Andrenaline Katarsis
Mengikuti perkembangan kasus hukum yang menimpa Didin Tulus (DT) ini agak menarik dan mengusik perhatian saya. Dikatakan menarik karena kasus yang bernuansa lokal ini menyimpan problematik semantik bahasa, yakni si pelapor memakai bahasa Sunda dalam setiap unggahannya di sosial media sehingga publik majemuk kesulitan untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Kasus ini mengusik, karena setelah saya telusuri, si pelapor dan si terlapor DT ternyata adalah sesama urang Sunda dan sama-sama pegiat buku.
Saya pribadi sebagai orang Sunda yang paham betul dengan bahasa ibu saya, sangat menyukai teks-teks bahasa Sunda yang terasa hidup dan punya rasa. Sedikit bukti kecintaan saya pada bahasa Sunda, saya suka membaca buku-buku berbahasa Sunda, malah saya sempat menerbitkan buku-buku berbahasa Sunda lewat kanal penerbit yang saya kelola sendiri.
Untuk kasus DT, saya membaca teks tangkapan layar dari pemilik akun yang saya tengarai sebagai seseorang yang melaporkan DT ke kepolisian. Saya mencoba membaca teks-teks berbahasa Sunda itu dengan teliti. Jujur saja, setelah membacanya saya kaget. Kenapa harus kaget? Prototype orang Sunda yang bukan pendendam, someah, humoris, santun dan halus lembut tutur kata, ternyata tiba-tiba bisa beringas dan kasar untuk sebuah persoalan yang sebenarnya sepele dan miskomunikasi. Tapi apa daya, ternyata miskomuniasi ini berbuntut panjang. Saya berharap kasus ini bisa diselesaikan dengan cara-cara khas Sunda: ngawangkong bari ngopi dipairan ngadu bako.
Oke, kembali ke soal unggahan dan teks bahasa Sunda. Barangkali memang hanya orang Sunda saja yang bisa menangkap rasa dan makna dari setiap teks kalimat si pelapor, sebab jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, banyak kemungkinan tidak memiliki nuansa apa-apa kecuali teks itu sendiri.
Mengingat kasus hukum DT ini sudah menasional dan viral, ada baiknya saya mencoba menterjemahkan teks bahasa Sunda yang menghebohkan lini masa ini ke dalam bahasa Indonesia, agar teman-teman dari luar Jawa Barat (yang mengirim pesan pertanyaan seputar kasus DT), mudah-mudahan para praktisi hukum Indonesia dan ahli linguistik jadi mengerti duduk perkaranya.
Dari tangkapan layar pertama, saya coba terjemahkan dengan tidak menghilangkan kandungan maksudnya. Ada istilah-istilah dalam bahasa Sunda yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia hasilnya jadi terasa datar, kurang gereget sehingga jadi tidak ekspresif. Ekspresi itu penting karena untuk mengungkapkan perasan marah, benci atau bahkan cinta. Terjemahan bebasnya sebagai berikut:
“Si wewelek (Dalam Kamus Basa Sunda karangan RA Danadibrata terbitan Penerbit Kiblat, berasal dari kata ‘welek’ = pendosa. Wewelek artinya orang yang berbuat dosa) orang menjengkelkan itu, Didin Tulus, kemarin masih gaya-gayaan di sejumlah statusnya. Sudah dipanggil-panggil tidak juga mau membalas. Tapi begitu sudah tahu akan dilaporkan ke polisi, beberapa statusnya kemudian dihapus, untung (status DT) sudah di-capture. Tadi sore, setelah mengirim bukti lapor ke Polrestabes, sepertinya (Terlapor = Didin Tulus) ketakutan, lalu panik dan terkencing-kencing, soalnya terus-terusan saja menelpon (saya = si pelapor). Ya, tidak diangkat, memangnya saya laki-laki apaan?”
Dari teks tangkapan layar kedua, ini yang membuat membuat saya kaget. Berikut terjemahan bebasnya:
“Katanya si belegug (Menurut Kamus Basa Sunda karangan RA Danadibrata, belegug = belet, euweuh kabegug, teu nyaho digawé hadé lantaran acan boga pangalaman hirup; barudak rata-rata balalegug dina sagala; begug, dusun, bodo = bodoh, tidak bisa apa-apa, tidak bisa bekerja sebab tidak punya pengalaman hidup; biasanya anak-anak tidak bisa berbuat apa-apa dalam segala hal; bodoh, dusun. *Umpatan kasar yang merendahkan derajat si terlapor) ini punya anak sakit yang membutuhkan biaya besar untuk beli obat, tapi kenapa melampiaskan kekesalannya ke buku pelajaran bahasa Sunda GS (Penerbit Buku), bukannya ke rumah sakit, puskesmas, atau pabrik obat? Kalau memang benar anaknya dipaksa oleh sekolah untuk beli buku tersebut sambil mengancam tidak akan naik kelas jika tidak beli, ya ke sekolah dong protesnya, bukan mempersoalkan buku “Basa Sunda Urang” sambil me-mention TS dan HA (Pengarang Buku) sebagai pengarang? Kamu harus tahu, tidak mungkin di jaman sekarang ada sekolah menjual paksa buku ke murid, ‘kan semua buku sudah disubsidi oleh dana BOS dan digratiskan ke siswa. Sudah empat tahun berlangsung dan sekarang transaksinya dilakukan melalui aplikasi Siplah, jadi semakin tidak mungkin ada sekolah beli langsung ke penerbit. Harus tahu juga, buku GS (Penerbit Buku) tidak ada yang semesteran, tolol, jadi omongan kamu bahwa harus beli buku setahun dua kali itu tidak ada dasarnya. HA (Pengarang Buku) yang tidak ikut-ikutan nulis buku malah diunggah juga fotonya (foto sampul buku) oleh kamu, lantas apa hubungannya merasa berat beli obat dengan MEMBERANTAS MAFIA BUKA PENGAJARAN SUNDA?
Lalu siapa yang kamu maksudkan budayawan mafia, goblog? (Goblok = umpatan kasar). Besok sebutkan siapa nama budayawan yang difitnah itu dihadapan penyidik. Demi Allah, déwék (Kamus Basa Sunda Danadibrata = sorangan; sok dipaké gaganti ngaran jelema kahiji jeung kaasup basa kasar = pengganti kata orang pertama termasuk bahasa kasar) tidak pernah ingkar dan omong kosong, bebengok silaing (menurut Kamus Basa Sunda karya R.A Danadibrata Bebengok = beungeut monyet, kecap basa kasar pisan anu hartina “beungeut” : ‘wajah monyet, kalimat sangat kasar yang artinya ‘wajah’) besok akan dilaporkan ke polisi.”
Demikianlah. Semoga bisa dipahami duduk perkaranya. Maafkanlah kalau terjemahannya kacau. Salam.