Catatan atas Novel “Khotbah di Atas Bukit” Karya Kuntowijoyo
Pertemuan yang Profan dan yang Sakral
Hubungan antara Barman, Popi, dan Humam, agaknya menjadi sesuatu yang menarik dan perlu dicermati dalam novel ini. Hal tersebut berawal dari kecurigaan ketika mengetahui Popi tidak pernah bertemu atau berdialog dengan Humam. Pada titik ini, ketiganya tampak mengisyaratkan keberadaan entitas dalam diri manusia. Barman mewakili naluri dan keinginan manusia terhadap kesenangan, martabat, dan hal-hal duniawi lainnya. Humam merepresentasikan hidup yang sakral atau spiritualitas. Sementara Popi adalah wakil dari hidup yang profan atau hal-hal duniawi.
Pada hubungan dengan keduanya, Barman seperti berada dalam tarik-menarik. Ketika bersama Humam, dia teringat Popi. Dan sebaliknya, saat bersama Popi, dia pun teringat Humam. Namun tak seperti biasanya, dalam usahanya sedikit menjaga jarak bersama kesendiriannya, Popi malah hadir dalam sosok lain. Keberadaan Popi sebagai “lawan” yang sebanding bagi Humam, dikemukakan dalam narasi berikut:
Ia akan bersama yang lain membangun kehidupan. Dan yang lain itu sekarang adalah Barman. Kepada Bobi telah dijanjikannya untuk hidup bersama Barman. Seandainya hidup barunya itu abadi, ia pun akan rela menerimanya. Ia ingin sesuatu yang lain dari masa lalunya. Selalu diulanginya kepada diri sendiri bahwa hidupnya yang sekarang ini bukan sebuah bentuk penderitaan yang suka rela dan dicarinya sendiri untuk memuaskan hasratnya. Tidak, inilah satu-satunya cara untuk melepaskan diri dari yang lama. Ia telah bosan dengan hidup. Dan kini gairahnya timbul kembali, sesuatu yang bernilai. (Khotbah di Atas Bukit, hlm. 63-64)
Ia banyak kenal orang-orang yang melemparkan kegelisahan dirinya dengan menggauli perempuan. Salah satu dari perempuan macam itulah dia. Namun, selalu ia tak mau terlibat dalam urusan mereka. Mereka yang datang padanya malam-malam atau siang adalah manusia yang gelisah dengan segala alasan. Kehadiran mereka adalah kehadiran orang yang membuang diri. […]
Ia harus membujuk laki-laki tua itu untuk tetap tinggal di rumah. (Khotbah di Atas Bukit, hlm. 65-66)
Kemudian Popi berbicara tentang keputusannya yang berani untuk hidup di bukit bersama Barman. Itu suatu keputusan, dan ia merasa berbahagia karenanya. Setiap detik dari hidup adalah untuk dinikmati. Waktu yang mengalir tak henti-hentinya adalah kebahagiaan terbesar bagi yang dapat merasakan. […]
“Engkau pandai, Popi.”
“Hidup banyak mengajarku, pap. Lebih dari hari-hari di universitas itu.”
“Engkau pernah di universitas?”
“Ya, dua tahun.”
“Fakultas apa?”
“Filsafat.”
“Tetapi engkau aneh, Pop. Mengapa, eh, engkau jadi begini?”
“Begini bagaimana. Setiap orang akan menjadi sesuatu. Semuanya tak terkecuali.”
Barman menaruh hormat pada perempuan itu. Ia bukan lagi menghadapi perempuan bodoh yang disangkanya: Perempuan dari kejujuran dan kebodohan. Tidak, Popi mempunyai sesuatu yang patut dikagumi. (Khotbah di Atas Bukit, hlm. 67)
“Tidak ada yang aneh dalam hidup. Atau semuanya aneh. Semuanya bisa dimengerti atau semuanya tak bisa dimengerti. Itulah soalnya. Dan aku telah memutuskan untuk tidak berpikir lagi. Tak ada yang perlu kuceritakan, pap. Apakah papi merasa perlu mencari jejak burung-burung sawah yang berlalu? Tidak. Itu sia-sia. Hiduplah, hidup.”
“Itu bukan cara yang beradab.”
“Terserahlah. Itu sejenis peradaban juga, sepanjang pelakunya ialah manusia yang menyadari.!”
[…]
“Ya, itulah kepercayaanku, pap. Eh, agamaku mungkin.”
(Khotbah di Atas Bukit, hlm. 68)
“Barangkali juga mereka sejenismu, Pop. Berbahagia, tetapi tanpa martabat. Aku tak mau! Itu tak mungkin. Bertentangan.”
“Martabat, bagaimana?”
“Hidup yang punya nilai.”
“Hidup itu sendiri suatu nilai. Tak ada tambahan yang diperlukan, uh! Kalau engkau hidup, engkau bermakna. Kalau engkau mati, tidak.”
“Aku menuntut!”
“Selebihnya dari hidup, semuanya sia-sia! Semuanya omong kosong.”
Popi berbicara, panjang, bahwa yang tak bernilai ialah yang berlawanan dengan hidup. Misalnya penyakit. Ya, ia bercerita bahwa ia telah meninggalkan rumah bordil itu lebih banyak dengan alasan kesehatan dari moral. Ia tak percaya pada moral. Segalanya yang menyebabkan engkau menderita, sakit, dan mendekatkan pada kematian, harus dipandang sebagai kejahatan. Tidak lebih. Atau, selebihnya ialah lamunan yang sia-sia. Apapun yang membuat hidup, itu bernilai. (Khotbah di Atas Bukit, hlm. 70)
Dialog dan narasi di atas menunjukkan Popi bukanlah seperti perempuan yang dikenal selama ini. Kini, di mata Barman, dia tak terlihat seperti mantan pekerja seks komersil yang berhenti menjajakan tubuhnya karena usia tua dan keriput, melainkan dengan kesadaran pilihan. Di hadapan kelaki-lakiannya yang lapuk, Popi menjelma seorang filsuf yang telah banyak belajar dari kenyataan hidup, ketidakberdayaan, dan penderitaan.
Keberadaan Popi juga menelanjangi pikiran dan persepsi Barman tentang perempuan. Akan tetapi, kesenangan hidup yang telah dinikmatinya, baik dalam bentuk jabatan, kesuksesan bisnis dan kekayaan, serta petualangannya dengan banyak perempuan, menciptakan kebanggaan tersendiri pada dirinya. Lebih semacam arogansi. Dia bisa saja merubah persepsinya tentang perempuan, bahwa Popi telah menunjukkan bahwa tidak semua perempuan bisa dipandang sebatas seks belaka. Sebagiannya berhak mendapatkan rasa hormat. Salah satunya adalah Popi. Yah, Barman bisa menerima itu. Namun, dia tidak bisa mengangkat martabat perempuan itu selevel dengan martabatnya. Lebih tinggi, mustahil.
Barman tahu bahwa ada semacam kebenaran dari apa yang diungkapkan Popi, baik nasihat-nasihat, rasa optimis, maupun dalil-dalil hidupnya. Namun karena arogansi, bagi Barman hal itu tak lebih adalah alasan-alasan klise dari kalangan mereka yang lemah, miskin dan sengsara, yang sepanjang hidup hanya bisa bermimpi mendapatkan kesenangan seperti yang telah diraihnya. Bahkan, hingga di hari tuanya kini.
Dari kesemuanya, hubungan Barman dengan Popi agaknya lebih bisa dipahami, bahwa di hari tuanya Barman tak mau hidup sendirian. Karena itu, dia butuh seorang perempuan yang mau tinggal bersama di rumah. Melayani segala keperluannya. Dan perempuan yang kini tersedia untuk kebutuhan itu, hanyalah Popi.
Belenggu dan Pembebasan Diri
Pada kondisi Barman yang membutuhkan Popi inilah, Humam hadir dalam pikirannya. Mengingatkan tentang sesuatu yang membelenggu hidupnya. Karena itu, Barman harus melakukan pembebasan diri. Hal ini dikemukakan sebagai berikut:
Barman lebih suka—dan ini dikatakannya kepada Popi—kalau ia disuruh tidur-tiduran dan dipijit kakinya. Popi menuntunnya ke kamar, membenahi pakaiannya. Dan sementara Popi memijit kakinya, Barman ingat kata-kata Humam tentang perempuan: “Tinggalkanlah segala milikmu. Apa yang menjadi milikmu, sebenarnya memilikimu. Dan engkau tidak lagi merdeka. Engkau mengira itu kekuasaan, tidak. Itu membuatmu takluk. Membelenggumu!” Barman teringat itu. Menatap Popi. Siapakah sekarang yang menguasai dan yang dikuasai? Terasa tangan halus menyentuh kulitnya keras-keras dan kehalusan itu terasa sampai sumsumnya. Tiba-tiba ia menangis.
“Kenapa engkau menangis? Sakitkah, pap?”
“Tidak apa-apa, Pop. Hanya aku rasanya sangat mencintaimu, saat ini.” (Khotbah di Atas Bukit, hlm. 54-55)
Benarkah ada cinta pada diri Barman?! Menilik narasi di atas, maka kekuasaan atau berkuasa itulah yang sebenarnya. Bukan cinta. Karena dapat dipahami, bahwa tidak ada cinta bagi mereka yang egois dan arogan. Kalaupun dianggap ada, itu hanya untuk dirinya sendiri. Kesenangan atau sejenis yang profan lainnya.
Sebagaimana dijelaskan di bagian awal novel, keduanya telah menikah sebelum tinggal di rumah gunung itu. Meski terkesan aneh, Popi menerimanya dengan sadar. Itulah pilihannya. Sementara Barman tak peduli ada tidaknya pernikahan itu. Memang, sebelumnya dia pernah diminta untuk mengucapkan beberapa kalimat—tak peduli apa artinya—. Juga menandatangani surat-surat di hadapan petugas-petugas, yang semuanya dilakukan secara serampangan. Dan itu pun dilakukannya sebagai balas jasa kepada anaknya, Bobi yang masih peduli kepadanya, dengan menyediakan kesenangan di masa tuanya.
Yah, itulah Popi di mata Barman. Keberadaannya tak pernah dianggap sebagai istri. Hanya sebagai perempuan yang menyiapkan segala kebutuhannya, termasuk kebutuhan terhadap kesenangan. Barangkali juga sebagai kebanggaan di hadapan orang-orang, sebagaimana digambarkan:
Ia bangga dengan kekasih itu. Yang membuatnya suka ialah bahwa laki-laki tua pun masih punya hak untuk menikmati hidup bersama seorang perempuan cantik. Inilah hari tua yang sebenarnya. Kalau suatu kali sejarah hidupnya akan ditulis juga, barangkali oleh cucunya atau siapa, bagian hidupnya yang terakhir inilah yang harus lebih banyak ditonjolkan. (Khotbah di Atas Bukit, hlm. 15)
Dari uraian di atas, kurang lebih bisa dijelaskan bahwa posisi Popi pada diri Barman berada di antara dua kondisi, yaitu tak bisa terima sekaligus tidak bisa dilepas. Meskipun Popi tidak mendapatkan sesuatu yang semestinya menjadi hak sebagai istri, tapi dia tetap dipertahankan untuk kepentingan-kepentingan lainnya. Inilah belenggu Barman.
Pada kondisi ditarik-tarik antara Humam dan Popi, antara yang sakral dan yang profan, antara yang spiritual dan yang material, Barman lebih banyak menyendiri dengan melakukan perjalanan. Namun, bukan berjalan dengan kaki, melainkan dengan menunggang kuda. Yah, kuda. Dan itu mengisyaratkan bahwa dirinya masih terbelenggu oleh hal-hal yang profan.
Dalam konteks belenggu dan pembebasan diri, episode berikutnya secara umum menjelaskan kaitan sebagai berikut, yaitu Humam adalah simbol kebebasan manusia bersama spiritualitas atau yang sakral. Barman ingin bebas seperti Humam, namun dia masih terbelenggu oleh kesenangan dunia atau hal-hal yang profan. Sementara Popi menjadikan Barman sebagai jalan pembebasannya dari belenggu masa lalu. Hal ini dikemukakan dengan narasi sebagai berikut:
Laki-laki itu adalah jalan baginya untuk kemerdekaan. Dan bukan karena percaya bahwa menjual sebagian dagingnya kepada laki-laki adalah suatu dosa. Ia telah muak. Maka sekalipun ia selalu harus mendengar keluhan putus asa dari Barman: “Popi, tak ada lagi hak bagi yang tua,” ia akan selalu menghibur dirinya dan laki-laki tua itu dengan: “Tak apalah, pap.” Hidup macam itu masih akan dapat ditanggungnya. Hidup baginya sangat bernilai untuk dilanjutkan. […]
Di sini ia bersedia menerima laki-laki tua itu dengan segala akibatnya, bahkan kalaupun laki-laki tua itu menamparnya ia akan mampu tersenyum. Senyum yang membayangkan kegairahannya pada hidup yang bersemi kembali. (Khotbah di Atas Bukit, hlm. 64)
Popi tahu, Barman punya bakat untuk untuk menderita. Dan ini disebabkan oleh banyaknya keinginan, pikiran, ingatan, dan cita-cita. Karena itu, Popi berusaha agar itu tak terjadi. Dia berusaha membuat Barman nyaman di rumah. Mempertahankannya—meski tak yakin—, karena memang itulah yang harus dilakukannya. Dan karena bagaimana pun juga, Barman adalah jalan kebebasannya saat ini. Entah, nanti.
Sementara itu dalam pandangan Barman, Humam merupakan gambaran manusia bebas. Manusia yang bahagia. Karena itu di antara keduanya, Barman memilih Humam sebagai gambaran dirinya di masa depan. Selebihnya, tidak mungkin dia akan melihat gambaran dirinya pada Popi. Atau orang-orang pasar yang ada di kaki bukit ini. Maka dia pun memutuskan untuk menemui Humam. Menyertai hari-harinya untuk belajar lebih dalam tentang hakikat hidup. Akan tetapi, hal itu tak terwujud. Humam meninggal dunia ketika dia membulatkan niatnya.
Sebagaimana keberadaan yang sakral atau spiritualitas dalam diri manusia, Humam tidak benar-benar mati tanpa mewariskan sesuatu. Yah, dia mewariskan rumahnya bagi Barman. Rumah untuk pengasingan diri dalam upaya melepaskan belenggu dirinya dari hal-hal yang profan atau duniawi. Membaca kembali bagian ini, saya menangkap kejelian pengarang dalam memainkan simbol-simbol pemikirannya. Kematian Humam dengan rumah warisan, seperti menunjukkan kepada kita bahwa jalan pencarian kesejatian adalah ruang kesendirian, dimana seseorang harus menjalani dan merasai sendiri segala prosesnya. Dengan begitu, dia akan mengenggam hakikat hidup dan memperoleh kearifan.
Akan tetapi, Barman adalah pejalan yang menunggang kuda. Dia tahu pilihan itu berbeda dengan Humam yang berjalan kaki. Bukan masalah, karena dia memang tidak pernah ingin sama dengan siapapun. Karena setiap orang harus merasai sendiri pembebasannya yang tunggal. Kemudian, meskipun telah menempati rumah peninggalan Humam, tidak serumah lagi dengan Popi, dia belum sepenuhnya melepaskan diri dari belenggu. Bahkan tanpa disadarinya, kini dia malah seperti membuat belenggunya sendiri. Belenggu baru yang lebih kuat dari Popi dan seisi rumahnya, yang muncul dengan “mengalahkan”. Tidak seperti Humam yang melepaskan semuanya dalam harmoni, pembebasan Barman adalah senyum kemenangan. Hal ini diungkapkan dalam narasi sebagai berikut:
Popi menganjurkan untuk tidak berpikir. Itu baik. Tetapi untuk berhenti berpikir, orang harus lebih dulu menarik kesimpulan terakhir dari hidup ini. Itu suatu keberanian. Tidak berpikir yang lahir dari keputusasaan adalah pengecut. Ia ingin suatu bentuk pengendapan yang berani yang penuh pengertian. Ia telah melakukan semua ini. hampir menumbukkan kepalanya ke dinding oleh putus asa. Tetapi ia dapat melepaskan diri. Dan menemukan apa yang dicarinya. Apakah itu? Sebentarlah, kesimpulan terakhir dari hidup abadi tak dapat dirumuskan dengan kalimat. Tetapi pada senyumnya yang penuh kemenangan itulah. (Khotbah di Atas Bukit, hlm. 100)
Itulah pikiran Barman tentang kesimpulan terakhir dari hidup manusia. Semacam “pencerahan” yang muncul dari kondisi tarik-menarik antara keputusasaan dan kehendak untuk memberontak. Hingga dia melihat dirinya penuh cahaya. Ah, bukan. Lebih tepat, cahaya adalah keberadaannya. Seperti kunang-kunang yang berjalan-jalan di belantara malam. Sendirian.
Pada tengah malam yang bermakna itu, Barman mengarahkan langkah kudanya ke stasiun bis dan pasar yang berdiri di kaki bukit. Dia ingin menjumpai orang-orang. Ada sesuatu yang mesti dikatakannya. Dan “sesuatu” itu adalah sebagai berikut:
Hidup dungu seperti ini adalah dosa, pikirnya. Orang-orang yang siang hari hilir-mudik dan melepaskan hidup siang hari tanpa mengambil kebijaksanaan. Itu dosa, nak. (Khotbah di Atas Bukit, hlm. 100)
Orang yang tertidur di emper toko itu dilihatnya lama-lama. Dungu dalam hening malam. Kebekuan manusia ialah warna hidup yang terkutuk. Betul, barangkali mereka sekarang melepaskan diri dari kesibukan dan lupa bahwa mereka itu menderita, tetapi bila mereka terbangun, mereka akan kembali mengejar hidup, mengejar-ngejar secara abadi. Itu semacam mesin-mesin yang berputar-putar tak hentinya. Mesin! (Khotbah di Atas Bukit, hlm. 101)
Ia mengagumi Humam. Keajaiban yang tak terjangkau dari hidup manusia. Humam ialah sebangsa manusia pemberani. Pemenang! Ditatapnya laki-laki-laki yang terbungkus dalam kain bergumpal itu. Ya, dia ingin laki-laki yang hina dalam bungkusan itupun menjadi pemenang. Ia ingin mengangkat martabat sahabat-sahabat dalam pasar itu. Mereka tidak boleh berbahagia secara palsu dan sesat. (Khotbah di Atas Bukit, hlm. 102)
Kemudian yang dilakukan Barman tergambar pada bagian awal catatan ini. Dia membangunkan orang-orang yang tidur untuk menyampaikan kabar tentang manusia pemenang. Bukan dia, tetapi pada sosok Humam. Lantas, kira-kira sosok apa yang pantas untuk menggambarkan Barman?! Dirinya sendiri?! Barangkali, sosok yang berada di jalur kemenangan. Mungkin seperti pemimpin klasemen dalam MotoGP atau perlombaan lainnya, dengan beberapa kemenangan kecil dalam hidup. Atau seperti seseorang yang merasa telah memperoleh kebijaksanaan hidup bersama risalah penyelamatan manusia dari kedunguan hidup.
Dari kehadirannya, hal itu juga yang agaknya digambarkan oleh orang-orang tentang sosok Barman. Dalam kondisi setengah sadar antara tidur dan bangun, kehadiran laki-laki sepuh berkendara kuda putih di tengah malam, seperti membangunkan sesuatu yang sakral dalam diri orang-orang, yang selama ini entah tertidur di mana. Di hadapan mereka, Barman menggambarkan sosok manusia agung, seperti yang pernah diceritakan oleh para pendakwah. Apakah seorang nabi?!
Akan tetapi, mereka telah menyimpan gambaran dari cerita itu, bahwa para nabi tidak menunggang kuda, melainkan berjalan kaki dengan sebatang tongkat. Mungkin, dia adalah manusia yang memiliki kebijaksanaan. Atau seperti “biksu suci” yang melakukan perjalanan ke barat— yang sesekali juga terlihat menunggang kuda putih—, sebagaimana diceritakan dalam kisah-kisah dari negeri timur.
Barangkali gambaran yang mendekati untuk zaman sekarang, bahwa Barman di hadapan orang-orang adalah semacam guru spiritual. Akan tetapi, hal itu sudah cukup bagi Barman untuk merasa bangga. Merasa menjadi pemenang. Sebagaimana juga dengan keberadaan Popi yang menurutnya adalah sebuah “kemenangan kecil” dalam hidupnya, berdasarkan ungkapan berikut:
Bidadarinya yang cantik itu sekarang dicintainya. Bukan karena suguhan anggur, makanan, dan kelembutannya. Ia suka pada keagungan yang diberikannya. (Khotbah di Atas Bukit, hlm. 102)
Keagungan dan kekuasaan adalah gambaran segala sesuatu yang ada dimilikinya, yaitu Popi, kuda putih, dan lainnya. Juga ke-sepuh-annya. Hal ini, tentu saja berbeda dengan Humam—mungkin juga biksu suci— yang melepaskan semuanya. Yah, kesenangan apalagi yang pantas bagi seorang laki-laki renta, selain kehormatan yang terpancang dari pengakuan orang-orang kepadanya sebagai “manusia suci” yang penuh dengan kearifan?! Tidak ada lagi.
2 Replies to “Episteme Kebahagiaan, Penderitaan, dan Pembebasan diri: Potret Manusia pada Batas dan Antara (Bagian II)”