Perjalanan Puitis ke Kuil Nietzsche


Peresensi: Ahmad Fatoni *
Judul: Kuil Nietzsche, Kumpulan Puisi
Penulis: Binhad Nurrohmat
Penerbit: BOENGAKTJIL, Jombang
Cetakan: I, Agustus 2020
Tebal : 77 halaman
ISBN: 978-623-93384-9-7

Tak ada lagi yang dimiliki selain kesunyian./ Cinta telah menjelma iman yang dilepaskan./ Tuhan alangkah renta untuk niscaya dipuja./ Diri yang agung memanggul umat manusia.”// (Kuil Nietzsche, hal 33)

”Kuil Nietzsche” yang menjadi judul buku kumpulan puisi, ini merupakan salah satu sajak yang mewakili dari sekian pemikiran filosofis Friedrich Nietzsche. Binhad seolah ingin mengulang suara lantang Nietzsche bahwa Tuhan yang dianggap kebenaran absolut oleh orang-orang kaum Kristianisme Barat, sudah mati terbunuh.

Berthold Damshäuser, pengamat sastra Indonesia dari Universitas Bonn, Jerman, memberi komentar di sampul belakang. Ia menyebut kumpulan puisi ini mengajak pembaca untuk menyelami dunia Nietzsche, sang filosof dan pemikir unik dari abad ke-19. Ia pun menyarankan pembaca agar mencari sendiri berbagai informasi yang diperlukan untuk memahami keseluruhan dari sajak-sajak Binhad yang semuanya bertemakan Nietzsche.

Tak pelak, menyimak 62 puisi dalam buku ini sebagai perjalanan menelusuri riwayat hidup dan filsafat Nietzsche, mulai dari mitologi Yunani sampai ke tokoh-tokoh seperti Richard Wagner, Arthur Schopenhauer, Lou Salone dan banyak yang lain. Singkat kata, puisi-puisi Binhad kali ini membawa kita turut serta menelusuri rimba pemikiran Nietzsche.

Bagi Nietzsche, misalnya, dunia adalah sesuatu yang hampa. Dunia tak memiliki pencipta, namun bisa hadir dan berkembang dengan kekuatannya sendiri. Mari kita baca puisi Binhad pada (hal 68) “Cincin dan Cinta”: Tak adakah tangga atau sayap di dalam diri kita/ sehingga tak semua kisah adalah jejak kaki kita?/ Manusia di dunia melulu berlalu-lalang melata.// Di dunia semacam ini, tidak ada pengetahuan obyektif. Yang ada adalah suatu permainan yang tidak memiliki kebenaran, tidak memiliki awal, serta selalu terbuka untuk ditafsir.

Nietzsche sendiri terkenal dengan julukan ‘si pembunuh tuhan’ setelah dengan berani ‘membunuh tuhan’ (‘t’ dengan huruf kecil, sebab tuhan yang dimaksud Nietzsche hingga kini masih dalam perdebatan) lewat kutipannya yang terkenal, “tuhan sudah mati, kita yang membunuhnya.” Binhad sepertinya sengaja ingin menggaungkan lagi ‘pembunuhan’ itu. Diri mengembara di semesta tak bermajikan/ melepas waktu silam dan tanpa masa depan/ Sebelum manusia bimbang atau berontak/ mungkin Tuhan telah lebih dulu beranjak.// (“Tuhan, Selamat Tinggal” hal 19).

Tentu saja ‘pembunuhan’ tersebut menimbulkan pro dan kontra. Bahkan bila Nietzsche mengatakan hal itu sekarang di negara ini, niscaya dia akan dikenakan pasal penghinaan pada agama. Kendati kita tidak tahu pasti, agama mana yang menjadi perwakilan ‘tuhan’-nya Nietzsche. Sebagaimana kita tidak tahu pasti, ‘tuhan’ siapa yang dibunuhnya.

Kalimat filosofis “tuhan sudah mati, kita yang membunuhnya” senyatanya bisa bermakna banyak—sebagaimana karya sastra kebanyakan yang memiliki multi tafsir. Tergantung penafsirnya. Bisa pula bermakna keyakinan Nietzsche terhadap eksistensi manusia di masa depan, atau bisa juga sebagai kritik kepada umat beragama yang ‘ber-Tuhan’ namun kelakuannya jauh dari ‘Tuhan.’

Sekadar contoh yang terjadi di negeri ini. Benarkah radikalisme lahir sebagai pengabdian kepada Tuhan? Atau radikalisme hanya kemasan yang sebenarnya maksud di baliknya adalah kekuasaan politik? Sungguh, manusia terlalu sombong dengan membawa Tuhan hanya untuk urusan politik. Tetapi kenyataannya, hal itu terjadi berulang kali.

Maka, “Tuhan sudah mati” tidak boleh ditanggapi secara harfiah, seperti dalam “Tuhan kini secara fisik sudah mati”. Sebaliknya, inilah cara Nietzsche untuk mengatakan bahwa gagasan tentang Tuhan tidak lagi mampu untuk berperan sebagai sumber dari semua aturan moral atau teleologi. Firdaus serta jahanam terciptakan/ dari karunia sempurna di firman./ Nihil segalanya sejak tiada Tuhan.// (“Seusia Tuhan Pergi” hal.20).

Melalui pemikiran filosofis Nietzsche yang dibungkus dengan kata-kata puitis, kumpulan puisi Binhad seolah ingin menggugat segerombolan manusia nihil yang begitu getol berdalil dengan nama Tuhan demi segumpal kekuasaan. Tak ada wajah manusia di dunia/ kecuali makhluk-makhluk nihil./ Keagungan terakhir dan pertama/ dipersekutukan tempaan martil.? (“Martil Senja” hal 64).

Gugatan Binhad atas keserakahan para penguasa semakin menguat pada puisi (hal 76) ”Hans Olde Menggambar Nietzsche”: Siapa menemukan kuburan Tuhan?/ Sesudah dibunuh, tuhan lain berkeliaran./ Manusia terkesima tuhan kecil yang fana/ semabuk memuja idola agung di dunia.//

Sebagaimana Nietzsche, selain dikenal sebagai penyintas sastra Indonesia,  penyair Binhad menunjukkan kebebasan berbahasa, keindahan merangkai kata, dan aneka metafora yang demikian kaya. Karyanya ini tak sekadar berkhotbah, menghasut, apalagi berindah-indah. Binhad tampak ingin menohok kesadaran pembaca untuk membangun ruang spiritual-filosofis dalam jiwa dengan melakukan perjalanan puitis ke kuil Nietzsche.
***

*) Penikmat puisi dan pengajar Pendidikan Bahasa Arab UMM.

Leave a Reply

Bahasa »