LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (41-49)

Sunu Wasono

LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (41)

Awak harus ceritakan dulu tentang kasus awak dengan Lik Mukidi sebelum kisah “Lenga Tala” awak lanjutkan. Mudah-mudahan ke depan tak ada lagi kisah-kisah selipan begini dalam kisah “Lenga Tala.” Mudah-mudahan ini yang terakhir. Sudah awak ceritakan sebelumnya bahwa Lik Mukidi tak jadi bermain ke rumah awak, padahal sudah awak siapkan sepiring rondo royal untuknya. Sudah awak ceritakan juga bahwa Lik Mukidi “mengancam” awak. Dia tak menjamin kelangsungan hubungan awak dengan Lik Mukidi. Karena ancaman itu dan pembatalannya ke rumah awak, lanjutan cerita “Lenga Tala” terpaksa awak tunda.

Problemnya awak lagi kesal, marah, sekaligus cemas atas ancaman itu. Dalam kondisi macam itu, konon tak baik orang menulis. Hal itu pernah dikatakan Pak Sapardi Djoko Damono kepada awak. “Kalau lagi marah, jangan menulis. Nanti hasilnya tidak baik,” katanya. Itulah sebabnya kemarin awak tak jadi melanjutkan kisah “Lenga Tala”. Insha Allah sekarang awak sudah siap setelah masalah awak dengan Lik Mukidi awak anggap selesai.
Efek dari apa yang dikatakan Lik Mukidi ternyata tak seseram yang awak bayangkan. Justru boleh dibilang tak ada masalah di antara kami. Masalah itu telah terselesaikan oleh lupa. Supaya sampeyan tahu yang awak maksudkan, awak ceritakan sedikit bagaimana ancaman Lik Mukidi pada awak itu akhirnya batal.

Begini ceritanya. Begitu Lik Mukidi tak jadi datang ke rumah awak sore itu, malamnya awak telepon. Dari nada bicaranya, sama sekali tak terkesan bahwa dia sedang marah sama awak. Tentu saja awak jadi penasaran. Setelah dia bercerita tentang kegiatannya, awak tanyalah dia. “Lik, jadi kapan masalah kita dibahas?”
“Masalah, masalah apa?”
“Hubungan kita. Masa depan hubungan kita, Lik.”
“Aku tak tahu apa yang kau maksud. Kalau kau punya masalah, jangan dipendam. Seperti baru kenal aku saja.”

Rupanya Lik Mukidi sudah lupa dengan apa yang dikatakan sebelumnya. Baiklah. Awak tak mau membangkitkan ingatannya.
“Jadi, masalah kau apa?” desak Lik Mukidi.
Jadi bingung awak menjawabnya.
“Nganu, Lik. Masalahnya tak ada masalah.”
“Sontoloyo, kau. Dari tadi mestinya kau bilang. Muter-muter macam ayam kena thelo kau. Aku lagi punya masalah ini.”
Waduh. Alamat tak baik. “Ada apa, Lik?”
“Aku kena tilang di Depok, dekat Pasar Lama.”
“Sejak kapan Lik Mukidi naik motor?”
“Bukan aku, tapi aku yang harus bertanggung jawab.”
“Lah, gimana ceritanya?”
“Panjang ceritanya. Aku digonceng. Aku yang minta dia belok di perempatan, mengikuti motor di depannya. Gak tahunya itu melanggar. Kena tilang sama Pak Polisi yang kebetulan lagi bertugas di situ.”
“Cuma begitu saja ceritanya?”
“Masih panjang lagi. Malas aku cerita. Kalau ketemu aja aku ceritakan.”
“Oke. Tapi kok tak ada nada sedih. Malah terkesan bahagia. Ada apa ini?”
“Alhamdulilah. Ada proyek. Teman aku mau beli tanah di daerah Rawa Geni. Aku diminta menerawang. Lumayan. Kapan-kapan kau kutraktir. Sudah lama kita tak ke warung Pak Rebo.”
“O, lagi dapat rezeki. Oke Lik. Sesekali bolehlah makan tongseng. Pokoknya saya siap, Lik.
Tapi…”
“Tapi apa?” tanya Lik Mukidi penasaran.
“Saya lagi diet. Tak makan makanan yang sarat lemak. Saya sekarang sehari cuma makan nasi sekali. Banyak pantangannya, Lik. Kadar asam urat saya sebelumnya makin tinggi. Tak hanya itu. Kolesterolnya juga naik.”
“Gaya kali kau. Orang kampung saja sok priyayi. Dulu thiwul sebakul kau habiskan sendiri. Sekarang sehari cuma makan nasi sekali. Diet macam mana itu. Sesat.”
“Masalahnya sudah mengganggu yang lain, Lik.”
“Apa kau bilang? Siapa pulak yang terganggu?
“Bini, Lik.”
“Kenapa bini kau?”
“Susah mengatakan, Lik. Ini soal pribadi.”
“Gaya kali kau. Dasar orang sekolahan. Apa sih masalah kau?”
“Masa Lik Mukidi tak tahu. Mesti saya katakan, Lik.”
“Bilang saja. Apa masalahnya?”
“Nganu. Keperkasaan, Lik.”
“Ohhh. Kau tak sanggup lagi kasih nafkah batin bini kau? Kasihan. Justru dengan tongseng, kau akan perkasa lagi.”
Sialan. Masa awak dibilang tak sanggup lagi. Tak bisa didiamkan. Harus segera diluruskan ini.
“Lik, saya tak kurang suatu apa. Saya cuma ingin mengurangi berat badan dan mencegah jangan sampai asam urat dan kolesterol naik. Sekarang saya justru di puncak kebugaran. Siap bertempur kapan saja. Siap melakukan serangan fajar, bahkan siap melakukan sergapan di siang bolong. Saya hanya perlu hati-hati. Kuatir lama-lama tak perkasa seperti Lik Mukidi. Itu saja masalahnya. Ha ha ha.”
“Kurang ajar. Apa kau bilang? Aku masih perkasa. Jangan macam-macam kau. Begini saja, sekarang aku tanya, mau nggak kau kutraktir makan sate dan tongseng di warung Pak Rebo.”
“Mauuu. Siap, Lik!”
“Nah, begitu. Tak boleh pura-pura kalau bicara sama Mukidi.”

Sampai di situlah perbincangan awak dengan Lik Mukidi. Dari perbincangan itu, awak menyimpulkan bahwa awak tak punya masalah dengan Lik Mukidi. Karena itu, malam ini awak siap melanjutkan cerita “Lenga Tala”. Hanya masalahnya sekarang ada sedikit gangguan sinyal. Wifi di rumah sepertinya ada masalah. Anak lanang awak dari tadi sudah ribut saja. Moga segera stabil. Begitu sinyal stabil, awak mulai menulis. Suwwerr.

LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (42)

Bambang Kumbayana tak mau kalah gertak. Ditantangnya tatapan mata laki-laki di hadapannya. Ia berdiri seraya menepuk-nepuk celananya guna mengusir debu yang menempel di tubuhnya. Kini tak ada yang dapat dilakukannya selain menghadapi kemungkinan aksi laki-laki gempal nan kekar di hadapannya. Namun, di luar dugaannya, laki-laki itu tak melayangkan pukulan atau tendangannya. Lama-lama tatapan matanya justru melemah. Senyumnya mengembang dari kedua bibirnya yang tebal. Entah karena apa, laki-laki itu tak punya prasangka buruk terhadap Kumbayana. “Apakah ada yang bisa aku bantu. Ki Sanak sedang mencari apa?”
Kumbayana tidak langsung menjawab. Ia membuang pandang sejenak ke utara, jauh ke bukit yang setengah gundul. “Aku telah sekian lama berjalan, keluar-masuk hutan dan desa. Sejujurnya aku sudah kehausan dari tadi. Aku butuh air. Kulihat di bawah itu ada belik. Tapi saat aku mau turun buat ambil air, seorang perempuan cantik sedang melepaskan baju dan dengan gayungnya siap menciduk air. Maka kuurungkan niatku. Lalu aku menunggu di sini. Tapi rupanya yang mandi tak selesai-selesai juga. Aku haus.”
“Oh, maafkan. Dia istriku. Oh ya, bolehkah aku tahu siapa nama Ki Sanak. Aku Kintaka.”
Diulurkannya tangan laki-laki yang menyebut dirinya Kintaka itu. Bambang Kumbayana pun menyambut uluran tangan Kintaka. “Aku Bambang Kumbayana.” Tak puas dengan berjabat tangan, keduanya berangkulan.
“Ayo kita turun,” ajak Kintaka bersahabat. Keduanya turun menuju belik tempat istri Kintaka mandi.
“Ini Gati, istriku,” kata Kintaka. “Kita mendapat saudara sore ini, Gati.”
Yang dipanggil Gati hanya tersenyum. Ia segera membenahi pakaiannya. Kain penutup dadanya yang membusung itu masih basah. Ia membenahi peralatan mandinya dan perlahan-lahan meninggalkan lokasi.

Kumbayana mengambil air dengan siwur yang digunakan mandi Gati. Ia menenggak segayung air. Hilanglah seketika rasa hausnya
Kedua laki-laki itu meneruskan obrolannya.
“Kami akan senang jika malam ini Raden berkenan menginap di gubuk kami,” pinta Kintaka.
“Terima kasih atas kebaikan hati Kakang Kintaka. Tapi bila aku menginap, apakah aku tak merepotkan Kakang dan keluarga?”
“Sama sekali tidak. Kami justru gembira bilamana Raden berkenan menginap.”

Akhirnya, malam itu Kumbayana menginap di rumah Kintaka. Dari obrolannya dengan Kintaka, tahulah bahwa hubungan Kintaka dan Gati sudah sekian lama dingin. Pokok permasalahan mereka tak lain adalah soal judi yang merembet ke soal lain. Keduanya sudah sekian lama tak saling bertegur sapa. Tak urung, hal itu berpengaruh pula ke hubungan mereka di ranjang. Kumbayana berusaha mendamaikan mereka.
“Kang Kintaka percuma punya kumis sekepal, punya bulu dada lebat, dan punya tubuh berotot kalau istri didiamkan,” kata Kumbayana.
“Sama sekali aku tak punya niat mendiamkan
Aku hanya capek dan malas,” bantah Kintaka.
“Karena waktu Kakang habis di ladang dan di meja judi.”
“Benar,” Gati memperkuat kata-kata Kumbayana. “Aku ini dianggap gedebok. Didiamkan. Belum pernah selama dua tahun menikah aku mendapatkan yang kuinginkan. Selalu bilang lagi capek. Hik hik.” Gati tak sanggup menguasai perasaan sedihnya. Ia mingsek-mingsek.
“Makanya jangan salahkan kalau pada suatu hari nanti, atau barangkali sudah, ada yang memakai itu barang ketika Kakang asyik sendiri di meja judi,” timpal Kumbayana sambil melirik Gati. Yang dilirik tersipu malu.
“Sumpah, aku masih utuh. Belum ada yang menjamah. Gak tahu kalau malam ini akhirnya pertahananku jebol dan membiarkan orang mencumbuku. Aku berharap itu terjadi,” kata Gati sambil diam-diam menjiwit lengan Kumbayana. Dalam hati Gati betkata, mudah-mudahan malam ini Kintaka berangkat ke meja judi.

Tiba-tiba dari luar terdengar orang memanggil. “Udad, udad, udad, Kin.”
Kintaka kini baru angkat bicara. “Aku prei malam ini,” teriaknya. Gati kecewa.
“Baiklah. Kalau kau nanti berubah pikiran, kami tunggu di tempat biasanya,” kata teman-teman Kintaka.
“Apa itu udad?” tanya Kumbayana.
“Udad itu walikan dari kata dadu. Biasalah, mereka mengajak dadu,” sahut Gati. Kepada Kintaka, “Sana berangkat sana,” desak Gati.
“Tak akan,” jawab Kintaka lirih, hampir tak terdengar.

Sambil menepuk bahu Kintaka, Kumbayana pun berujar, “Kang, sawah yang subur membutuhkan luku dan garu yang tajam dan liat. Ladang membentang membutuhkan brujul yang tajam. Rumput yang meriap di pintu gua itu perlu disingkap untuk ditengok ada apa di dalamnya. Semua itu yang bisa dan berhak melakukan adalah Kang Kintaka karena luku, garu, dan brujulnya tak lain hanya Kang Kintaka seorang. Tinggalkan permainan dadu terkutuk itu karena hanya akan membuat luku dan yang lainnya tumpul, membuat ladang bera karena tak terurus. Sayang kalau semua itu terjadi. Aku harap Kang Kintaka memahami apa yang kukatakan.”
Kintaka mengangguk-anggukkan kepalanya. Matanya panas, lalu tanpa bisa dibendung keluarlah air mata itu. Ia merengkuh Gati. Diciuminya pipi Gati dan didekapnya erat-erat tubuh istrinya. Gati pun membalasnya dengan ciuman pula. Kumbayana menarik napas dalam-dalam. Wajah Dewi Wilutama dan Kerpi melintas sejenak di benaknya. Hanya sejenak. Setelah itu, keadaan kembali normal. Tiga orang itu pun kembali melanjutkan perbincangan.

Demikianlah, berkat kepiawaian Kumbayana, pasangan Kintaka-Gati akhirnya terdamaikan. Keduanya sudah bertegur sapa, bahkan sudah terlihat mau bercanda. Mereka kaget begitu dikasih tahu bahwa Kumbayana sudah dua kali menikah. Namun, kepada mereka tak diceritakan siapa saja perempuan yang dinikahinya.

Malam itu Kumbayana ingin beristirahat agar besok pagi-pagi sekali bisa berangkat sehingga sampai di kraton Pancalaradya tidak terlalu sore. Ia tidur di atas tikar yang di bawahnya dialasi kepang atau damblak. Sebentar saja ia sudah terlelap. Tapi tengah malam ia terbangun ketika ada derit amben (tempat tidur) yang tiada henti. Ia pun mendengar suara orang mendesah. Samar-samar juga terdengar suara ah uh ah uh yang relatif teratur dan terjaga ritmenya. “Syukurlah.Tak sia-sia pengalaman yang aku bagikan kepada mereka. Ladang subur itu akhirnya terbajak juga,” gumam Kumbayana. Ia minum air putih dari kendi dan kembali tidur.

Pagi ketika ayam Kintaka berkokok tiga kali, Kumbayana kembali terbangun. Suara serupa yang ia dengarkan sebelumnya terdengar lagi. “Hebat kau Kintaka. Tak percuma punya simbar jaja dan punya kumis sekepal,” ujar Kumbayana dalam hati. Kali ini ia tak tidur lagi. Ia kemasi barang bawaannya. Lalu ia buka pintu. Ia tak perlu pamit kepada tuan rumah karena sebelumnya sudah pamit akan berangkat pagi-pagi sekali. Munculnya suara-suara di pagi buta dari kamar Kintaka sudah ia perkirakan sebelumnya. Karena itu, ia tak mau mengganggu kedua anak manusia yang sedang “bertarung” dengan jurus andalan masing-masing itu.

Ia buka pintu rumah Kintaka pelan-pelan sekali. Di luar, udara musim bediding dingin sekali. Dinginnya serasa menusuk tulang. Kumbayana meninggalkan rumah Kintaka, menembus kabut pagi yang menyelimuti Desa Gatak. Di atas, bintang-bintang masih bertebaran di langit. Saat Kumbayana sampai di desa sebelah, kokok ayam makin ramai. Di timur sudah terlihat semburat merah. Kumbayana terus berjalan menuju kota, menuju pusat pemerintahan Pancalaradya.

LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (43)

Ketika kaki Kumbayana menapak di gerbang desa Gayam, terdengar derap kuda dari belakang. Begitu kuda mendekati Kumbayana, penunggangnya turun. Kumbayana agak menepi. Ia menoleh ke kanan dan mendapati seorang laki-laki kekar menghampirinya.
“Kakang Kintaka. Sepagi ini mau ke mana?”
“Maafkan Raden. Mestinya aku dan Gati bisa bangun lebih pagi dan mempersiapkan keberangkatan Raden,” ujar Kintaka.
“Tidak apa-apa. Jangan Kakang terlalu menyalahkan diri sendiri. Bukankah semalam aku sudah pamit.”
“Terima kasih atas pengertiam Raden. Sekarang izinkan aku mengantarkan Raden, setidak-tidaknya hingga gerbang kota. Jarak desa ini dengan kraton teramat jauh untuk ditempuh tanpa bantuan kuda.”

Kumbayana berpikir sejenak. Apa pulangnya Kang Kintaka tidak kemalaman. Kasihan dinda Gati, tak ada yang menemani,” timbang Kumbayana.
“Kutaksir tak akan kemalaman.”
“Baiklah kalau begitu.” Keduanya naik kuda membelah desa Gayam.

Keluar dari desa Gayam mereka melewati bulak yang di kanan-kiri membentang ladang kering yang ditumbuhi tebon (surgum) yang mulai berbuah. Kawanan burung kathik berputar-putar di angkasa dan sekali mendarat mengenyangkan telihnya (tembolok) dengan buah canthel (tebon) di ladang petani. Kintaka memacu kudanya dengan terampil. Pada saat jalannya pelan mereka ngobrol tentang berbagai hal, mulai dari jenis tanaman, tata pemerintahan desa, hingga soal adat-istiadat. Ketika obrolan sampai pada soal keluarga dan huhungan suami-istri, Kintaka mengucapkan terima kasih atas nasihat dan apa yang telah dilakukan Kumbayana untuk dirinya dan Gati.
“Sejujurnya aku seperti menjadi pengantin baru lagi. Semalam…ah, aku malu untuk mengatakannya.”
“Tak usah kaukatakan, Kang. Aku tahu apa yang terjadi karena telingaku tidak tuli,” ujar Kumbayana.
“Oh ya. Jadi malu aku.”
“Tak perlu malu. Kita bukan kanak-kanak lagi.”
“Raden, kami sungguh berterima kasih. Kami tak bisa membalas apa-apa.”
“Tidak perlu, Kakang. Aku toh tak melakukan apa-apa. Hanya aku berharap Kang Kintaka tak kembali ke meja judi. Bulan-bulan yang akan datang Gati membutuhkan perhatian lebih dari Kang Kintaka.”
“Maksudnya?”
“Tandai. Firasatku mengatakan bahwa bulan depan, kalau Dewa mengabulkan, Gati terisi,” ungkap Kumbayana mantap.
“Oh, betulkah? Moga Dewa mendengarkan.”
“Dan rumah Kang Kintaka tidak akan sepi lagi.”

Panjang juga obrolan mereka. Setelah melewati bukit, mereka beristirahat. Kintaka mengeluarkan bekal yang disiapkan Gati. Sepithi kecil nasi, pepes wader, dan sambal dikeluarkan dari bundelan kain. Ternyata Gati juga menyertakan kukus waluh. Kintaka memotong daun pisang. Dituanglah nasi itu di atas daun pisang yang diletakkan begitu saja di atas batu. Keduanya makan bersama-sama. Selesai makan mereka beristirahat sejenak.

Tepat ketika matahari di atas kepala, keduanya sampai di tepi batas kota. Bambang Kumbayana minta Kintaka menghentikan kudanya. “Kakang, aku diantar sampai di sini saja.”
“Ini masih pagi. Jangan kawatirkan aku, Raden. Aku tak akan kemalaman. Aku bisa antarkan Raden sampai di tujuan,” ujar Kintaka.
“Tidak. Terima kasih. Cukup sampai di sini saja. Kang Kintaka harus sampai di rumah sebelum Mukidi dan teman-teman Kang Kintaka lainnya menyambangi rumah Kakang. Ingat, janganlah Kakang sampai terbawa mereka.”
Kintaka merangkul Kumbayana seraya mengucapkan terima kasih. Saat keduanya merenggang terlihat mata Kintaka basah.
Tak ayal, Kumbayana pun meneteskan air mata. Ia melambaikan tangan yang dibalas lambaian tangan juga oleh Kintaka.

LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (44)

Setelah melalui perjalanan yang lama dan melelahkan, akhirnya sampai juga Bambang Kumbayana di alun-alun. Suasana kota segera ia rasakan. Kehadiran Kumbayana di alun-alun segera menarik perhatian orang, terutama para prajurit yang berjaga-jaga di istana. Dari penampilannya terlihat bahwa Kumbayana bukan orang biasa. Badannya kekar berotot dan mengesankan sosok yang tak mudah menyerah. Sorot matanya tajam setajam mata elang. Cara berdiri dan jalannya menandakan bahwa tubuhnya kukuh serta lincah. Kumbayana mengamati lingkungan dengan saksama.

Berada di hadapan prajurit yang dipersenjatai tameng dan tombak, tiba-tiba darah kesatriaannya bangkit. Sikapnya berbeda sekali dengan sikap dia saat menghadapi Kang Giman dan Kintaka. Dengan Giman dan Kintaka ia lebih terlihat bijak, bersahabat, rendah hati, dan mengayomi. Namun, saat berhadapan dengan prajurit ia tampak lain. Sorot matanya kian menajam ketika ditentang mata prajurit yang dipenuhi prasangka dan kecurigaan. Dan ketika seorang prajurit menghampiri dan menghardiknya, darah muda Kumbayana bangkit, kendugalan di masa lalunya angot. Ia tepis tangan prajurit yang coba-coba hendak meraih tangannya.
“Hai, kau siapa. Berani-beraninya melawan prajurit,” tegur salah seorang prajurit.

Kumbayana diam saja. Ia malah mengibas-ngibaskan celananya yang diliputi debu. Keruan saja sikapnya membuat prajurit yang lain terpancing emosinya. “Jangan bergerak kalau tak ingin nyawamu melayang,” ancam prajurit yang memainkan tombaknya. Mendengar ancaman itu, Kumbayana justru beraksi. Ia angkat kakinya yang satu, lalu kedua tangannya diangkat pula. Lalu kelima jari dari masing-masing tangan ia satukan sehingga membentuk paruh burung meliwis yang siap mematuk apa pun yang menghampirinya. Benar saja, ketika ujung tombak menyasar perutnya, ia letakkan kaki yang diangkatnya, diikuti geseran kaki satunya. Gerakan itu membentuk lempitan kaki. Ujung tombak pun tak mengenai sasaran, tapi gagang tombak malah terpatuk tangan kiri Kumbayana yang jari-jarinya sudah membentuk paruh burung meliwis. “Thak”.

Prajurit itu rupanya makin kalap. Ia tusukkan berkali-kali ujung tombaknya ke arahnya, tapi selalu tak menemukan sasaran karena Kumbayana melakukan berbagai gerakan yang lincah. Kadang dia egos, gesut, melompat, terbang seperti daun melayang. Sesekali ia memberi peringatan penyerangnya dengan tendangan ringan. Rupanya yang diberi peringatan tak peka. Bukannya menghentikan serangannya, ia malah melancarkan serangan secara membabi buta. Kumbayana tak punya jalan lain selain menunjukkan kebolehannya. Dengan gerakan cawuk harimau ia gores rahang lawan. Pada saat yang sama tangan satunya merebut tombak penyerangnya. Lalu dengan sekuat tenaga tombak itu ia tancapkan ke tanah. Begitu mata tombak menancap, kaki kanannya menyepak. Melayanglah tombak itu. Dengan terampil tangannya menangkap dan di tangannya jadilah tombak itu toya yang ia putar-putar. Para prajurit yang melihat terpana. Mulut mereka menganga. Setelah dimainkan, garan tombak itu dipatahkannya dengan kedua tangannya. Klak.
“Aku Bambang Kumbayana dari Atas Angin. Ingin menemui Sucitra, rajamu. Dia adik seperguruanku. Aku rindu padanya. Cepat atau kalian kubikin sekarat,” bentak Kumbayana.

Sebagian prajurit tampak ngeper. Sebagian lainnya menunggu aba-aba. Salah seorang di antara mereka pun berteriak: “Kepung”. Lalu semua, termasuk yang sempat ngeper, bergerak dan mengepung Kumbayana. Terdengar teriakan dari salah seorang yg masih penasaran, “Serang!” Mereka serentak nenyerang Kumbayana, tapi yang diserang tampak santai. Kumbayana hanya egos. Lalu melakukan gerak/jurus naga menyelam. Kakinya tiba-tiba menyapu prajurit yang mengepung. Mereka tak sempat mengelak. Maka robohlah mereka bak batang pisang tertebas pedang.

Kumbayana terkekeh-kekeh. “Ayo bilang ke rajamu bahwa aku ingin menemuinya.”
Yang disuruh hanya diam. Karena tak ada tanggapan, Kumbayana pun berteriak-teriak.
“Sucitra, aku Kumbayana. Keluarlah kau, Sucitra.”

LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (45)

Teriakan Kumbayana tak digubris. Tiba-tiba dari arah selatan muncul seregu prajurit yang bersenjatakan keris dan boding. Ada juga yang mengayun-ayunkan trisula. Kumbayana sama sekali tak gentar. Badannya meliuk-liuk
Saat disergap, tubuhnya terbang lalu melakukan gerakan gelincir. Dengan gerakan itu ia keluar dari kepungan dan langsung membentuk sikap harimau memanjat. Lawannya yang kecele secara spontan bergerak lagi untuk menyergap Kumbayana. Sekali lagi Kumbayana terbang sambil memutarkan badannya di angkasa, tangannya dengan cekatan menerkam lawan. Tak hanya itu, ia pun menguntir kepala lawan. Kreeekkkk. Kepala pun lunglai seketika.

Seorang prajurit yang terkena tendangan di ulu hati bergumam sendiri “Kalau begini terus, prajurit bisa habis.” Menyadari lawannya bukan orang sembarangan, ia punya inisiatif untuk melaporkan hal ini kepada raja. Ia keluar dari perkelahian tak seimbang itu, lalu diam-diam masuk ke istana.
“Sucitra. Sucitra. Keluar! Hadapi aku. Sampai seberapa tinggi ilmumu. Prajurit-prajuritmu ini cuma barang mainan. Mereka terlalu payah untuk menghadapiku. Sucitra. Sucitra. Keluar kau!”
Kumbayana terus berteriak sambil sesekali menghindar dari serangan prajurit yang kian letih dan lemah. Ia dari awal sengaja menarik perhatian orang. Niatnya hanya satu: ingin bertemu kawan lamanya, kawan seperguruaannya di Atas Angin, yaitu Sucitra. Ia betul-betul rindu dan ingin menumpahkan kerinduan itu kepada teman seperguruannya itu.
“Sucitra, aku yang datang. Teman lamamu, Kumbayana yang ndugal itu. Sucitra, keluarlah. Temui aku. Aku ingin memelukmu.”

Di dalam istana seperti tak terjadi apa-apa. Prabu Drupada sedang berbincang-bincang dengan Gandamana, adik iparnya, yang kini memperkuat pertahanan kerajaan Pancalaradya setelah jabatannya sebagai patih di Hastina hilang. Persoalan itulah antara lain yang dibincangkan mereka.
“Dinda Gandamana aku turut prihatin atas nasibmu, tapi maaf aku tak bisa berbuat apa-apa,” ujar Raja Drupada.
Gandamana menarik napas dalam-dalam. Ia menyesalkan kejadian itu, tapi nasi telah menjadi bubur. Karena itu, ia terima keputusan Pandu yang memberhentikan dirinya sebagai patih. Bagaimanapun kejadian itu harus ia terima sebagai bagian dari penggalan sejarah dan nasib hidupnya. Hanya yang menjadi masalah baginya, pencopotan jabatan itu telah menjadi beban mental bagi orang-orang di sekelilingnya, termasuk bagi Raja Drupada, yang ia cintai dan hormati.
“Mohon hal itu tidak memberatkan pikiran, Kakanda. Semua yang telah terjadi biarlah berlalu. Dinda ikhlas menerima keputusan Kangmas Pandu yang pada waktu itu memang punya kewenangan untuk memutuskan,” jawab Gandamana.
“Syukurlah kalau Dinda Gandamana sudah legawa. Hanya yang tetap menjadi pertanyaan bagiku, kenapa Kakangmas Pandu pada waktu itu lebih percaya kepada mulut manis yang penuh tuba si Sengkuni itu daripada laporan Yamawidura dan Dinda sendiri. Sekarang setelah Kakang Pandu wafat dan Dinda kembali ke Pancalaradya, yang menjadi pendamping Kakang Destarata adalah manusia penghasut si Sengkuni itu. Akan jadi apa Hastina kelak aku tak tahu. Yang jelas bakal kacau.”
“Hamba juga tak habis pikir. Kangmas Pandu yang dikenal bijaksana itu kenapa bisa percaya begitu saja pada fitnah dan hasutan Sengkuni. Ditilik dari segi mana pun tak mungkin Hamba mbalela dan menginginkan kursi raja Hastina.”
“Yang sudah ya sudah, Dinda. Sekarang lebih baik pikiran kita terarah ke depan, ke masa yang akan datang. Mumpung kita berjumpa empat mata,mari kita bicarakan masa depan Pancalaradya. Sejujurnya yang berhak atas kerajaan Pancalaradya ini sejatinya adalah Adinda. Aku hanya anak mantu. Seharusnyalah yang menduduki dampar kencana ini Dinda Gandamana, bukan aku. Hanya karena waktu itu Dinda menjadi patih di Hastina, Kanjeng Rama menyerahkan kerajaan ini ke aku setelah beliau lengser keprabon. Sekarang Dinda sudah kembali ke Pancalaradya. Kursi kerajaan aku serahkan kepadamu.”
Gandamana terkejut. Dia tidak menyangka bahwa perbincangannya dengan Prabu Drupada berbelok ke ke takhta Pancalaradya. Curhatnya tentang pemecatan dirinya oleh Pandu di hadapan Drupada sama sekali tak dilandasi keinginan dan kepentingan dirinya untuk menggantikan kedudukan kakak iparnya yang sangat ia hormati.
“Mohon maaf sebelumnya, Kangmas. Tak terpikir setitik pun di benak Dinda untuk menggantikan posisi Kakanda. Harap dikutuk dewa kalau sampai Adinda bohong dan punya niat seperti itu. Biarlah Pancalaradya tetap dipimpin Kanda sesuai dengan titah Kanjeng Rama. Rakyat Pancalaradya kini sudah makmur, sejahtera, aman dan bahagia di bawah pengayoman Kakanda. Kalau ada pihak yang ingin merebut takhta dan kuasa Kanda, akulah orang pertama yang akan menghadapinya. Dinda kembali ke Pancalaradya karena Dinda tak diizinkan lagi menginjak tanah Hastina. Dinda kembali ke Pancalaradya semata-semata ingin mendarmabaktikan jiwa raga ini untuk kekukuhan kedudukan Kanda, untuk kejayaan Pancalaradya. Lain tidak, Kanda.”

Drupada merasa lega mendengar langsung pengakuan Gandamana. Ia pun yakin akan kejujuran dan loyalitas adik iparnya itu. Baginya, tak ada orang yang menyamai kelurusan hati dan kekonsistenan sikap Gandamana. Ia merasa bangga punya adik ipar yang lurus hati, yang dalam benak dan laku sehari-harinya hanya mengenal dua dimensi: baik atau buruk, benar atau salah.

Selagi keduanya sedang diam dan mencari kata untuk menyambung pembicaraan, tiba-tiba masuk seorang prajurit yang tak dipanggil sebelumnya ke istana. Ia tergopoh-gopoh dan tampak panik. Pada bagian pipi sebelah kanan terlihat memar seperti habis kena pukulan tenaga dalam. Ia segera menyembah Raja Drupada.
“Ketiwasan, Sinuhun. Pancalaradya kedatangan orang gila yang sakti mandraguna. Ia berteriak-teriak dan menyebut nama Sucitra. Ia minta Sucitra menunjukkan kesaktiaannya di hadapannya. Tak ada satu prajurit pun yang sanggup meringkusnya.”
“Dinda Gandamana, aku serahkan keamanan kerajaan kepadamu. Selesaikan kasus ini dengan baik. Jangan meninggalkan kearifan dalam menyelesaikannya. Meskipun menurut laporan prajurit ini dia tidak waras, tetaplah Dinda kedepankan sikap dan sifat welas asih dalam menghadapi dia. Manusiakan dia dan jangan sekali-sekali merendahkan martabatnya. Jangan kelamaan. Segeralah keluar dan selesaikan,” begitu titah Raja Drupada.

Gandamana pun menyembah dan keluar dari sitihinggil istana diikuti prajurit untuk menemui tokoh misterius yang dilaporkan prajurit istana itu.

LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (46)

Sampai di alun-alun, Gandamana berdiri tegak. Pandangan matanya hanya tertuju ke satu titik, ke sosok Bambang Kumbayana yang tengah menjadi pusat perhatian lantaran kebolehannya melumpuhkan prajurit istana yang ingin merangketnya. Kehadiran Gandamana membuat Kumbayana makin gusar. Siapa orang ini, gumamnya pada diri sendiri. Ia menghampiri Gandamana. “Kamu siapa? Apa perlunya datang ke sini. Yang kubutuhkan Sucitra, bukan kamu. Ayo, ngomong sebelum tanganku beraksi.”
Gandamana masih diam. Ditatapnya wajah Kumbayana. Dalam hatinya ia berkata jelas orang ini bukan orang biasa, tapi kenapa kesannya tak tahu tatakrama.
“Rasanya aku tak sedang bicara dengan batu. Tapi kenapa orang yang ada di hadapanku ini tak juga membuka mulutnya. Apa perlu kubuka paksa mulutnya. Hei, siapa kamu?”
“Tanpa tedeng aling-aling. Namaku Gandamana. Hai orang yang tak tahu tatakrama, siapa namamu?”
“Keparat. Belum apa-apa sudah nuduh aku tak tahu tatakrama. Buka kupingmu lebar-lebar agar bisa mendengar. Aku Bambang Kumbayana.”
“Kenapa kamu bikin onar di Pancalaradya? Aku minta kamu segera enyah dari sini.”
“Jangan sembarang ngucap. Kalau kamu tahu siapa sesungguhnya aku, kamu akan menyesal bicara seperti itu.”
“Aku tak peduli siapa kamu. Mau anak gendruwo atau siluman dari hutan, tak penting bagiku. Yang penting kamu cepat pergi dari sini atau mau kamu kujadikan endog pengamun-amun.”
“Kurang ajar. Makin melonjak kamu. Aku datang jauh-jauh ke sini hanya ingin bertemu Sucitro. Sekarang kasih tahu dia bahwa aku ingin menemuinya.”
“Sudah kuduga bahwa kamu tak waras. Di sini tak ada orang yang namanya Sucitro. Sudah, sana pergi.”
“Susah bicara sama kacung macam kamu. Bilang sama rajamu, Bambang Kumbayana ingin bertemu.”

Keduanya sama-sama ngotot. Berkali-kali Kumbayana bilang bahwa yang menjadi raja di Pancalaradya itu dulu bernama Sucitra. Tapi Gandamana kukuh pada pendiriannya bahwa tak ada nama Sucitra di Panvalaradya. Satu saja yang jadi keinginannya: Kumbayana tak boleh lama-lama membuat onar, ia harus enyah dari tempat itu.

LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (47)

Bila dua ksatria bertikai dan bahasa tak bisa lagi menjembatani, jalan keluar hanya satu: adu sakti. Siapa yang digdaya di antara keduanya: Bambang Kumbayana atau Gandamana? Keduanya sama “gilanya”. Keduanya sama-sama putra raja. Tapi kalau bicara tentang pengalaman tempur, agaknya Gandamana punya jam terbang lebih tinggi. Ia sudah malang melintang di Hastinapura sebagai patih yang telah teruji keperkasaannya.

Dalam Perang Pamuksa, perang dunia ke-2 dalam jagat perwayangan, ia berhasil menaklukkan ribuan raksasa prajurit Pringgodani. Ketika ia terperosok ke dasar luweng dan dihujan-timbuni batu oleh prajurit Pringgodani, ia tak mati. Daya tahan tubuhnya luar biasa. Seluruh tubuhnya bak baja yang tak tembus oleh kekuatan apa pun. Itulah sebabnya ketika Kumbayana menyerangnya dengan jurus apa pun, tubuh Gandamana tak kurang suatu apa. Sebaliknya, dengan satu pukulan dari Gandamana, Kumbayana sudah terjengkang.

Dasar Kumbayana ksatria linuwih. Ia tak mau menyerah begitu saja. “Hai Gandamana, jangan gede kepala dulu. Kamu belum tahu bagaimana kalau tenaga dalamku kukeluarkan.”
“Tak usah banyak bacot. Ayo, tandingi aku,” jawab Gandamana.
“Rasakan tendangan terbangku ini.” Kumbayana terbang seraya melepaskan tendangan mautnya. “Ciaaaattt!”
Gandamana cukup mengegoskan badannya dengan menggeser kaki kanannya ke belakang. Tendangan Kumbayana pun tak menemui sasaran. Bersamaan dengan egos itu, tangan kiri Gandamana melayangkan tamparan ke wajah Kumbayana. Plak! Kumbayana tertampar wajahnya. Matanya terpejam. Ia menahan pedih akibat tamparan Gandamana. Tapi itu justru makin membuat dia gusar dan menyeranglah ia membabi buta yang membuat ia sendiri terjatuh.

Pada saat jatuh itulah ia meremas pasir, menggenggamnya, lalu melemparkannya ke wajah Gandamana. Yang dilempar ternyata kurang siap. Kumbayana tak menyia-nyiakan kesempatan. Ia menangkupkan kedua tangannya dan menghunjamkan ke uluhati Gandamana. Jup. Tak hanya itu, kepalanya ia serudukkan ke dada Gandamana. Tak siap dengan serangan bertubi-tubi, pertahanan Gandamana pun sedikit goyah. Ia terhuyung-huyung. Seakan belum puas dengan apa yang dilakukan, Kumbayana melayang tinggi dan melakukan salto. Sebelum kakinya menapak di bumi, sempat menendang janggut Gandamana. Brukkkk! Gandamana terjatuh.

“Ha ha ha ha. Segitu saja kemampuanmu bertahan,” ejek Kumbayana. Prajurit Pancalaradya terpana sekaligus cemas. Mereka paham benar siapa Gandamana. Kalau Gandamana saja kewalahan menghadapi Kumbayana, bagaimana mereka? “Gila, orang ini memang luar biasa. Kita harus segera lapor raja,” kata salah seorang di antara mereka. “Tunggu dulu. Senapati kita belum kalah. Lihat dulu bagaimana kelanjutannya,” kata yang lain.
“Gandamana,” ujar Kumbayana. “Saya kasihan sama kamu. Kalau diteruskan, tak urung kamu akan tinggal nama. Kamu masih punya masa depan meskipun tetap saja menjadi kacung.Ha ha ha ha.”
Tak terima dengan ejekan itu, Gandamana balik menyerang. Sasaran dia kali ini kaki Kumbayana. Tubuhnya merendah. Diputar-putarkannya kaki kanannya seperti orang yang sedang menari. Lalu sesekali diayunkan kaki yang digerakkan itu ke kaki Kumbayana. Tapi Kumbayana sigap. Ia angkat kakinya seperti burung kuntul mengangkat satu kakinya untuk menangkap precil. Gandamana kian penasaran. Frekuensi gerakan sapuannya ditingkatkan. Gejugannya ke arah lutut Kumbayana juga tak menemui sasaran. Justru pada saat dia betul-betul merendah untuk menggunting tubuh Kumbayana, rambutnya terjambak Kumbayana.
“Ha ha ha ha. Kamu membungkuk-bungkuk untuk apa.” Bersamaan dengan itu, tangan kiri Kumbayana melayangkan tamparan ke muka Gandamana. Plaaak. “Nah, ini baru impas. Kamu tadi menampar aku. Sekarang kukembalikan tamparanmu. Ha ha ha.”
***

BERTANYA-TANYA

Seorang teman yang kebetulan bertemu di suatu tempat mengajak awak memesan kuburan. Diterangkannya bahwa masih tersedia beberapa kapling. “Ini kesempatan baik buat kamu. Kapan lagi kalau bukan sekarang,” katanya. Ia lukiskan juga betapa asri dan strategisnya letak kuburan itu. Konon di dekat kuburan itu ada sungai yang senantiasa mengalir. Sejujurnya kini awak jadi berpikir dan bertanya-tanya: kenapa awak yang ditawari? Dalam keadaan begini baru awak sadari pentingnya kehadiran Lik Mukidi. Sayang, sudah beberapa minggu ini ia menghilang. Sejak namanya muncul di kisah “LENGA TALA” ia tak bertandang ke rumah. Duh, Lik.
***

LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (48)

Diperlakukan seperti itu, Gandamana merasa terhina. Ia tak bisa menoleransi apa yang dilakukan Kumbayana atas dirinya. “Kumbayana, kamu tumpul rasa. Sebetulnya dari tadi aku berusaha menahan diri untuk tak menyakitimu. Tapi rupanya kamu tak juga peka. Siapa pun yang berani menjamah kepalaku, harus menerima ganjaran. Kamu memang pantas mendapatkan,” ujar Gandamana.
“Tak usah banyak bicara. Buktikan ucapanmu.”
Kali ini Gandamana mengeluarkan sepenuh kekuatannya. Sekujur tubuhnya seperti baja yang tak tembus benda apa pun, apalagi hanya pukulan manusia. Tendangan dan jotosan Kumbayana diterimanya. Ia tak menghindar ketika diserang dengan tendangan dan pukulan Kumbayana.

Seluruh kekuatan Kumbayana sudah dikerahkan, tapi sedikit pun tak ada efeknya bagi Gandamana. Kumbayana jadi letih sendiri. Ketika tangannya terpegang, bogem Gandamana mendarat di wajah Kumbayana. Pukulan Gandamana bukan sekadar pukulan biasa. Meski tanpa disertai ajian, tenaganya luar biasa. Sekali mendarat di wajah Kumbayana, efeknya luar biasa dahsyat. Wajah Kumbayana tak sekadar bengap, tapi benar-benar rusak parah.
“Aduuuhhh. Ampun. Ampun.”
Gandamana yang telanjur mendidih darahnya tak menghiraukan jeritan Kumbayana. Ia justru semakin semangat menghajar Kumbayana. Gandamana membanting Kumbayana yang sudah tak sanggup apa-apa. Tak hanya itu, ia menusukkan kedua jarinya ke kedua mata Kumbayana. Mata indah Kumbayana pun berubah menjadi mata yang mengerikan. Gandamana yang sudah kehilangan kendali menelikung kedua tangan Kumbayana. Krek krek. Tangan Gandamana seketika rusak serusak-rusaknya. Tangannya jadi ceko.

Prajurit Pancalaradya yang semula bersorak sorai mendadak terdiam. Mereka memalingkan wajahnya, ada juga yang menunduk. Tak sanggup lagi mereka menyaksikan Gandamana menyiksa Kumbayana. Beberapa yang mencoba menghentikan aksi Gandamana malah terpental karena terkena sikutan Gandamana. Rupanya ada di antara prajurit yang masuk ke istana, melaporkan kejadian itu.
Seakan belum puas dengan apa yang dilakukannya, Gandamana mengangkat tubuh Kumbayana. Ia memutar-mutar tubuh Kumbayana di atas kepalanya dan siap melemparkannya jauh-jauh. Namun, sebelum itu dilakukannya, sebuah teriakan dari tepi alun-alun terdengar. “Cukup. Hentikan, Gandamana!” Gandamana tak jadi melemparkan tubuh Kumbayana karena tahu bahwa teriakan itu bukan berasal dari prajurit, tapi dari orang yang sangat ia hormati. Ia melepaskan tubuh Kumbayana yang tak berdaya lagi.
“Kenapa jadi begini. Bukankah sudah aku katakan tadi, selesaikan persoalan dengan penuh kearifan,” ujar Prabu Drupada.
“Ampun, Kakanda. Dinda khilaf. Maafkan, Dinda.”
“Dinda, kenapa kasus Sengkuni yang menyebabkan Dinda kehilangan jabatan patih di Hastina tak juga jadi pelajaran. Sekarang malah kauulangi tindakanmu yang grusa-grusu dan melebihi batas kemanusiaan itu. Aku tak tahu karma macam apa yang bakal kau terima.”
Kumbayana masih merintih kesakitan. “Ki Sanak, sesungguhnya Ki Sanak siapa dan dari mana?”
Meskipun masih sakit, Kumbayana berusaha menjawab. “Aku Kumbayana, putra raja Atas Angin. Aku datang ke sini untuk menemui Sucitra, saudara seperguruanku.”
“Aduh, Kakangmas. Maaf seribu maaf. Akulah Sucitra, adikmu.” Prabu Drupada merangkul Kumbayana. Keduanya menangis.
Perasaan Gandamana campur aduk. Ia terharu dan sangat menyesal. Ia tak tahu bahwa kakak iparnya, Prabu Drupada, itu sesungguhnya Sucitra yang dicari-cari Kumbayana.
Drupada amat menyesalkan kejadian itu. Dibawanya Kumbayana masuk ke istana untuk mendapatkan pengobatan. Obat yang memulihkan Kumbayana adalah pertemuannya dengan Drupada. Namun, tubuhnya tak bisa dikembalikan ke wujud semula. Kumbayana yang tampan kini berubah menjadi Kumbayana yang cacat. Sejak itulah ia berganti nama menjadi Durna.

Atas nama Gandamana, Drupada minta maaf kepada Durna, tapi Durna tak bisa memaafkan. Ia malah malah mengancam. “Gandanana, tunggu balasanku. Pada suatu saat nanti kamu akan aku permalukan,” ujar Durna.
Gandamana tak bisa bilang apa-apa. Mulutnya seakan digembok. Tapi tak henti-henti di dalam hatinya menyesali perbuatannya. Prabu Drupada pun terdiam, tak sanggup mengatakan apa-apa kecuali maaf yang hanya terucap di dalam hati. Ia khawatir akan menyulut kemarahan Durna kalau permintaan maaf itu dilisanjan.

Durna tak mau berlama-lama di Pancalaradya. Ia pamit pada Druprada untuk melanjutkan pengembaraannya. Tak dikatakan kepada Drupada akan ke mana ia pergi, tapi dalam hatinya ia sudah bertekad bulat untuk berguru lagi kepada seseorang guna membalas dendamnya pada Gandamana yang telah menghina dan menyakitinya.

LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (49)

Sepagi ini Lik Mukidi sudah meghuhungi awak. Pasti ada sesuatu yang penting, gumam awak. Rada dag dig dug juga awak sebelum mulai bicara. “Halo! Asalamualaikum. Ya. Ya yak yak. Terdengar, Lik. Jelas sekali.” Awak tak mau memotong pembicaraan. Awak dengarkan kata-kata Lik Mukidi.
“Aku kecewa sekali membaca cerita ‘Lenga Tala’ kau itu. Kau sebut-sebut nama aku di dalam cerita kau. Mana buruk sekali citranya. Kau sebetulnya mau apa? Kita sama-sama laki-laki. Ayo kita selesaikan secara laki-laki.”

Waduh. Dari nada bicaranya, jelas Lik Mukidi marah. Sekarang awak baru ngeh. Dulu dia pernah bilang ingin bikin perhitungan. Waktu itu dia seperti memberi peringatan bahwa hubungan awak dengan dia akan berakhir. Awak sudah ketar-ketir waktu itu, tapi mendadak hilang kekhawatitan itu ketika di hari berikutnya dia bilang tak punya masalah dengan awak. Pagi ini rupanya dia ingat lagi. Mungkin dia habis membaca cerita “Lenga Tala” awak. Moga-moga awak bisa meredakan kemarahannya. Sebetulnya awak tak perlu sekhawatir ini andaikata awak berhadapan langsung. Awak suguh kopi dan rondo royal urusan pasti cepat beres. Masalahnya awak bicara dengan Lik Mikidi via telepon.

“Ayo jawab. Buka mulut kau.”
“Ya, Lik. Nganu. Sebentar. Ini saya lagi kasih makan kucing.”
“Nganu nganu. Jadi kucing lebih penting daripada omongan aku. Sombong kali kau.”
“Oh, bukan begitu, Lik. Ini kucing kalau tak segera dikasih makan, akan mengganggu. Bisa-bisa saya tak menyimak dengan baik petuah Lik Mukidi,” balas awak.
“Aku ini marah, bukan mau kasih petuah. Tahu kau. Orang lagi marah dibilang kasih petuah. Petuah macam mana?”
“Baik. Baik, Lik. Jadi, bagaimana, Lik.”
“Jawab dulu pertanyaan aku. Sebetulnya kau mau apa bawa-bawa nama aku di cerita kau.”
“Oh iya. Di bagian mana, Lik?”
“Ah. Pura-pura kau. Itu di bagian Kumbayana dengan Giman dan Kintaka. Masa sampai dua kali muncul. Mana Mukidi dibilang bergaulnya dengan penjudi. Bagaimana mungkin Mukidi yang alim begini campur gaulnya sama bergajul-bergajul yang bikin Kintaka lupa sama bininya. Itu kan keterlaluan.”
“Tapi di bagian lain Mukidi digambarkan bagus, Lik. Kang Giman bilang bahwa Mukidi diperkecualikan. Coba cek lagi,” kata awak meluruskan.
“Iya, tapi di bagian yang itu. Maksud aku di bagian yang menceritakan pertemuan Kumbayana dengan Kintaka, nama Mukidi, meski disebut sekilas, buruk sekali. Awas saja kalau sampai tak kau hapus.”
Waduh. Gawat ini. Ah, tapi tenang. Kini tiba waktunya bagi awak untuk menguliahi Lik Mukidi.
“Halo. Lik Mukidi. Apakah suara saya masih terdengar. Halo!”
“Aku tak budeg, Sontoloyo. Ayo, mau bilang apa kau.”
“Tolong didengarkan baik-baik. Saya ingin menjelaskan sesuatu yang amat penting.”
“Ah, cerewet kau. Cepat katakan!” Teriak Lik Mukidi.

Awak panjang lebar bicara tentang fiksi. Awak kutip teori macam-macam tentang fiksi. Awak jelaskan apa itu fiksi. Kata-kata Umar Kayam di buku “Berhala” karya Danarto awak kutip juga. Di situ Kayam menjelaskan bahwa sastra itu menampilkan alternatif. Buku Teeuw, juga buku karya Jan van Luxemburg dan Mieke Bal awak pakai untuk menjelaskan apa itu fiksi. Intinya, awak jelaskan bahwa cerita “Lenga Tala” itu hanya fiksi, hanya cerita rekaan. Karena itu, Mukidi dalam cerita itu hanya rekaan, bukan Mukidi yang sesungguhnya, bukan Mukidi yang suka rondo royal. Andaikata dalam kisah itu dikatakan bahwa Mukidi suka judi dan doyan rondo royal, maka tetap saja Mukidi dalam cerita itu adalah Mukidi rekaan. Kalau dalam kisah dikatakan Mukidi suka menciumi ledek di acara tayuban, maka Mukidi di situ tetap Mukidi rekaan. Bahwasanya ada kemiripan antara Mukidi dalam cerita dengan Mukidi dalam kenyataan itu hanyalah kebetulan. Tapi bisa juga bukan kebetulan sebab bagaimanapun sumber cerita rekaan itu kehidupan. Buru-buru awak tambahkan bahwa apa yg terlukiskan dalam cerita tak identik dengan kenyataan. Dengan imajinasinya, penulis menghadirkan kembali kenyataan. Dengan peranti sastra, kenyataan itu diolah sedemikian rupa sehingga menjadi cerita yang bisa saja mirip dengan kenyataan. Tapi ketika menjadi cerita, apa yang terlukiskan itu tetap saja rekaan. Panjang lebar lagi penjelasan awak. Banyak karya sastra, baik sastra berbahasa Indonesia maupun yang berbahasa Jawa, termasuk cerita lelembut, awak jadikan contoh dalam menjelaskan pengertian cerita rekaan. Rupanya Lik Mukidi bisa memahami. Moga kesimpulan awak ini tak salah.

“Sudah. Sudah. Pusing kali aku mendengar istilah-istilah yang kau pakai. Dunia kemungkinan, katarsis, dulce et ulite, dunia sonyaruri, jagat lelembut, sentuh estetis, erwartung, absurd, surealismelah. Istilah macam mana itu. Orang sekolahan kalau bicara, bikin pusing kepala.”
“Lik, saya koreksi, dulce et utile. Bukan ulite. Tile, bukan lite. Ingat, Lik Mukidi pernah membaca cerita ‘Kentrung Itelile’ karya F Rahardi kan?” Ah, apa hubungannya awak sebut cerita itu. Bikin Lik Mukidi tambah pusing. Tapi antara lain tujuannya memang itu: bikin dia pusing agar menyerah. Sepertinya aksi awak kali ini berhasil.
“Oh ya, mungkin Lik Mukidi belum ngopi sehingga pusing. Apa Bu Lik tak menyediakan. Jangan lupa rondo royalnya, Lik,” awak coba mencairkan suasana.
“Ah, kau ini. Tak ada kopi di sini. Tahu ke mana bulik kau. Pagi-pagi sudah pergi sama temannya.”
“Wah, bahaya itu, Lik.”
“Kau jangan manas-manasi aku.”
“Ke rumah saja Lik. Di sini banyak kopi. Mau pilih apa: kopi sasetan atau yang giling. Ada kopi luwak cisadon, kopi lampung, kopi sidikalang. Lengkap, Lik. Rondo royal ada. Kokam pun ada.”
Awak sebut macam-macam, padahal tak semua yang awak sebutkan itu ada. Awak tahu tak mungkin Lik Mukidi main ke rumah. Ia pasti ikut acara Agustusan di kampungnya.
“Sudah. Jangan bikin aku tambah kesal.”
“Oh ya, bagaimana dengan penjelasan saya, Lik. Sudah paham belum bahwa Mukidi di dalam cerita itu bukan Lik Mukidi.”
“Iya sudah. Tapi tolong jangan tokoh Mukidi dimunculkan lagi dalam cerita selanjutnya ya.”
“Oke, Lik. Jadi, sudah tak ada murka di antara kita. Tak ada masalah lagi di antara kita ya.”
“Iya. Sudah ya. Aku akan jadi inspektur upacara di kampung aku. Ini lagi siap-siap.”
Lik Mukidi menutup teleponnya. Alhamdulilah. Satu persoalan selesai. Moga Lik Mukidi tak grogi dan sukses saat menjadi inspektur upacara. Kini awak siap melanjutkan cerita “Lenga Tala”. Moga pembaca masih mengikuti cerita awak. (Bersambung)

2 Replies to “LENGA TALA: BETIS DAN KUTUKAN (41-49)”

Leave a Reply

Bahasa ยป