Catatan atas Novel “Khotbah di Atas Bukit” Karya Kuntowijoyo
Manusia pada Batas dan Antara
Kemudian, mengenai Popi. Dia merasa telah bisa melepaskan diri dari Popi. Tidak menginginkan lagi kesenangan—seksual— kepada perempuan itu, meskipun yang sebenarnya lebih disebabkan ketidakberdayaan dari kelaki-lakiannya yang lapuk. Barman belum sepenuhnya lepas dari Popi, itulah yang sebenarnya. Dia mengikat perempuan itu di rumah, layaknya seorang istri, kendati dia tak pernah benar-benar menerimanya dan mengakuinya sebagai istri. Dari semuanya, keadaan yang bisa digambarkan adalah dia membelenggu, sekaligus dibelenggu oleh belenggu yang dipasangnya.
Kenapa, Popi tidak dibebaskan saja?! Menceraikannya?! Bukankah yang diinginkan Popi, didasarkan kesadaran pilihan adalah menjadi seorang istri?! Maka barangkali tidak salah dikatakan bahwa untuk menjadi bebas, maka dia harus membebaskan. Dari sini agaknya bisa dikatakan, bahwa semua yang ada pada Barman, dalam rupa keagungan dan kekuasaan, tidak lain adalah belenggu yang lebih besar dari sebelumnya, yaitu ke-aku-annya sendiri.
Barman tidak menyadarinya, karena dia menikmatinya. Menikmati ke-aku-an ketika orang-orang, yang semakin lama semakin bertambah jumlahnya, mengikuti perjalanannya dengan menunggang kuda. Menjadikan dirinya sebagai pusat jawaban atas segala penderitaan. Menjadikannya pusat dari seluruh kehidupan. Maka tak heran jika setiap hari di sekitar pondok warisan Humam itu, terlihat banyak orang berkerumun. Pondok itu seperti telah menjadi rumah kedua mereka. Dan Barman adalah “Bapak”, yang semestinya ada untuk mereka. Anak-anaknya. Ketika tak menemukan Barman di pondok, mereka akan segera mencarinya. Takut kehilangan dirinya.
Apakah yang sebenarnya terjadi pada diri orang-orang itu?! Kenapa?! Dan bagaimana tanggapan Barman?! Hal itu digambarkan dalam beberapa narasi sebagai berikut:
Pernah ia menanyakan kepada salah seorang di antara mereka yang berkerumun mengapa mereka berkerumun di sini. “Kami merasa senang, Bapak,” kata orang itu. Ajaib! Tentu saja ia tak mampu untuk mengusir mereka yang datang dengan sukarela dan tak membuat keributan. […]
Kalau awal dari kejadian ini saja sudah sulit bagi Barman untuk menjawabnya, apalagi pertanyaan terakhir kejadian itu, tak bisa diduganya. (Khotbah di Atas Bukit, hlm. 118)
“Kenapa kalian mencariku, nak?” […]
“Kami gelisah, Bapak! Tanpa engkau!” […]
“Bapak, jangan tinggalkan kami!” […]
“Berjanjilah, Bapak!” kata mereka. […]
“Tenanglah. Aku tidak akan meninggalkan kalian. Hidupku juga hidupmu, hidupmu juga hidupku!” Suara itu terang, siapapun juga mendengarnya. Dan jelaslah, mereka menarik nafas lega. Lalu, iringan itu bergerak kembali. (Khotbah di Atas Bukit, hlm. 120-121)
Awalnya Barman menikmati semua itu. Menjadi Bapak yang semestinya bagi orang-orang yang datang kepadanya. Mencarinya. Yah, demi keagungan dan kehormatan, dia harus menyediakan diri bagi kehidupan mereka. Akan tetapi, pelan-pelan keadaan menjadi tak terkendali. Barman menyadari bahwa posisinya sebagai “Bapak”, ternyata tidak mampu mengendalikan orang-orang. Kini, mereka tidak hanya berusaha membelenggu hari-hari tuanya, tetapi juga hendak merampas masa lalunya dengan menyembunyikan kuda putih itu. Satu-satunya yang tertinggal, yang mengenangkan masa lalu.
Tentu saja Barman marah. Namun, dia tak mungkin berbuat sesuatu yang lebih dari itu. Tak mungkin untuk mengusirnya. Seperti juga pada kejadian lain sebelumnya. Sebagai “Bapak”, dia tak mungkin mengusir anak-anaknya. Jika demikian, maka keagungan dan kehormatan itu pasti akan turun di hadapan anak-anaknya. Lebih dari itu, dia telah berjanji pada dirinya. Tidak akan meninggalkan mereka.
Hari ke hari, Barman mencoba bertahan. Namun, keadaan menjadikannya semakin terdesak dalam himpitan. Orang-orang malah seperti menyerahkan tanggungjawab hidupnya. Mereka berusaha melepaskan diri dari beban hidup dan melemparkannya kepada Barman. Dan ketika orang-orang tak berhenti mendesak, meminta tanggungjawab, maka dia pun memutuskan. Sudah waktunya untuk menjelaskan sesuatu. Jawaban bagi semua pertanyaan.
“Kita akan melakukan perjalanan,” kata Barman pada kelompok yang mendengarkannya. “Perjalanan kita akan sepenting perjalanan hidup seluruh manusia. Perjalanan para nabi, orang-orang arif, para filsuf.”
Mereka mendengarkan. Saling pandang.
“Ke mana, Bapak?”
“Bukit. Ke sana!” Barman menunjuk dengan jarinya. “Kita akan mendaki. Siapkanlah.”
“Kapan?”
“Besok pagi. Dan hanya mereka yang ingin mendapat jawaban diperkenankan ikut.” (Khotbah di Atas Bukit, hlm. 121)
Mungkin di antara kita bertanya, kenapa ke puncak bukit?! Kenapa tidak ke barat, seperti matahari?! Yah, sebagaimana diungkapkan Barman, bahwa ini seperti perjalanan para nabi, para arif, para filsuf. Banyak cerita menyebutkan, di sanalah mereka, mengadukan pertanyaan dan mendapatkan jawabannya. Juga menyampaikan khotbah.
Dalam perspektif kehidupan spiritualitas manusia, barangkali dapat dijelaskan bahwa bukit atau gunung memperlihatkan keberjarakan. Bukan terpisah. Tetapi posisi berjarak dari aktivitas keseharian manusia. Posisi untuk membaca rupa-rupa manusia dan segala kejadian—kauniyah—. Posisi untuk membaca diri. Mengenal diri. Mengenal Tuhan. Dari semuanya, posisi bukit dalam perspektif ini tampaknya lebih cocok untuk tokoh Humam. Kemudian, demi melihat tokoh Barman yang tidak bisa dilepaskan dari kuda putih tunggangannya, maka kecurigaan saya pun muncul. Mengingatkan pada awal kejadian, yaitu pada kondisi orang-orang di pasar ketika dibangunkan oleh Barman, yang berada pada “situasi ambang”, antara tidur dan terjaga.
Barangkali itulah posisi bukit, dimana secara visual kasat mata memperlihatkan batas antara langit dan bumi. Dan ini lebih cocok bagi Barman, yang sejak awal posisinya selalu di antara Humam dan Popi. Di antara yang sakral dan yang profan. Begitu pula dengan waktu senja, yang menggambarkan kondisi antara siang dan malam, sebagaimana setting kondisi pada saat khotbah akan dibacakan.
Demikianlah, pada senja itu Barman telah sampai di atas bukit. Di punggung kuda dia melihat orang-orang yang mengikuti perjalanan. Lebih banyak dari yang diperkirakan. Mereka adalah anak-anaknya, meskipun sebagiannya datang hanya untuk mencari tahu saja apa yang akan terjadi di sana. Hanya untuk menjadi penonton, yang selalu lebih banyak jumlahnya daripada mereka yang ditonton.
Di bawah samar-samar senja, Barman melihat orang-orang mendekat. Kegelisahan dan penderitaan tampak pada wajah mereka, yang sepanjang perjalanan itu kerap diungkapkan dalam keluh kesah. Kegelisahan manusia menunggu jawaban atas penderitaannya. Entah, siapa yang ingin diperankan Barman saat itu. Adakah nabi yang menunggang kuda putih?! Kalau pun ada, maka dia tak pernah ingin memerankankannya. Apalagi menjadi dirinya. Karena setiap orang pasti menjadi sesuatu yang lain dari orang lainnya. Setiap orang menyejarah bersama waktu. Sendiri.
Kini, tiba saatnya Barman memberikan jawaban atas seluruh kegelisahan dan penderitaan, yang mengantarnya pada situasi harus mengungkapkannya dengan kata-kata. Bukan kata-kata biasa, melainkan kata-kata yang telah di-sepuh-kan dengan kesadaran. Dan itu adalah khotbah, yang menyiratkan keagungan dan rasa hormat.
“Inilah khotbahku,” katanya. […]
“Hidup ini tak berharga untuk dilanjutkan!” […]
“Bunuhlah dirimu!” seru Barman.
(Khotbah di Atas Bukit, hlm. 145-146)
Dan “wasiat” khotbah itu mengulang dalam batin orang-orang. Entah, apa yang menghuni pikiran mereka?! Barangkali, inilah gambaran dari sesuatu pernah dikatakan Barman kepada pak tua—penjaga malam di pasar—, seseorang yang kira-kira bisa dikatakan paling setia. Gambaran dari sesuatu yang tak pernah terlintas, bahkan dalam mimpi. Sesuatu yang mengagumkan, tak terduga. Sebuah keajaiban hidup dan juga satu pertanyaan besar yang lain. Episode ini diungkapkan sebagai berikut:
Kemudian, orang-orang pun mulai terisak, semakin mengeras. Dan, tangis bersama. Tangis Barman, tangis orang-orang penjaga malam itu mulai memukul-mukul dadanya.
“Kami menderita, ya Bapak!” katanya.
Orang-orang lain mulai pula memukul-mukul dada. Dan suara gedebug, teriakan, tangis memenuhi puncak bukit. Gelap yang merata. Suara-suara.
“Kami sengsara!”
Mereka mengeluh, menggeliat-geliatkan badan. Riuh yang menyesak. Kabut menutup mereka. Mereka seperti berdiri sendiri-sendiri di atas bukit itu. Suara laki laki-laki dan perempuan, ada jerit yang melengking. Mereka meratapi diri sendiri. Angin menampar-nampar, angin yang dingin. (Khotbah di Atas Bukit, hlm. 146-147)
Ups! Barangkali, kita tidak boleh terlarut di sini. Karena sekali lagi, ini sekadar catatan tentang novel berjudul “Khotbah di Atas Bukit”. Meskipun malam di atas gunung berhawa dingin, menurut saya ini perlu “di-khotbah-kan” untuk “pendinginan”. Apalagi pas, ini hari—ketika menulis bagian ini— adalah hari jum’at. Ah, hanya bercanda. Tetapi, itu memang perlu biar tidak jadi batu. Begitu kata anak-anak tetangga. Baiklah, kita lanjutkan catatannya.
Mereka berhenti ketika ringkik kuda terdengar keras. Lantas, terlihat melompat seperti terbang. Seketika terdengar kemerosak dari bawah jurang. Di sana, orang-orang menemukan kuda itu mati. Sementara Barman tidak bergerak. Mati, namun orang-orang menahan mulut mengeluarkan kata itu. Setelah menguburkannya di atas bukit, orang-orang kemudian pergi mengikuti si penjaga tua. Mereka berjalan dengan langkah kakinya sendiri-sendiri. Yah, memang begitulah nasib mereka: sendiri.
Khotbah di Atas Bukit: Manusia dan Jalan yang Dipilih
Setelah kematian Barman, setidak ada tiga tokoh yang menarik untuk dicermati dalam novel ini, yaitu Popi, penjaga tua, dan tukang sapu. Ketiganya menyiratkan pilihan jalan pembebasan dari belenggu dan penderitaan. Diuraikan sebagai berikut:
Pertama, Popi pergi dari rumah. Dia seperti bebas dari ikatan pernikahan dengan Barman. Di dalam mobil yang parkir sekitar stasiun bis, dia kemudian “tidur” dengan laki-laki muda dan kekar, sebagai sebuah dendam atas keberadaan dirinya yang tak pernah diakui sebagai seorang istri. Akan tetapi, barangkali juga dia telah melihat laki-laki itu, yang ada, sebagai jalan kebebasan yang baru. Menggantikan Barman.
Kedua, tokoh laki-laki penjaga tua atau penjaga malam di pasar. Dia ditemukan mati tersangkut batu sungai di bawah jurang. Di antara orang-orang, tidak ada yang berbeda pendapat bahwa penjaga tua itu telah mengakhiri hidupnya. Akan tetapi, mereka saling berbantahan, apakah keputusannya itu adalah sebuah keberanian atau kepengecutan.
Pilihan bunuh diri yang dilakukan si penjaga tua, agaknya dapat dipahami dengan melihat latar belakang kehidupannya. Pekerjaannya sebagai penjaga malam di pasar dan usia yang tua, menjelaskan kadar penderitaan yang besar. Bayangkan, setiap hari dia menjaga pasar, menjaga barang-barang atau sesuatu yang menjadi kebutuhan manusia. Tentu, dia juga punya keinginan seperti orang-orang. Namun, karena dia yang sudah tua, melewati usia produktif, menempatkannya pada situasi antara berhadapan dengan keinginan dan ketidakberdayaan meraihnya.
Di antara orang-orang, si penjaga tua itu adalah orang yang paling dekat dengan Barman. Mungkin usia yang tak jauh. Dan saya curiga, jangan-jangan Barman adalah sosok yang pernah diharapkan oleh penjaga tua itu terkait kebahagiaan di hari tuanya. Yah, siapa yang tak mau?! Hari tua yang kaya dan tidak perlu berkerja keras. Pensiunan aparatur sipil negara, yang di mata masyarakat zaman sekarang ibarat “priyayi”. Dan satu lagi, yaitu istri muda dan cantik, hangat lagi sehat. Mungkin sebelum bunuh diri, dia pernah berharap bisa menggantikan Barman sebagai suami Popi. Akan tetapi, di bawah lampu pasar, dia melihat Popi pergi dari rumah dan bertemu dengan laki-laki muda dan kekar.
Ketiga, tokoh laki-laki tukang sapu pasar. Dia pergi dengan menumpang sebuah truk. Dia lari dan berharap tak seorang pun akan mengenalnya lagi. Menceburkan diri ke dalam hidup yang lebih besar, tanpa nama lagi. Hal ini mengingatkan saya pada tokoh Humam. Jika dalam novel ini Humam digambarkan sebagai tokoh yang sudah jadi—dengan proses tersembunyi—, maka tukang sapu, barangkali adalah gambaran Humam di awal pencariannya. Tukang sapu memiliki potensi itu, sebagaimana termuat dalam ungkapannya sebagai berikut:
Kepada tukang karcis dia mengatakan: “Ketahuilah, demi hidup yang berakhir dengan kematian! Jangan menyedihi kematian. Barangkali itu akan menimpamu beberapa waktu lagi, sengaja atau tidak. Hidup itu sia-sia yang panjang! Kekosongan yang abadi! Beban kita yang paling besar!”
[…]
“inilah kematianku sebelum habis hidupku,” katanya pada kenek truk. Kenek membiarkan dia menumpang. Kenek menanyakan kepadanya kemana dia hendak pergi, dan tukang sapu mengatakan: ke hidup yang luas! (Khotbah di Atas Bukit, hlm. 164)
Dalam novel ini, perjalanan yang ditunjukkan oleh lima tokoh yaitu Humam, Barman, Popi, penjaga tua, dan tukang sapu, tergambar pergulatan atau dialektika pemikiran filsafat. Kesan absurditas sangat terasa pada pergulatan tokoh-tokoh yang hidup di dalamnya, di mana posisi manusia berada pada batas dan antara.
Di antara pemikiran filsafat—dalam kadar tertentu— yang tersirat pada novel ini, yakni eksistensialisme, yang sedikitnya terwakili dari tokoh Popi. Absurdisme yang terbaca di sekitar Barman dan penjaga tua, serta mistisisme yang tersirat dari tokoh Humam dan tukang sapu. Tentu, hal ini perlu kajian lebih lanjut.
Pada kaitan ketiganya dalam novel dengan info fisik buku, Kuntowijoyo, Khotbah di Atas Bukit (Jakarta: Pustaka Jaya, 1976) tebal 164 halaman, sepertinya pengarang sedang mengemukakan pikiran pergulatan dan fase perjalanan dalam pencarian hakikat hidup, yaitu eksitensialisme, absurdisme, mistisisme. Mungkin dari pengalaman dan pembacaan sendiri, atau dari banyak lainnya, yang tentu saja dengan muatan dan kualitas berbeda, dalam segala kelindan dan prosesnya pada diri manusia.
Sebagai penutup, tulisan ini hanya sekadar catatan pembacaan, yang pasti berbeda dengan novelnya. Sebelum dan sesudahnya, saya yakin banyak ulasan atau kajian lain yang semuanya penting dalam memperluas wawasan untuk lebih memahami, khususnya novel ini, dan karya-karya sastra pada umumnya.
Salam.
*) Ahmad Syauqi Sumbawi, sastrawan kelahiran Lamongan 28 April 1980. Menulis cerpen, puisi, novel, esai, kritik, dll. Sebagian karyanya dipublikasikan di media massa. Puisi-puisinya terkumpul dalam antologi: Dian Sastro For President; End of Trilogy (Insist, 2005), Malam Sastra Surabaya; MALSASA 2005 (FSB, 2005), Absurditas Rindu (2006), Khianat Waktu (DKL, 2006), Laki-Laki Tanpa Nama (DKL, 2007), Gemuruh Ruh (2007), Kabar Debu (DKL, 2008), Tabir Hujan (DKL, 2010), Darah di Bumi Syuhada (2013), Pesan Damai di Hari Jumat (2019), Menenun Rinai Hujan (2019). Dan beberapa cerpennya dapat dibaca pada kumpulan: Sepasang Bekicot Muda (Buku Laela, 2006), Bukit Kalam (DKL, 2015), Di Bawah Naungan Cahaya (Kemenag RI, 2016).
Sementara antologi tunggalnya: Tanpa Syahwat (Cerpen, 2006), Interlude di Remang Malam (Puisi, 2006), dan #2 (SastraNesia, Cerpen 2007). Novel-novelnya yang telah terbit: Dunia Kecil; Panggung & Omong Kosong (2007), Waktu; Di Pesisir Utara (2008), dan “9” (2020). Sedangkan bukunya dalam proses cetak ulang “#2,” dan Limapuluh (kumpulan puisi) segera hadir. Selain menulis, juga berkebun, dan mengelola Rumah Semesta Hikmah, dengan kajian dibidang sastra, agama dan budaya, di dusun Juwet, Doyomulyo, Kembangbahu, Lamongan.
One Reply to “Episteme Kebahagiaan, Penderitaan, dan Pembebasan diri: Potret Manusia pada Batas dan Antara (Bagian III)”