MENEMUKAN DIDIN


Daniel Mahendra

Ketika aku mendirikan Toko Buku Malka pada 2005 silam, ada seseorang yang selalu datang di acara diksusi buku yang rutin kami gelar. Herannya, di akhir acara, ia selalu mendapatkan doorprize buku.

Entah sudah berapa buku yang ia kumpulkan dari hasil “merampok” doorprize. Saking seringnya ia datang, lama-lama kami jadi akrab. Didin namanya. Kurus, malu-malu, tak banyak bicara, berkacamata, selalu berjaket dan bersandal jepit.

Suatu hari ia berkata, “Kang, boleh saya ikut jaga toko buku? Nggak usah dibayar. Yang penting saya boleh baca buku sepuasnya di perpustakaan.”

Tentu saja aku senang mendengarnya. Meski pada akhirnya aku tetap membayar honor jaganya. Betul belaka: ia nongkrong saban hari di Malka, meski bukan waktu giliran jaga. Pagi hari jualan gorengan. Siang istirahat. Sore hingga malam sudah pasti ada di Malka.

Lama-lama ia jadi seperti keluarga di Malka. Kalau ada pameran buku, ia dengan cekatan mengepak buku yang harus dibawa, membawanya pakai motor atau mobil sewaan, dan jaga pameran hingga berhari-hari.

Proses memang tidak akan mengkhianati hasil. Dari sana ia jadi kenal dengan banyak penulis, berbagai penerbit, serta aktivis perbukuan di Kota Bandung.

Siapa nyana, sejak itu orbit Didin makin meluas. Ia sering ditawari untuk jaga pameran oleh banyak penerbit. Tidak saja pameran buku di Kota Bandung, tetapi juga di berbagai kota di Indonesia. Fluktuasinya jelas makin meningkat. Ia kerap jadi rebutan penerbit saat ada pameran buku.

Tak sampai di situ, dari hasil belajar sana-sini, Didin pun nekat mendirikan penerbit buku. Tulus Pustaka namanya. Ia sempat bertanya padaku: bagaimana membuat badan hukum, bagaimana mengajukan ISBN, bagaimana proses pracetak.

Di mataku Didin jelas orang hebat. Dari tukang gorengan, melejit jadi aktivis perbukuan yang banyak diperebutkan. Ia bisa menikah, membeli motor bahkan rumah dari usaha perbukuan. Justru aku yang banyak belajar darinya tentang arti usaha yang tak mengenal kata menyerah.

Kini Didin sedang dirundung masalah. Ia dilaporkan ke polisi menggunakan UU ITE. Komentarnya di sebuah status Facebook seseorang dipersoalkan.

Beberapa hari setelah Didin berkomentar di status Facebook tersebut, aku sempat melihat status Facebook yang dimaksud. Di sana kulihat: beberapa orang mempertanyakan pernyataan Didin dan meminta penjelasan dari kalimatnya.

Sayang sekali, hingga berhari-hari, Didin tak kunjung menjelaskan atau melakukan klarifikasi. Sementara di Facebook Didin, kulihat ia masih anteng mengunggah status-status personal.

Kalau aku jadi pemilik sebuah penerbitan dan ada seseorang yang mengatakan bahwa buku yang kuterbitkan dianggap dijual paksa ke sekolah-sekolah, pasti aku pun akan mempertanyakan pernyataan tersebut dan minta klarifikasi.

Sayangnya Didin tak kunjung membalas komentar-komentar itu. Tak lekas menjelaskan atau melakukan klarifikasi. Hingga, sialnya, seseorang melaporkannya menggunakan UU ITE.

Sesungguhnya persoalan ini bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Bertemu, duduk bersama, saling bicara, dan meminta maaf.

Sebagai sahabat, tentu saja aku mendukung dan membela Didin. Tetapi aku juga harus fair melihat: itikad baik Didin dengan memenuhi panggilan kepolisian aku pikir sudah telat. Semestinya itikad baiknya ia lakukan jauh sebelum ia dilaporkan, dengan menjelaskan atau membuat klarifikasi dari komentarnya di status Facebook tersebut.

Tentu aku berharap persoalan ini bisa lekas selesai dengan pendekatan saling pengertian. Rasanya tidaklah berlebihan jika kawan-kawan perbukuan di Kota Bandung bahu-membahu membantu serta mengawal kasus ini.

Tegar, Din!
Tulisan terkait: Catatan. Jumat, 18 September 2020

Leave a Reply

Bahasa »