KERJA

Taufiq Wr. Hidayat *

Konon bagi Nabi Isa al-Masih, seorang tukang kayu ulung dari Nazareth, puncak kreativitas manusia terletak pada kearifannya mendalami “ukuran”. Yang dalam Bahasa Indonesia disebut “kadar”. Kata “kadar” ini diserap dari Bahasa Arab “qodar”, yang lazim kita sebut “takdir”. Ukuran dan kadar yang tepat atau pas, akan membentuk kekokohan. Tukang kayu harus disiplin dan teliti pada ukuran-ukuran dalam membuat meja-kursi dan segala yang terbuat dari kayu. Agar hasil karyanya kuat dan kokoh. Keteledoran menetapkan ukuran yang dibagi menjadi meter, senti, mili, kilo gram, dan seterusnya, akan membuat karyanya tidak kokoh. Sehingga tak mungkin mencapai kehalusan. Kehalusan menjadi tidak berguna tanpa kekokohan.

Begitu pun hidup ini, katanya. Ia tak boleh dilepaskan dari ukuran-ukuran. Terserah apa pun satuannya. Ia bersifat tidak pasti. Namun dengan ukuran-ukuran itu, ia diolah menjadi suatu kepastian. Maka di situlah akal, sebagai alat utama kemanusiaan, meniscayakan pada kerja. Dan dalam kerja, ia membutuhkan alat. Alat untuk mengerjakan pekerjaannya. Konon hanya mereka yang melampaui kebosanan di dalam kerja, akan mencapai kesempurnaan. Dan ia akan mendapatkan hikmat serta kebahagiaan, jika ia mencintai pekerjaannya dengan sepenuh jiwa. Totalitas yang dikuatkan dengan kesabaran dalam kerja keras dan pelayanan. Barangkali begitulah yang diajarkan Nabi Isa al-Masih, sang tukang kayu yang luhur dari Nazareth itu.

Kita tahu, di dalam hidup ini, orang seringkali tak menyadari bahaya. Bekerja tanpa mempertimbangkan secara benar keselamatan dirinya dan orang lain. Tanpa “kadar” yang diarifi dengan akal. Dan tak setiap orang mencintai pekerjaannya. Sehingga ia bekerja dengan terpaksa. Dan tak menemukan jati diri atas hasil pekerjaannya. Ia menjadi hampa di dalam waktu. Segalanya terasa lamban dan tak berguna. Bagi Hegel, sejarah tak punya tujuan apa-apa! Ia belaka suatu pengulangan ribuan kesalahan yang tak sudah-sudah. Sejarah hanya narasi yang tak pasti. Keluhuran—sebagaimana diimpikan sekaligus dikeluhkan Hegel, tak pernah menjadi pemenang di dalamnya. Para pemenang tak pernah mewakili kesempurnaan. Pun yang dikalahkan. Lantaran memang demikian manusia. Jika keluhuran mustahil bertahta dalam sejarah, seperti dicemaskan Karl Marx, tidak berarti mengharuskan ia berhenti diupayakan, diperjuangkan, diraih, dinyatakan. Dan energi untuk itu, tak lain adalah harapan. Dalam terminologi agama, ia bernama doa. Doa yang sesungguhnya ialah gerak dan upaya yang kekuatan pendorongnya adalah harapan.

Lupakan pula perihal harapan. Perihal yang selalu sunyi itu. Yang tidak pernah dihadiahi tepuk tangan, ramai, dan kebanggaan. Apa yang sesungguhnya penting, ialah mengolah harapan dalam kerja dan keyakinan semustahil apa pun suatu keadaan. Kehampaan sejatinya penanda waktu yang akhirnya terlewati. Dalam politik yang buruk dan kekuasaan yang merebut semuanya tanpa sportivitas, barangkali yang tersisa cuma harapan. Dengan harapan, ketergantungan perlahan diretas. Segala ketakmungkinan haruslah terus digiring, dimainkan dengan baik, benar, riang dan tanpa beban. Menari-nari. Dengan mengarifi dan mendalami segala “kadar” atau ukuran-ukuran.

Di situ segala ingatan mempunyai peran yang vital. Mengingat dapat dilakukan pada obyek yang diingat. Setelah melihat gelas, lalu dapat mengingat gelas. Mengingat bukan membayangkan. Bagaimana mengingat Tuhan kalau belum melihat Tuhan, bagaimana melihat Tuhan kalau kita hanya makhluk? Otak-atik begini tidak terlalu penting. Konsepsi mengingat (dzikir) itu menjadi tidak penting di dalam laku dzikir itu sendiri. “Cara” menjadi tiada dalam tingkah (takhallaqu bi khalqillah). Sebab kata “dzikir”, tak bermakna belaka “mengingat”, isytiqaqi atau tashrif (derivasi) pada “dzakara”. Konsepsi hanya patokan, bukan pengertian sejati. Ia mengada dalam kerja. Ia lebih pada “menjadi” atau “meniru”. Meniru siapa? Meniru yang disembah. Meniru bukan menjadi. Karena yang paling mungkin dikerjakan manusia adalah meniru, bukan menjadi. Orang bisa meniru gunung, tapi tidak mungkin menjadi gunung. Menghidupkan sembah dalam sikap hidup, kerendahan hati pada kenyataan, yakni kesungguhan pada tanggungjawab kemanusiaan yang wajar. Ia bukan yang tak mudah tertawa dan tak terampil bercanda. Bukan yang berwajah selalu dingin seperti Batman yang tak pernah tertawa. Kebenaran. Tapi kebenaran yang dingin dan tak menyenangkan.

Tembokrejo, 2020.

*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab Iblis” (PSBB, 2018), “Agama Para Bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.

Leave a Reply

Bahasa »