MELATIH IMAJI
aku menjadi burung tekukur
paruhnya luntur bentur bukit kapur
bersimbah debu darah kental beku
sayapnya koyak
cengkramnya moyak
terbangnya gusar
diterpa deru badai, tekukur mengaum singa
dihantam geludug, tekukur maju tengadah
malam beludru embun, tekukur rentang dada
seusai subuh diarunginya gunung kapur
hanya dengan separo paruh
2014
ADEGAN PERTAMA
cahaya sudut panggung membias siluman
bayangan tokoh geliat rautnya pedih
membentang selendang hitam
hidup selalu capai kemapanan semu
hiruk pikuk keinginan siapaberani menukarnya
dengan air mata
siluman mewujud menabur impian
sang tokoh gemetar sembunyi dibalik kursi
penonton alihkan pandang dari panggung kosong
cahaya bergerak kangkangi kota negeri dalam sekejap
ruang pentas jadi medan pertarungan sampai hari ini
siluman melabrak segala penjuru
mengantongi rupiah merebut nasi
meraup apa saja
2014
POHON TIDUR
ketika kusapa dia tak mendengarku lagi
aku jadi ingat kemarin mengumpatnya
bayangkan, telah kulewati waktu dengan tekun
kusemai dia dari perjalanan panjang dan melelahkan
kutanam dia ditepi sungai dengan air jernih
kujaga dari binatang yang mengancam rimbun daunnya,
kupagari rapatrapat dengan harapan
salahku, kurun lima tahun terakhir
kutinggalkan dia dalam lamunan sunyi
saat kutemui wajahnya sengit
menatapku seperti ada dendam tak terperi
aku datang kepadamu wahai pohon
kau begitu tampak segar buahmu ranum berjatuhan
tapi sungai disamping tumbuhmu airnya kering
siapa gerangan yang mengambil air minummu itu
ia diam tak bergeming
matanya terpejam bagai pertapa
2015
TIDUR
belum tuntas perbincangan
kian memburai pandangan
hudup mati bergegas tunduk
pada persoalan
setelah perbincangan sampai
pada awal mula lalu perguliran jaman
waktu seperti terhenti detaknya
orangorang pergi dengan gegasnya
ada yang lentang dalam mimpi
panjang berabad
tepekur
2015
PETARUNG
tak semestinya memilih gelanggang kosong
layaknya elang mengarungi gurun tualang
mencari selalu mencari
tentang petualang pejalan kuyub air hujan
peluh matahari gelisah malam
di perbincangan jumut
kini menempuh memilih berlari
atau renung di gunung
di hutan sejarah lampau
ayo menggempurlah setelah usai
usai dari berbenah ruh meniris
luka perjalanan
2015
SEPERTI SUARA KECAPI
tapi luput kutangkap
Sembunyi lagi menjelma
wajah pasi
aku terbangun cengang
wajah begitu dekat
tahi lalat di keningnya
menari bersama sunyi
kutangkap luput lagi
berpindah di lengannya
kugamit dengan mantra
ya beberapa waktu lalu
kini belum separo waktu
sudah dikirim suara kecapi itu
dipaksanya aku menangkap
dan tahi lalat itu
bahkan pula menjelma rindu
di wajahnya sesekali
tumpahkan amarah jengah
selengking kecapi
2015
GELANG PUSAKA
tumpah amarah lelaki itu
ada satir ditulis pada hari senja
di beranda angin semilir
perempuan bergayut manja
memecah hening
: adakah perempuan menghendaki gelang
melingkar di lengan selain aku
: ini gelang berabad dikenakan lelaki para dewa
tak mungkin seorangpun berkehendak
kecuali diturunkan langit dilahirkan
rahim perempuan satu
maka sumpah itu gemetar dada
mengguncang gunung dan laut
kilat menyambar berdebum
runtuh semua senyum
besemi semua duka
sesal membayang pada
setiap lelaki maha mahkluk
maha tipuan maha kebebasan
titisan para dewa.
Dody Yan Masfa, lahir di Surabaya 15 Juni 1965, menulis puisi adalah kegemarannya sejak remaja, sebagai ngudo roso, katarsis, dan meneliti diri sendiri sejauh mana ia memiliki kepekaan rasa keindahan tentang bahasa tulisan. Prestasi karya bukan menjadi prioritas bagi dirinya. Menekuni teater sejak usia muda, sampai sekarang aktifitas itu menyeretnya untuk terus menulis. Dody adalah aktor dan sutradara teater Tobong. No Kontak: 085732439089 email : dodyyanmasfa@gmail.com