Niduparas Erlang *
Melihat perkembangan penulis-penulis muda Banten, khususnya Serang, agaknya kita mesti pula menengok—tepatnya tak bisa terlepas dari—karya-karya mereka yang banyak bertebaran mewarnai media massa cetak, seperti koran atau tabloid lokal. Dan sepatutnya kita berbangga akan berlahirannya penulis-penulis muda sebagai regenerasi penulis yang tua-tua—yang konon sudah mulai sakit-sakitan.
Namun, nampaknya ada ironi di sini. Karena ternyata penyair-penyair muda Banten, seperti Irwan Sofwan, Arundanu, RG Kedung Kaban, Wahyu Arya Wiyata, Rahmat Heldy HS, Itara Azkya, Nita Nurhayati, Azkya Aqila, Ado Zamzam, Muhzen Den, (sekadar menyebut nama-nama), sampai titik ini masih berbicara tentang kesendiriannya. Masih berkutat pada diri sendiri. Pertanyaannya, apakah penyair-penyair muda itu tak peduli pada kejadian-kejadian, fragmen-fragmen, dan tragedi-tragedi yang tengah terjadi di sekitarnya? Ataukah mereka enggan untuk menceburkan diri ke dalam kehidupan mayoritas masyarakat? Atau mereka (kurang) peka sehingga tak mampu mendengar jerit hewan yang terluka?
Bahkan, belakangan nyaris tak bisa saya temukan puisi-puisi baik yang dimuat Radar Banten Minggu atau Tabloid Kaibon, yang ditulis penyair-penyair muda itu, yang menyoal hiruk-pikuk MTQ ke-22, semaraknya spanduk-spanduk atawa baliho-baliho para calon walikota, kemelut dana be-el-te yang agak dilematis dan mengerikan.
Lihat sajak Irwan Sofwan bertajuk Di Bawah Langit Memar berikut ini: lalu kau pun diam//sepi tak lagi mampu menterjemahkan keberadaannya//pada musim yang bertengger di punggungku//dan sebuah tembang terhenti di sela jari yang luka//entah telah berapa kali engkau memanggilku//angin terbaring//senja terputus dan hening//begitu aku terduduk di tengah kawanan rumput//kutemukan kembali helai rambutmu yang tertinggal//di lembar terakhir buku kenangan//
Atau sajak Arundanu dengan judul Di Ujung Matamu Aku Terpanggang berikut: Oh! Asiah//Di ujung matamu aku terpanggang//sampai-sampai tubuh ini retak//Darah mengalir menggurat sajak//
Dari kedua puisi itu, yang masing-masing dimuat Radar Banten Minggu dan Tabloid Kaibon, nampak dengan jelas kalau mereka masih saja berbicara cinta, kerinduan yang masif, dan segala yang dirasainya sendiri. Puisi-puisi yang secara diam-diam dibaca berulang-ulang penulisnya sendiri dan terus diperbaiki. Semacam tukang kayu (saja) yang mengampelas, memplitur, mengecat, agar kriyanya nampak apik dan sempurna. Pada moment ini, puisi yang awalnya adalah sebuah karya seolah telah beralih rupa menjadi semacam kriya.
Menjadi penyair, apa pun ideologinya, tentulah ada yang hendak diwartakan pada pembacanya. Dan memang, menulis puisi dengan tema-tema yang betul-betul dikuasai—sekali lagi yang dialami penilisnya sendiri—akan jauh lebih berhasil secara estetika. Namun, apalah seorang penyair jika masih mementingkan estetika sementara orang-orang di sekitarnya mengeluh-kekurangan-kelaparan akibat kenaikan harga be-be-em. Atau masih ada yang pulang babak belur karena kedapatan mencuri sementara namanya tak terdaftar sebagai penduduk yang berhak menerima dana be-el-te.
“Puisi apa pun yang kita tulis, setidaknya ada pengalaman ‘batin’ yang kita tawarkan dan itu bisa mungkin berarti bagi pembacanya,” dalih seorang kawan, penyair muda.
Dari ungkapannya tersebut, seakan-akan apa-apa yang diteriakkan Rendra, Taufiq Ismail, Widji Thukul, dan lain-lainnya, lewat sajak-sajak sosialnya hanyalah teriakan sia-sia. Dengan kata lain, penyair-penyair yang beritorika layaknya sang orator hanya mengumbar “bau mulutnya di dekat nisannya kelak”. Karena tak mampu merubah keadaan, sosio-budaya, dan sebagainya.
Sajak-sajak sosial memang mesti dibarengi tindakan-tindakan nyata. Tanpa itu semua apa-apa yang ditulis penyiar hanyalah omong kosong, isapan jempol. katakata hanya bertuah bila itu terjadi. dan//dijadikan perbincangan dijadikan tanda// (Toto St Radik, mencari dan kehilangan, 1996).
Barangkali, fenomena ini memiliki hubung-kait dengan usia yang relatif muda para penyair tersebut, di samping asal strata-sosial mereka yang bisa dikelompokkan pada lapisan kelas menengah, lulusan “tiga pintu” (pintu keluarga, pintu sekolah, dan pintu kantor), dan masih asing pada perjuangan mayoritas penduduk yang bersifat hidup-mati serta menang-kalah.
Dari latar belakang sosial-ekonomi seperti itu, maka puisi yang dilahirkan pun mencerminkan keadaan lapisan kelas-menengah dari mana para pendukungnya berasal. Wajah sastra (puisi) yang agak kelimis, wangi parfum, dan salon yang asyik dengan dunianya tersendiri, di mana tidak jarang soal-soal buruh, tani, politik, ekonomi, dilirik secara sekilas atau dipandang dengan memicingkan mata keheranan; seperti seorang yang tercengang ketika tiba-tiba berhadapan dengan seekor badak jawa yang tersesat ke halaman rumah di pusat kota.
Perbedaan asal strata-sosial dan kedekatan, keterlibatan para penyair dengan kehidupan mayoritas dan gerakan sosial-politik, sedikit-banyaknya memengaruhi serta menampakkannya pada karya, pada sikap para penyair ketika hendak menempatkan puisi di tengah kehidupan masyarakat. Bahkan pada di mana mereka menempatkan diri sendiri dalam kehidupan dan masyarakat, yang tentu bersesuaian dengan pandangan hidup yang banyak ditentukan oleh kondisi sosial.
Namun, apakah para penyir muda Banten masih akan betah berlama-lama, enggan, atau memang tak peduli pada kondisi negeri saat ini? Bukankan Pramoedya Ananta Toer pernah bilang bahwa keindahan itu terletak pada kemurnian kemanusiaan, bukan dalam mengutak-atik kata.
Lantas, mampukah kini para penyair muda Banten “berkubang dalam lumpur” kehidupan masyarakat mayoritas di sekelilingnya? Menggarap tema-tema sosial, tema-tema di luar dirinya sendiri, demi sebuah perjuangan: demi kemanusiaan?! Serta berhenti berkutat dengan diri sendiri?
***
_________
*) Mahasiswa Diksatrasia Untirta.
Nb: Pernah dipublikasikan di Radar Banten Minggu (tanggalnya lupa) dan ditanggapi oleh Ita R. Alawiyah dan Rahmat Heldy H.S