Fiat 127 Sport dua pintu. Dengan mobil itu pertama kali saya belajar menyetir. Itu kepunyaan ayah: mungil, kuning, dan hobi mogok. Setiap Minggu pagi, ayah akan mengutak-atik mobil itu, lebih tekun dari pengukir kayu. Saya memiliki ketertarikan yang aneh pada mobil itu. Mungkin seperti cinta yang kadang salah alamat.
Jika ayah mulai membuka garasi, mengangkat kap mobil, dan mengulik mesinnya, saya akan berdiri di sampingnya, cerewet bertanya ini itu, tetapi yang dilakukan ayah adalah memanggil adik lelaki saya, memintanya membantu ayah, walaupun kadang adik saya tidak mau, karena mungkin menurut ayah, saya lebih baik membantu ibu, mengambilkan jahe atau kencur, alih-alih mengambilkan socket wrench atau kunci inggris.
Saya tahu ia melakukannya karena sayang, tidak ingin saya kebablasan pencilakan, walaupun begitu kadang-kadang saya tak terima dan membangkang. Pernah suatu sore saya menggunakan mobil itu diam-diam, dan yang terjadi selanjutnya adalah remnya blong, stir berputar liar, hingga akhirnya mengalami kecelakaan beruntun. Saat ayah datang ke TKP, ia tidak memaki, mencubit, atau mengutuk saya jadi batu. Ia hanya diam, menyelesaikan semua masalah, dan mengajak saya pulang.
Saya pikir, setelah itu saya tidak akan diperbolehkan menyentuh Fiat itu selamanya dan menyuruh saya mendekam di dapur sepanjang hari, membedakan pala dan kemiri. Tetapi saya salah. Setelah dua minggu, Ayah memberikan kunci Fiat kepada saya, duduk di samping saya, dan mendampingi saya di jalanan paling padat tengah kota. Begitu juga esoknya. Begitu juga hari-hari berikutnya, hingga saya mahir melewati tanjakan, turunan, dan gang-gang kecil yang penuh balita berlarian.
Mahir menyetir adalah mahir menyetir adalah mahir menyetir. Ada seseorang yang mempertanyakan kenapa pilot kebanyakan pria, bahkan di salah satu perusahaan penerbangan, hanya memiliki pilot-pilot pria saja. Sesungguhnya ia tidak membicarakan tentang pilot. Ia membicarakan tentang nominasi penghargaan sastra Badan Bahasa yang seluruhnya laki-laki. Namun sesungguhnya, keahlian menulis hampir mirip dengan kemampuan menyetir. Itu membutuhkan usaha dan kesungguhan.
Kawan saya, mantan penjaga gawang kolom sastra, yang mungkin bisa disamakan dengan HRD seorang perusahaan penerbangan, mengatakan bahwa karena yang mendaftar menjadi pilot kebanyakan pria. Jadi secara probabilitas, tentu kebanyakan prialah yang diterima menjadi pilot.
Namun sesungguhnya, lebih kompleks daripada itu. Ada hal-hal yang disebut area bawah sadar atau unconscious mind yang kadang menyetir perilaku kita. Seperti ayah saya yang lebih suka memanggil adik saya saat mereparasi mobil daripada memberi kesempatan kepada saya. Seperti seorang pasien yang memanggil perawat lelaki (asisten saya) “dokter” dan memanggil saya “suster”. Seperti seorang komedian wanita yang mengatakan bahwa ia begitu bangga ketika menaiki pesawat yang dipiloti seorang perempuan, tetapi ia berdoa mati-matian ketika pesawat berguncang dalam turbulensi dan berharap si pilot perempuan itu tahu bagaimana cara menyetir yang baik. Menurutnya, tidak banyak perempuan yang menyetir dengan baik. Bahkan seorang perempuan pun, kadang tidak mempercayai kaumnya sendiri hanya karena stereotype atau nilai-nilai yang diwariskan turun temurun. Dan itu kadang mengendap, dalam area ketidaksadaran, bahwa pria lebih mumpuni dalam sastra.
Menulis yang baik sama dengan menyetir, itu masalah keahlian: harus selalu belajar, harus selalu berlatih, dan harus selalu berani “bertarung” di jalanan, mengalahkan rasa takut dan was-was. Seringkali kendala bagi perempuan bukannya keharusan selalu belajar ataupun keharusan selalu berlatih, melainkan sesuatu yang lebih mendasar, sesuatu yang tenggelam jauh di dalam samudera pikirannya yang dalam, bahwa ia tak sebaik lelaki dalam menyetir, hingga ia lebih memilih tidak turun ke jalanan dan memilih memanggil taksi daring saja. Kadang, kendala itu ada dalam diri perempuan itu sendiri, tanpa ia sadari.
Mobil Fiat 127 itu sekarang sudah lumpuh setelah mesinnya tak bisa lagi menyala. Ia menghabiskan masa pensiunnya di garasi rumah ibu saya. Namun, ia masih tetap hidup dalam pikiran saya, sebagai penanda bahwa dengannya saya pernah mengalami kegagalan, dan dengannya pula saya belajar bangkit dari keterpurukan. Ia juga masih melaju dengan kencang dalam kenangan di kepala saya, saat saya di belakang kemudi dan ayah di kursi penumpang, duduk bersandar dengan rileks, tanpa sedikit pun kekhawatiran. Itu jauh lebih berharga dari pujian mana pun.
***
*) Sasti Gotama, kelahiran Malang yang tinggal di Cilacap. Beberapa cerpennya dimuat di media Kompas, Tempo, Minggu Pagi, Fajar Makassar, Detik, Ideide, dll. Karya terjemahannya; “Bagaimana Berdebat dengan Kucing”, “Narsisme”, dan “Etika Ambiguitas” (Circa). Buku antologi bersama; “Mimpi-mimpi Erina” (Cerpen dan Puisi Nomine Anugerah Sastra Ideide.id 2020), “Pandemi” (ProsaDiRumahAja, Indonesia Kaya, 2020), “Hanya Cinta yang Kita Punya untuk Mengatasi Segalanya” (2020), “Gagak, Kelelawar, dan Firasat-firasat” (2020). Buku antologi tunggalnya; “Penafsir Mimpi” (2019). “Mengapa Tuhan Menciptakan Kucing Hitam?” (2020) menjadi salah satu buku Karya Sastra Rekomendasi Tempo 2020.