awak tak enak.
Begini Lik Mukidi bilang ketika awak tanyakan apa yang dimaksud dengan masalah serius itu. “Nanti kau juga akan tahu sendiri. Tidak melalui telepon ini kukatakan. Asal kau tahu saja, masalah serius itu akan menentukan masa depan hubungan kita.”
“Apa maksud Lik Mukidi?” tanya awak.
“Nanti kau akan tahu. Siap-siap saja. Boleh jadi hubungan kita tak akan langgeng kalau kita tak bisa memecahkannya. Kalau kau tak bisa menjelaskan dan meyakinkan aku, ambyarlah hubungan kita. Aku bukan siapa-siapa kau lagi. Nama kau akan kuhapus dari kamus hidupku.”
Sehabis bilang begitu, Lik Mukidi menutup teleponnya. Bagi awak, ini jelas bukan sembarang ancaman. Itulah sebabnya sekarang awak belum bisa menyambung cerita “Lenga Tala.” Dalam bahasa pujangga lama, hati awak kini sedang gundah gulana, berharap-harap cemas. Kata-kata Lik Mukidi–pinjam istilah politikus dari partai tertentu–“ngeri-ngeri sedap”. Itu barang–pinjam istilah politikus itu lagi–belum jelas wujudnya dan bagaimana pemecahannya.
Hingga jam 17.35 ini awak masih menunggu kedatangan Lik Mukidi. Rondo royal pun sudah setengah dingin. Mau ambil dan makan satu pun awak tak sanggup. Makanan itu tanpa kehadiran Lik Mukidi rasanya seperti basi meski baru terangkat dari wajan. Sudah awak hubungi via telepon, tapi tak diangkat. Disapa via WA juga tak dibaca. Awak jadi membayangkan yang bukan-bukan. Jangan-jangan…Bagaimana mungkin awak melanjutkan cerita kalau perasaan sedang tak karuan begini. Pembaca yang budiman, maafkan awak. Cerita “Lenga Tala” belum bisa dilanjutkan. Untuk saudara-saudaraku yang muslim, mari kita siap-siap sholat magrib. Nyatenya nanti malam saja. (Bersambung)
One Reply to “LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (34-40)”