Juan Kromen
Barangkali perjumpaan dengan sesama anak ‘lewotana’ di tanah rantau adalah bentuk atau cara lain untuk melihat wajah kampung halaman. Melalui perjumpaan yang tidak sering di antara kami ini, ada kerinduan akan kampung halaman yang serta-merta terobati, di tengah musim pagebluk yang sedang mencengkeram bumi.
Perjumpaan seperti ini rasanya-rasanya seperti usaha melipat jarak: kampung halaman dan keluarga yang jauh tiba-tiba saja jadi sedekat nadi. Kami ialah satu keluarga besar yang lahir dari rahim ‘Lewo Puken, Tanah Nimun’: Waibalun. Kampung besar dengan Ile Mandiri di belakang dan Nuha Waibalun di depan, yang berdiri kokoh nan gagah laiknya benteng alam yang tak tertembus.
Malam itu, musik mengalun cukup keras. Lagu ‘Lau Ole, Lau Wura’ ciptaan Paulus Pati Niron (alm), kakek seorang sahabat seangkatan di SMP dan SMA, untuk beberapa jenak ikut memerangkap saya dalam perahu memorabilia. Laut dan ombak yang sedari kecil kami akrabi dalam lirik-lirik lagu itu mengantar ingatan kembali pada kampung halaman.
“… sayang lipa tanda mata eee… sayang lipa tanda mata eee…
doan kae ooo doan kae, tepin balik jadi hala…”
Penggalan lirik di atas seperti kenangan yang berenang-renang di kepala saat perahu bergerak makin jauh.
Dari ‘Lau Ole, Lau Wura’, sebuah lagu turut menghentak ingatan. Tentu saja ‘Lagu Ibu’: Tite Ana’-ana’ Waibalun, ciptaan maestro lagu-lagu Gregorian asal Waibalun, Pater Anton Sigoama Letor, SVD (alm).
“Prae dein Ile Mandiri, plau Nuha Waibalun, pe tu’k(a)rama dein Lewuk belen Waibalun… Oh, Waibalun… Oh, Waibalun… Goe hukut moe, goe glupa moe hala…
Tite ana’-ana’ Waibalun, tite pi de’i te eret (tite mesti hukut wekit), dore perenta bapa kepala, jaga aturan adat Waibalun…”
Lagu ini memotret langsung hubungan antara kampung halaman dan orang-orangnya, di mana saja mereka berada; bahwa kampung halaman memiliki ikatan yang tak terpisahkan dari tiap-tiap individu. ‘Lewotana’ adalah jati diri dan salah satu sumber ‘kekuatan adi-luhung’ (ike-kewa’at) yang mengendap dan diresapi dalam setiap jejak langkah anak-anak Waibalun.
Malam itu juga, seperti ‘ritus-ritus’ biasa ketika ‘duduk melingkar’, moke (arak khas Flores) jadi minuman pemersatu… Lagu ‘Ona Ota’ dari Kromen Bersaudara membikin suasana jadi lebih memabukkan. Tak ada sekat yang tercipta dan lebih banyak cerita yang meluncur dari mulut-mulut kami: nostalgia tentang masa kecil dan harapan-harapan baik di hari-hari depan. Kita tak pernah tahu, waktu akan membawa kita kelak. Namun doa-doa dan usaha terbaik semoga membawa kita di kemudian hari untuk bisa ‘gelekat-gewajan Lewotana / ta’an ago’ lewo’.
Selain itu, kita pantas berbahagia karena lahir dari rahim Waibalun. Jika di tanah para filsuf, di depan gerbang kuil Apollo di kota Delphi-Yunani, tertera kalimat ‘Gnosti Seauton’ yang berarti kenalilah dirimu sendiri, leluhur (kokak/moja) kita pun tak kalah hebat. Jika nukilan di atas sebuah kontemplasi atas makna diri, ‘Lage Ae, Niku Kola’, ialah sebuah kompas hidup yang telah jauh-jauh hari diwariskan oleh leluhur.
‘Lage Ae, Niku Kola’, yang juga tertera di gerbang ‘Nama’ adalah jantung yang menggerakkan seluruh ikhtiar-ikhtiar kita. ‘Koda’ itu buah permenungan yang luar biasa hebat dari para leluhur — digali dari kehidupan Lewotana. Berjalanlah ke depan, namun jangan pernah melupakan ‘akar’-mu.
Jika dalam budaya Lamaholot, cita-cita tertinggi menjadi ‘ata-diken’ (manusia ultim/adiluhung), maka salah satu jalan untuk mencapainya, dengan meresapi filosofi ‘Lage Ae, Niku Kola’. Di dalamnya telah terangkum semua prinsip hidup untuk mencapai dan menjadi manusia ultim.
Kita dapat temukan ini dalam semua sistem nilai, norma, pranata sosial, sampai refleksi teologis manusia-manusia Lamaholot di masa lampau yang sangat menekankan aspek harmoni / keseimbangan. Hidup yang seimbang dengan Pencipta (Lera Wulan, Tanah Ekan), alam semesta, dan sesama. Dan nilai-nilai ini akan tetap relevan sampai kapan pun. Jadi, berjalan ke depan dengan memegang ‘kompas’ warisan, merupakan sebuah keniscayaan untuk mencapai ‘ata-diken’, meskipun usaha untuk itu tidaklah mudah.
Kita semua dalam perjalanan menuju itu. Bergulat dengan tantangan-tantangan hidup masing-masing. Namun, perjumpaan-perjumpaan seperti ini membuat kita saling berbagi, menguatkan, dan menimba sekaligus belajar dari pengalaman hidup yang berbeda-beda. Akhirnya tetap kompak, sehat, dan berbahagia untuk kita semua.
Di mana pun kita berada “tite tetap tou, tite mesti hukut wekit karena tite ana’-ana’ Waibalun — tite ata Waibalun”.
2 September 2020
NB: Kalo pe noko hehuko kae wahak di keworewok brua, mio wengkae eka bekel ow… Goe minta maaf… Anggap saja pe’e selingan pas tobo lingkar ow…