BILA AKSARA BERDANSA TANGO


Judul Buku : TANGO
Penulis : Avi Basuki
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan ke : I/Agustus 2006
Tebal : xiii + 165 halaman
Peresensi: Amril Taufiq Gobel
amriltgobel. net

APA hubungannya Fira Basuki dan Avi Basuki? Pertanyaan ini tiba-tiba mendera pikiran saya saat pertama kali melihat sampul buku kumpulan cerpen ini tergeletak menyolok di rak “New Arrival” disalah satu toko buku langganan saya. Terus terang saya tak tahu (dan mungkin tak peduli) apakah kedua penulis yang ber-“marga” sama ini punya hubungan darah atau kekerabatan yang erat. Namun setelah membaca lembar demi lembar buku karya mantan peragawati dan model yang kini bermukim di Milan ini, saya sampai pada sebuah kesimpulan yang cenderung naïf : baik Fira maupun Avi, adalah dua penulis sama-sama memiliki karya yang menggetarkan. Meski keduanya memiliki ciri dan karakteristik sendiri dalam menulis, tapi gaya bertutur yang renyah dan lancar mengalir memberi kenikmatan sendiri bagi saya sebagai pembacanya.

Avi Basuki memang wanita multitalenta nan “ajaib”. Tak salah kiranya jika di kata pengantar buku ini, sang sahabat, Seno Gumira Ajidarma memberikan apresiasi cukup mendalam pada untaian 14 buah cerpen yang sebagian besar sudah pernah dimuat dimedia massa ibukota ini. Seno secara atraktif menyatakan dibagian belakang sampul buku ini, “Avi yang telah mengembara dalam berbagai cara berbahasa, mulai dari bahasa tubuh, bahasa visual, sampai bahasa linguistik, akhirnya juga menemukan cara berbahasa yang menjadi sejumlah cerita dalam buku ini—dan memberikan pada kita sebuah dunia”.

Dan dunia ala Avi dibuku ini dibaginya menjadi dua kelompok. Tango dan Bukan Tango. Dibagian pertama, Avi menampilkan 4 kisah (“Tango”, “Una Noche con la Reidad”, “Muerte del Angel”, dan “Milonga de angel”) yang sarat dengan nuansa dansa terkenal ala Spanyol itu. Sebagian besar kisah yang dituturkan dikelompok ini romantisme cinta yang melankolik. Juga ironis. Misalnya kisah “Una Noche con la Reidad” (Satu malam bersama kenyataan), yang bertutur tentang kasih tak sampai seorang penari tango pada seorang lelaki misterius yang sering mampir di Milonga (aula/ruang dansa)-nya. Secara cerdik, Avi mengupas pergulatan batin yang dialami tokoh “aku” dengan narasi yang sungguh memikat disela-sela alunan musik yang riuh, kaki-kaki yang lincah bergerak, moulinette (gerakan pasangan penari tango melakukan gerakan berputar laksana kincir angin) yang eksotis, serta sensualitas dansa tango yang melenakan. Di kisah yang lain, “Muerte del Angel” (Kematian seorang Malaikat), Avi secara tepat melukiskan kepiluan seorang tanguero (pedansa Tango) bernama Alejandro sesaat setelah memasuki usianya yang kelima puluh ketika “dijemput ” oleh Sang Malaikat berwujud wanita cantik. Alejandro lalu menawarkan sang malaikat kesempatan padanya untuk diajari menari Tango dan sebagai kompensasinya, sang malaikat mesti memberikan peluang bagi Alejandro untuk hidup hingga ia bisa menemukan pasangan hidupnya yang ideal.

Pada kelompok cerita kedua yang diberi kategori “Bukan Tango”, Avi menampilkan 10 kisah dengan tema beragam (“Suatu Hari di Bawah Sebuah Tenda Biru Kuning”, “Kutukan Jengkol”, “Anjing Kecil yang tinggal sendiri”, “Sampul Tampak Depan”, “Silikon”, “Tulah”, “Cardigan”, “Skandal”, “Layar”, dan “Makam tak berpagar”). Di cerpen “Kutukan Jengkol” dan “Silikon”, saya sempat tersenyum-senyum sendiri membaca gaya bertutur Avi yang jenaka, “gila” dan cerdas. Di kedua cerpen ini, Avi menggiring pembaca untuk merenung dan senantiasa bersyukur pada anugerah yang diberikan oleh Tuhan pada kita. Suatu pesan moral yang begitu “menyentil” nurani.

Kepiawaian berbahasa dan mengolah aksara dari mantan koresponden di berbagai penerbitan di Indonesia ini terlihat pada cerpen “Layar” dan “Skandal”. Rangkaian kalimat dibangun secara sederhana, sistematis, dan memikat. Alur ceritanyapun mengalir begitu menggetarkan. Hal serupa terlihat pada cerpen “Sampul Tampak Depan”. Berdasarkan pengalamannya sebagai model, Avi begitu cair dan deskriptif menggambarkan kegetiran perjalanan hidup sosok Karmila. Akhir yang menghentak, tragis dan tak terduga juga ditampilkan Avi dalam cerpen “Cardigan” dan “Suatu Hari dibawah tenda biru kuning”.

Secara umum, cerpen-cerpen Avi dalam buku ini memberikan saya perspektif baru serta pengalaman batin yang sangat berharga. Namun tampaknya, saya mendapat kesan Avi terlihat memberi aksentuasi dan perhatian khusus pada kelompok cerita di bagian pertama (“Tango”). Hal ini terlihat, dari empat cerpen di kelompok tersebut masing-masing diberi gambar illustrasi sendiri yang begitu ekspresif sesuai dengan tema cerpen bersangkutan. Berbeda dengan kelompok cerita di bagian kedua (“Bukan Tango”) dimana masing-masing cerita tak satupun memiliki gambar illustrasi. Padahal, jika kiranya kelompok cerita kedua ini diberikan gambar illustrasi tentu akan menambah kekayaan makna dari tiap cerita.

Tapi siapa tahu, Avi justru punya maksud lain dibalik itu? Misalnya memilah Dunia Tanggo dan Bukan Tanggo secara tegas. Juga dramatis. Seperti pada kata pengantarnya di awal buku ini “Menulis juga seperti sebuah tango, membuat saya merayap menghilang disebuah dunia khayalan, dimana manusia-manusianya bergerak seperti yang saya inginkan, dimana saya bisa jadi apa saja yang saya mau, dimana saya bisa berdansa seperti tak akan ada hari esok. Dunia saya jadi terbagi dua, Tango dan Bukan Tango”.

Terlepas dari kontraversi diatas, saya menganggap Avi Basuki telah memberikan kontribusi yang tidak kecil bagi perkembangan dunia sastra di Indonesia. Buku kumcer “Tango” karyanya ini setidaknya bakal menjadi tonggak sejarah yang monumental sebagai penulis handal Indonesia masa depan. Saya tahu itu niscaya adanya, karena saya yakin Avi Basuki yang “ajaib” tidak akan berhenti menorehkan karya dan kemudian mengajak kita berdansa tango dalam alunan aksara yang memukau.


(Avi Basuki, foto dari yoga-indonesiadotcom)

***

Leave a Reply

Bahasa »