Judul: Perempuan Berlipstik Kapur
Pengarang : Esti Nuryani Kasam
Penerbit: Penerbit Andi
Tahun Terbit: 2012
Peresensi: Qismatun Nihayah
Mengupas segala kehidupan yang dialami perempuan, memang seringkali mendapati kenyataan yang mengiris hati. Esti Nuryani Kasam menyuguhkan cerita-cerita yang mengandung beragam pelajaran tentang kekuatan jiwa perempuan yang bisa dijadikan pengajaran dalam mengarungi kehidupan. Ia juga menyinggung kejamnya zaman yang terus menguji ketegaran hati para perempuan. Dengan bahasa yang sederhana namun menyimpan sejuta makna, dikemas lewat cerita pendek (cerpen) dalam buku ini. Esti memperlihatkan kepekaan yang tinggi terhadap berbagai persoalan kehidupan sekitarnya, tidak hanya persoalan pribadi, tetapi juga sosial.
Dalam buku kumpulan cerpen “Perempuan Berlipstik Kapur” ini terdapat empat belas judul cerpen. Esti menceritakan betapa beratnya menjadi perempuan masa kini, yang tak mampu bertarung dengan kerasnya arus zaman yang semakin kejam. Dalam judul cerpennya yang pertama, “Rimpang” ia menegaskan bahwa perempuan memang harus lebih pandai agar tak terkalahkan oleh waktu yang terus mengujinya. Tidak hanya pandai, setidaknya perempuan harus menyiapkan mental, jika saja tidak bisa bertahan dalam zaman yang semakin keras ini. Dalam cerpen tersebut ia menceritakan seorang perempuan yang kalah dengan perkembangan zaman. Mengisahkan ketabahan seorang ibu yang terkalahkan oleh anak-anaknya yang telah maju atas peradaban zaman.
Sebenarnya ia tidak gagal mendidik anak-anaknya. Bahkan anak-anaknya sukses menjadi apa yang mereka inginkan. Sayangnya kesuksesan yang dicapai anak-anaknya tidak seperti yang ia inginkan. Ia berharap anak-anaknya sukses dan masih tinggal bersamanya, tapi ketiga anaknya pergi entah kemana. Pergi sesuka hati dan merasa telah menemukan dunianya sendiri. Ada yang merantau ke Bali, berguru di sana dan berharap menjadi pelukis sukses. Ada yang sukanya mendaki gunung tanpa memberitahu pulangnya kapan, terkadang sampai berbulan-bulan.
Ibunya tak pernah mengerti apa yang dimaksud sukses di mata mereka. Ibunya bahkan tak merasakan kesuksesan mereka. Yang ia tahu dari teman-teman anaknya, anaknya orang yang aktif, berprestasi, dan disayangkan jika jalan anak-anaknya dihalangi. Ia hanya tertunduk diam. Ia pernah sekali menasihati anaknya, agar tetap tinggal bersamanya dan meninggalkan rutinitas mereka yang sedikit membahayakan. Ibunya lebih senang jikalau ia memiliki anak yang biasa-biasa saja, tetapi tetap ada di sampingnya, ada jika dibutuhkannya. Namun mereka membantah dengan alasan di zaman sekarang orang harus berjuang maju, tak hanya melakukan itu-itu saja.
Mereka juga mengatakan bahwa ibunya tak bisa mengerti anak muda di zaman sekarang yang dituntut terus maju. Ibunya dianggap masih mengikuti paradigma lama yang layak diperbarui sesuai zamannya. Katanya, di zaman sekarang harus menjadi pribadi pemberani, mandiri, dan aktif. Jika mengikuti jalan ibudanya, hanya pantas hidup sebelum Kartini lahir, yakni sebagai generasi puritan. Anak-anaknya begitu pandai membantah hingga meluluh lantakkan perasaan ibunya. Ia hanya bisa diam dan mengasihani dirinya sendiri.
Dalam buku tersebut juga diceritakan begitu pekanya perasaan perempuan. Ia bisa merasakan sesuatu yang terjadi hanya dari instingnya. Perempuan bisa sabar sekalipun telah dikecewakan. Tapi perempuan juga pantas mengambil tindakan tegas, ketika ia telah benar-benar tak mampu membendung kekecewaan. Dalam cerpennya berjudul “Selingkuh itu Indah” Esti menceritakan bagaimana perempuan merasai dengan instingnya saat suaminya berkhianat. Sekalipun si suami tak pernah memperlihatkan atau berubah sikap saat berselingkuh. Juga diceritakan bagaimana perempuan menyikapi kekecewaannya yang tak terbendung dengan meninggalkan suaminya lewat menyibukkan diri bekerja, sembari memberikan kesempatan kepada suaminya agar menceraikannya tanpa mengatakan hal yang dapat menyakiti suaminya.
Esti juga bertutur betapa kuatnya perempuan menghadapi kerasnya kehidupan. Ia perihatin, dengan kaumnya yang sering tersiksa di negeri rantau. Seolah belum kering luka terdalam masa lalu tentang kaumnya yang terkubur di perut bumi. Namun ia tak henti berjuang agar kaumnya tak lagi tertindas, seperti dalam cerpen “Aku, Perempuan Gunungkidul”. Di zaman kian keras ini memang dibutuhkan orang-orang kuat dan mau melakukan perubahan, agar tidak tertinggal. Esti berkisah dalam cerpennya “Perempuan Berlipstik Kapur”. Di dalamnya bercerita tentang perempuan penambang kapur yang tegar menghadapi kerasnya hidup di daerah tandus gunung kapur. Ia tinggal di rumah kecil, di sebuah kabupaten gersang, miskin, kurang air, dan banyak tragedi gantung diri. Namun semua keadaan tidak mendukung tersebut ia tetap mengupayakan perubahan agar di desanya tak lagi tertinggal. Sayangnya ia meninggal di tengah perjuangannya mengumpulkan kapur. Ia tertimpa longsor begitu dahsyat, dan di akhir khayatnya ia dikenang oleh masyarakat sebagai perempuan yang menginspirasi kaumnya.
Dalam buku kumpulan cerpen ini, Esti mengajak para pembaca menjelajahi batin perempuan melalui kekuatan narasinya. Sebagai sastrawan, Esti sangatlah fasih memotret kedalaman batin kaum perempuan serta permasalahannya. Lewat kata-kata dan simbol-simbol yang kaya unsur lokal, cerpen-cerpennya menjelma bara bagi perempuan untuk senantiasa memperjuangkan hak-hak mereka yang selama ini terpasung. Tokoh-tokoh dalam cerpennya merupakan kesaksian kaum perempuan yang telah memiliki kesadaran gender. Buku ini mengangkat masalah dan harapan hidup perempuan desa di tengah kekuasaan budaya patriarkhi. Buku “Perempuan Berlipstik Kapur” sangat menyentuh dan inspiratif, membuka hati kita lebih memaknai, menghargai, dan menghormati kaum perempuan dalam kehidupan.