Burung Kayu dan ‘Yang Asing’


Juan Kromen *

Membaca Burung Kayu karya Niduparas Erlang bagi saya adalah usaha menyelami realitas masyarakat Mentawai di pedalaman Pulau Siberut dengan segala kompleksitasnya, sekaligus mengecap kekayaan kosakata bahasa daerahnya. Niduparas saya kira bertaruh dan berhasil menerabas pakem baku dalam dunia kepenulisan, ihwal penyertaan catatan kaki/keterangan untuk mendefinisikan dan atau menjelaskan arti kosakata bahasa daerah tertentu. Dalam konteks novel Burung Kayu: mengartikan kosakata bahasa daerah Mentawai ke dalam bahasa Indonesia.

Pada halaman-halaman awal, pembaca barangkali akan kebingungan ketika menemukan kosakata asing yang tidak disertai dengan keterangan dalam bahasa Indonesia. Tapi di situlah letak sensasi dan kenikmatan membaca Burung Kayu. Dari sini, kita bisa melihat bagaimana kerja otak yang luar biasa untuk memahami sesuatu yang pada awalnya terasa asing. Selain itu, kita juga bisa melihat bagaimana bahasa (daerah) dengan caranya yang ajaib, mampu menyingkap realitas bagi pembaca yang bahkan tidak pernah bersentuhan secara langsung dengan budaya dari masyarakat/etnis tertentu.

Beberapa tahun lalu, saya mengenal teman-teman (calon pastor) yang ditugaskan di pedalaman Mentawai. Kurang lebih setahun mereka berkesempatan untuk tinggal dan merasakan secara langsung kehidupan masyarakat Mentawai di pedalaman. Kendala paling utama dalam bersosialisasi adalah bahasa (daerah). Tapi rata-rata ketika kembali dari sana, mereka fasih berbahasa Mentawai. Tentu saja dengan cerita-cerita mengenai tantangan hidup masyarakat di sana, yang bagi kebanyakan orang di luar lingkup Mentawai masih diberi label ‘terbelakang’.

Novel terbitan Teroka Press dengan latar belakang antropologis ini memotret sekaligus mewedarkan secara langsung kompleksitas kehidupan masyarakat Mentawai, tidak dengan telunjuk tuduhan ‘terbelakang’ itu. Alih-alih secara serampangan memberi label ‘terbelakang’ dengan pembanding ‘kemajuan’ di Jawa, misalnya, Nidu berusaha menampilkan citra masyarakat Mentawai sebagai subjek dengan otentisitas sosio-kultural-religius mereka. Untuk usaha bertungkus lumus dalam hal riset, entah itu dari sumber-sumber tertulis, lisan, maupun pengalaman langsung di lapangan hingga ‘kelahiran’ Burung Kayu ini, saya harus ‘angkat topi’ untuk Niduparas Erlang.

Bagi saya, sangat penting untuk menampilkan aspek sosio-antropologis juga refleksi teologis yang khas dari entitas masyarakat tertentu, termasuk dalam sastra. Bahwa sastra tidak serta merta datang dari ruang kosong, tetapi berangkat dari realitas dengan konteksnya yang khas. Filsuf Eksistensialisme Prancis, Jean-Paul Sartre dalam bukunya “What is Literature?” (London, 1967), membahas tanggung jawab sastra, yang dalam salah satu pokok pikirannya mengungkapkan bahwa pengarang maupun pembaca mengada dalam sejarah dan dunia-hidup yang sama.

Sastra, bagi Sartre, harus membimbing pembaca pada kebebasan yang lebih purna karena dunia semakin ternyatakan (revealed). Sastra merefleksikan kenyataan dunia yang partikular dan penulis (prosa) memiliki tugas untuk menyingkapkan (to disclose) dunia (J. Supriyono, “Filsafat Eksistensialisme Jean-Paul Sartra” dalam La Literature Éngagée: Menggagas Sastra yang Membebaskan, hlm 89).

Sejalan dengan itu, Burung Kayu merupakan pantulan realitas Mentawai dengan segudang kritikan terhadap negara, korporasi, dan institusi agama. Pembangunan yang kerap digaungkan, baik oleh institusi negara maupun agama dengan alasan klise: kesejahteraan, kerap abai terhadap kekhasan masyarakat tertentu. Rezim kerap menentukan model pembangunan tanpa pertimbangan/kajian sosio-antropologis dan juga refleksi teologis yang punya implikasi serius bagi kerusakan alam. Padahal kita tahu, sebagian masyarakat di pedalaman masih sangat bergantung kepada alam. Alam dipandang tidak semata-mata sebagai sumber penghidupan, tetapi lebih dari itu, sebagai semesta agung yang memiliki pertautan teologis dengan keyakinan aslinya.

Sering pula, masyarakat ditempatkan sebagai objek pembangunan yang mau tidak mau harus tunduk dan manut terhadap setiap kebijakan rezim. Belum lagi perselingkuhan antara rezim dan taipan-taipan pemilik modal yang mengeksploitasi alam secara membabi-buta, yang akhirnya berdampak terhadap ruang hidup komunitas adat. Kasus-kasus ini dapat kita jumpai dengan gamblang dalam Burung Kayu.

Membaca Burung Kayu juga menyeret imaginasi untuk menyusuri kembali kehidupan masyarakat di kampung-kampung di tanah kelahiran saya, Flores. Sekilas, kehidupan di Mentawai dalam beberapa adegannya mirip dengan kehidupan masyarakat di Flores, yang di satu sisi sangat dekat dengan kekatolikan, namun di lain sisi masih mempraktikkan ritus-ritus yang dianggap magi — sebagai bagian dari ekspresi kultural. Saya membayangkan, berpuluh-puluh tahun lalu, ‘wajah’ sebagian besar Pulau Flores serupa dengan apa yang ditampilkan dalam Burung Kayu ini.

Yang khas dan tak terpisahkan dalam Burung Kayu dan masyarakat di Flores hingga saat ini ialah babi. Babi sebagai hewan yang didomestikasi memiliki fungsi yang sangat vital: sebagai penopang ekonomi rumah tangga. Selain itu, dalam seremoni adat seperti perkawinan, kematian, atau pembayaran denda adat, babi-lah yang akan dikorbankan. Nyaris setiap rumah di Flores memelihara sekurang-kurangnya seekor babi. Bahkan banyak orang tua yang akhirnya bisa menyekolahkan anaknya hingga tamat dari bangku kuliah karena babi. Dari hasil memelihara dan menjual babilah, anak-anak bisa bersekolah.

Burung Kayu memberi kebaruan dalam khazanah sastra Indonesia karena berhasil menyisipkan begitu banyak kosakata berbahasa daerah Mentawai dan merangsang otak untuk mengartikan itu tanpa keterangan bahasa Indonesia. Dibutuhkan kepiawaian sedemikian rupa untuk membangun cerita, lalu mengarahkan pembaca sehingga mampu menangkap apa yang dimaksudkan oleh Penulis.

Namun penilaian amatir saya sebagai pembaca, bangunan cerita dalam Burung Kayu dan konflik-konfliknya cenderung datar. Eksplorasi Niduparas terhadap konflik kurang menukik dan tajam. Gaya penceritaannya pun kerap mengulang-ulang lanskap alam Mentawai dengan gaya bahasa yang menurut saya bertele-tele. Saya sebenarnya mengharapkan gaya bahasa yang lebih ‘provokatif’, lugas, bahkan vulgar. Tapi soal ini tentu saja tergantung preferensi pribadi. Demikian pula mengenai muasal konflik antar-‘uma’ yang juga dikisahkan ulang yang saya pikir tak perlu. Tapi barangkali itu bagian dari strategi Penulis untuk kebutuhan cerita. Kelanjutan konflik antar-“uma” pun pupus dan tak ada jalan penyelesaian.

Mengisahkan ulang musebab konflik bagi saya adalah usaha merawat dendam. Apakah itu bagian dari strategi Penulis untuk melanjutkan kisah Burung Kayu II? Saya tak tahu, tapi saya berharap demikian. Novel ini meninggalkan celah untuk dilanjutkan kisahnya. Saya kira akan sangat menarik jika kisahnya kemudian dilanjutkan. Legeumanai sang ‘sikerei’ muda dengan latar belakang berbeda (berpendidikan) tentu memiliki tantangannya tersendiri dalam memimpin “uma”-nya.

Pada bagian akhir novel ini, kita bisa melihat bagaimana ritus/tradisi yang pada awalnya ‘sakral’ menjadi profan. Bagaimana kebudayaan pada akhirnya dikomodifikasi. Ini pun bagi saya bagian dari kritik. Di luar penilaian amatir saya sebagai pembaca atas ‘kekurangan’ novel ini, saya kira karya ini patut dan wajib dibaca oleh siapa saja.

Karya ini berangkat dari riset yang sungguh-sungguh dan menampilkan wajah lain dari Indonesia yang begitu luas. Kita sering ‘meludahi’ wajah Indonesia yang majemuk ini dengan teriakan seperti kesetanan: “NKRI harga mati!” ‘Yang asing’ adalah yang jauh di sana. Bayangan dalam batok kepala kita yang kecil tentang ‘yang asing’ itu terbentuk hanya dari sekat imaginer antar-negara. ‘Yang asing’ itu, ya berbeda negara; berbeda kewarganegaraan. Tapi sadarkah kita bahwa kita juga kerap menganggap yang berbeda dari kita sebagai ‘yang asing’? Berbeda dalam hal apa saja: agama, budaya, cara hidup, pilihan politik, etnis, ras, dan sebagainya.

Novel ini wajib dibaca karena menghadirkan dengan telanjang ‘yang lain’ — yang sebenarnya adalah bagian dari kita: dalam rumah besar bernama Indonesia. Mereka barangkali menempati kamar paling sempit dalam rumah besar itu, tapi di depan meja perjamuan yang menghidangkan menu keadilan, kesetaraan, kesejahteraan, dan kemanusiaan, mereka pun wajib mengecap menu yang sama dari meja perjamuan itu. Tidak dari remah-remah yang jatuh dari atas meja. Jadi, jangan biarkan “Burung Kayu” Pancasila pada bubungan rumah Indonesia sekadar ornamen penghias!

Akhirnya, selamat membaca karya bagus ini!
NB: sampul novel ini keren!!!

PM, 261020

*) Juan Kromen, lahir di Waibalun, Flores Timur, NTT. Penikmat sastra dan kopi hitam tanpa gula.

Leave a Reply

Bahasa »